Kompas.id; 13 Februari 2024
JAKARTA, KOMPAS — Hingga 2023, energi terbarukan belum terakselerasi optimal sehingga target 23 persen pada 2025 kian sukar dikejar karena menyisakan kurang dari dua tahun. Salah satu faktor lambatnya pengembangan energi terbarukan ialah masih minimnya dukungan APBN untuk pengembangan energi bersih tersebut. Perlu ada intervensi lebih jauh dari pemerintah.
Pengamat energi sekaligus dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, yang dihubungi di Jakarta, Selasa (13/2/2024), mengatakan, hal itu dapat dilihat dari postur anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2024 yang totalnya sebesar Rp 6,8 triliun. Dari angka itu, pembangunan infrastruktur dan sumber daya alam (SDA) hanya Rp 2,33 triliun atau 34,45 persen.
Dalam pos pembangunan infrastruktur dan SDA itu, porsi untuk pengembangan energi terbarukan secara langsung pun terbilang minim. Dukungan untuk infrastruktur energi terbarukan, yakni 11 unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terpadu sekitar Rp 99 miliar, 5 unit pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) sekitar Rp 56 miliar, dan perencanaan sebesar Rp 31,98 miliar.
Dengan model komposisi anggaran itu, kata Pri Agung, wajar jika target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 kemungkinan besar tidak tercapai. ”Kalaupun direvisi menjadi 17-19 persen (pada 2025) pun tak ada jaminan juga akan dicapai karena capaian pelaksanaannya langsung ada di kendali pemerintah, melalui porsi anggaran dan investasi yang relatif kecil,” kata Pri Agung.
adahal, realisasi target bauran energi terbarukan lebih ditentukan pada bekerja atau tidaknya mekanisme pasar, dalam hal ini jadi atau tidaknya investasi oleh para pelaku usaha. Di sisi lain, program Just Energy Transition Partnership (JETP) lebih banyak pada skema pendanaan pinjaman konsesi (concessional loan). Dengan skema itu, keleluasaan untuk akselerasi energi terbarukan pun terbatas.
Ia menambahkan, dalam hal keekonomian, energi terbarukan masih relatif lebih mahal dibandingkan energi fosil. Di sisi konsumsi atau permintaan (demand), Indonesia dihadapkan pada masalah terbatasnya daya beli masyarakat sehingga masih kerap dijumpai harga energi yang diatur (regulated price). Dengan pendekatan sama, pengembangan energi terbarukan bakal terus berjalan lambat.
Komitmen serius, imbuh Pri Agung, mesti ditunjukkan pemerintah. ”Perlu ada wujud konkretnya dalam bentuk intervensi langsung untuk membuat mekanisme pasar energi terbarukan bisa bekerja. Salah satunya, harus ada anggaran untuk mengeksekusi secara langsung. Bisa juga berupa alokasi anggaran subsidi atau kompensasi kepada badan usaha atau BUMN yang menjalankan penugasan,” ucapnya.
Penciptaan pasar
Bagaimanapun, lanjutnya, anggaran dari pemerintah dibutuhkan untuk percepatan pengembangan energi terbarukan, terutama untuk menciptakan pasar dan ekosistemnya berjalan. Akan sulit jika hanya mengandalkan inisiatif pelaku usaha. Sebab, hal tersebut selalu dinamis sesuai perhitungan dan pertimbangan keekonomian mereka.
Keterbatasan APBN, lanjut Pri Agung, tidak bisa selalu dijadikan alasan. Pasalnya, setiap tahun di sektor energi ada alokasi subsidi dan kompensasi harga energi yang mencapai ratusan triliun rupiah. ”Dan kita tahu itu tidak tepat sasaran. Di sisi lain, kita lihat skala anggaran yang diperlukan untuk membangun infrastruktur gas, pipa Cirebon-Semarang, misalnya. Kan (total), tidak sampai Rp 10 triliun (sehingga sedianya juga bisa diarahkan untuk energi terbarukan),” tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer hingga akhir 2023 baru 13,1 persen atau meningkat 0,8 persen dari tahun sebelumnya. Padahal, ada target realisasi 23 persen pada 2025. Adapun Dewan Energi Nasional (DEN) merencanakan penurunan target dalam draf rancangan peraturan presiden pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN), menjadi 17-19 persen pada 2025 karena asumsi pertumbuhan ekonomi KEN tak tercapai.
Sementara itu, porsi energi terbarukan dan bahan bakar nabati (BBN) dalam bauran ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) hingga akhir 2023 sebesar 13,15 persen atau menurun dari 2022 yang 14,12 persen. Itu tak terlepas dari masih dominannya pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang mencapai 67,66 persen atau meningkat dari tahun sebelumnya yang 67,21 persen.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menargetkan investasi sektor EBTKE sebesar 2,617 miliar dollar AS pada 2024 atau meningkat signifikan dari realisasi 2023 yang 1,484 miliar dollar AS. Upaya strategis, antara lain, dengan mendukung fasilitasi dan diskusi peningkatan investasi serta kerja sama dengan mitra asing, guna memfasilitasi pendanaan dan peningkatan bankability proyek-proyek EBTKE.
Sekretaris Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Sahid Junaidi, Selasa, membenarkan bahwa pada 2024 anggaran pada sektor EBTKE diperuntukkan pada PLTS terpadu, baik pembangunan baru serta revitalisasi pembangkit existing. Selain itu, PLTMH dan PLTM (pembangkit listrik minihidro) yang direncanakan dalam tahun jamak.
Menurut Sahid, anggaran infrastruktur EBTKE lebih pada penciptaan ekosistem dan diprioritaskan pada daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). “Secara dampak ke bauran tidak besar. Untuk bauran lebih ditopang oleh green RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) yang direncanakan PLN. EBTKE bersama Dtjen Ketenagalistrikan memfasilitasi serta mengawal pencapaiannya,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut pengembangan energi terbarukan relatif masih sesuai rencana. Aejumlah kendala yang ada terus diidentifikasi agar bisa diatasi pada tahun-tahun mendatang.
”Isunya sekarang keterbatasan (pengembangan) karena kita punya infrastruktur enggak? Ini yang harus kita perbaiki. Kami sudah mengidentifikasi bottleneck (hambatan) ada di mana. (Di antaranya) kita tidak punya infrastruktur (jaringan transmisi kelistrikan yang mendukung energi terbarukan), lalu perlunya percepatan pertumbuhan konsumsi listrik,” kata Arifin, di Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menambahkan bahwa Indonesia memiliki peluang dan potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Hal tersebut memerlukan diskusi dan pembicaraan lebih untuk mencapai target pengurangan emisi.
”Maka dari itu, penyusunan strategi dan pemetaan energi di seluruh wilayah Indonesia menjadi sangat penting untuk memaksimalkan pembangunan akses kelistrikan. Selain itu, solusi terhadap isu perubahan iklim juga memerlukan kerja sama berbagai pihak, yakni pemerintah, swasta, dan inisiatif-inisiatif lainnya,” kata Dadan melalui siaran pers.