Kompas.id; 15 April 2024
JAKARTA, KOMPAS – Eskalasi konflik di Timur Tengah dengan adanya serangan udara oleh Iran ke Israel pada Minggu (14/4/2024) berpotensi mendongkrak harga minyak dunia. Jika eskalasi berlanjut, bukan tidak mungkin harga minyak dunia bisa tembus 100 dollar AS per barel.
Iran melakukan serangan udara selama beberapa jam terhadap Israel pada Sabtu (13/4/2024) tengah malam hingga Minggu (14/4/2024) pagi. Pemerintah Iran menyatakan, serangan itu merupakan balasan atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus pada 1 April.
Meski serangan Iran telah berhenti pada Minggu pagi, risiko eskalasi konflik sangat terbuka. Situasi memanas penuh ketidakpastian ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian global. Dampak langsung yang sudah terjadi adalah kenaikan harga minyak dunia yang biasanya akan diikuti kenaikan harga komoditas lainnya.
Baru sebatas kabar tentang potensi Iran menyerang Israel beredar pada Jumat (12/4/2024) saja, harga minyak dunia sudah melonjak. Mengutip data situs pencatat basis data ekonomi dan komoditas, Refinitiv, harga minyak Brent pada penutupan perdagangan Jumat (13/4/2024) mencapai 90,45 dollar AS per barel.
Ini merupakan harga minyak tertinggi sejak 20 Oktober 2023 atau sekitar enam bulan terakhir. Harga ini sudah melampaui asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 senilai 82 dollar AS per barel.
Tren naik
Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (AS) dalam prospek energi bulanan jangka pendeknya memperkirakan harga minyak mentah Brent rata-rata 88,55 dollar AS per barel tahun ini, naik dari perkiraan sebelumnya senilai 87 dollar AS per barel. Kenaikan ini mencerminkan ekspektasi kuatnya penarikan persediaan minyak global pada triwulan I-2024 dan risiko geopolitik yang sedang berlangsung.
Prospek ini dirilis per 9 April atau sebelum serangan udara Iran ke Israel. Artinya, bisa saja perkiraannya dalam prospek berikutnya akan direvisi naik lagi.
Mengutip CNBC, Presiden Rapidan Energy dan mantan pejabat energi senior di pemerintahan Bush, Bob McNally, menyatakan, harga minyak mentah jenis Brent bisa melonjak hingga 100 dollar AS per barel jika Iran langsung menyerang Israel. Jika eskalasi menyebabkan gangguan di Selat Hormuz, harga bisa melonjak hingga 120 dollar AS atau 130 dollar AS per barel.
Selat Hormuz terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Mengutip Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat, Selat Hormuz merupakan jalur perdagangan minyak terpenting di dunia karena banyaknya volume minyak yang didistribusikan melalui selat itu.
Pada 2018, distribusi minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 21 juta barel per hari. Ini setara dengan sekitar 21 persen konsumsi minyak bumi global.
Fundamental
Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto,, Minggu (14/42024), menyatakan, dampak konflik Iran-Israel bersifat fundamental terhadap pasokan dan permintaan minyak dunia. Dengan demikian, elastisitasnya terhadap kenaikan harga minyak dunia lebih besar ketimbang perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas.
Disebut berdampak fundamental sebab di satu sisi, Iran adalah salah satu anggota OPEC yang dominan. Posisi ini bisa menekan OPEC dalam bentuk kuota produksi minyak mentah dan kebijakan harga.
Di sisi lain, Israel merupakan sekutu AS yang merupakan produsen sekaligus konsumen minyak terbesar dunia. ”Jadi konflik Iran-Israel langsung berhubungan dengan fundamental suplai dan permintaan minyak dunia,” kata Pri.
Belum lagi variabel lainnya yang akan memengaruhi pembentukan harga minyak dunia, yakni China dan Rusia. China adalah salah satu konsumen minyak terbesar dunia. Sementara, Rusia adalah salah satu eksportir besar dunia.
”Kalau ini (Iran-Israel) terus bergulir perangnya, katakanlah durasinya panjang, kemungkinan harga minyak melampaui 100 dollar AS terbuka. Karena sebelum ini, harganya sudah bertahan relatif tinggi. Harga di kisaran 80 dollar AS selama ini termasuk tinggi dalam ukuran komoditas yang digempur isu transisi energi dan permintaan global yang masih lemah pasca Covid,” katanya.
Meskipun tidak khawatir pasokan akan sampai langka, berbagai negara akan mengantisipasi situasi geopolitik di Timur Tengah yang memanas dan serba tidak pasti. Oleh karena itu, Pri memperkirakan harga Brent rata-rata pada 2024 di atas harga rata-rata sepanjang 2023 yang senilai 83 dollar AS per barel.
Komplikasi kurs
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Bidang Ekonomi Internasional, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel dalam jangka pendek akan mendongkrak harga minyak dunia. Ketika pasokan terganggu, sementara permintaan tetap, maka sesuai hukum ekonomi, harga barang akan langsung terkerek naik.
Ia memperkirakan, harga minyak dunia akan segera menuju ke keseimbangan baru di atas 90 dollar AS per barel atau bahkan bisa terus naik menembus 100 dollar AS per barel. Sebelum terjadi ketegangan ini saja, harga minyak sedang dalam tren naik.
”Dampaknya ke Indonesia, mungkin saja dalam waktu dekat kita akan mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak,” ujar Fithra, dihubungi Minggu (14/4/2024).
Kenaikan harga BBM, Fithra melanjutkan, juga akan memicu inflasi secara langsung. Transmisinya adalah melalui kenaikan harga konsumsi masyarakat.
Depresiasi nilai tukar rupiah yang terus terjadi menambah komplikasi tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pada perdagangan pasar, nilai tukar rupiah sudah menembus Rp 16.000 per dollar AS. Akibat depresiasi rupiah, impor BBM bisa ikut meningkatkan inflasi dari komponen impor atau imported inflation.
Perlu gerak cepat
Selain mewaspadai dampak langsung kenaikan harga minyak, Fithra mengingatkan, Indonesia perlu mengantisipasi dampak kenaikan harga minyak ini terhadap perekonomian global. Hal ini bisa menular ke Indonesia dalam jangka menengah dan panjang.
”Saya kira pemerintah perlu bergerak cepat merespons efek rambatan ini ke dalam negeri. Begitu juga Bank Indonesia yang perlu melaksanakan tugasnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Fithra.
Dihubungi terpisah, Minggu, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sarman Simanjorang, mengatakan, setiap gejolak geopolitik tentu berdampak terhadap perekonomian global dan Indonesia.
Mengingat, Iran adalah salah satu produsen minyak yang strategis di dunia, maka seluruh pemangku kepentingan ekonomi dalam harus mewaspadai potensi kemungkinan kenaikan harga minyak ke depan.
Menurut Simanjorang, pemerintah perlu melihat lebih detail seberapa besar hubungan dagang dan investasi antara Indonesia dan Iran. Dengan demikian baru bisa diukur seberapa besar dampaknya yang mungkin akan dirasakan Indonesia.
“Meningkatnya ketegangan geopolitik perlu diantisipasi dengan tepat sehingga tidak sampai mengganggu perekonomian dalam negeri,” ujar Sarman.