Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2024Ketidakseimbangan Neraca Gas Bumi RI & Pengembangan Infrastruktur LNG

Ketidakseimbangan Neraca Gas Bumi RI & Pengembangan Infrastruktur LNG

CNBCIndonesia, 16 April 2024
Penulis: Pri Agung Rakhmanto (Founder & Advisor ReforMiner Institute, Pengajar di Fakultras Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti

Porsi pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik disebutkan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, porsi gas bumi untuk kebutuhan domestik pada tahun 2023 tercatat sebesar 68,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yang saat itu berada pada kisaran 49,4%.

Meningkatnya porsi pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik salah satunya terjadi karena adanya peningkatan permintaan volume kebutuhan gas di tingkat pengguna akhir. Namun, jika dicermati lebih jauh, salah satu faktor lain yang juga memengaruhi peningkatan porsi pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik adalah karena terjadinya penurunan produksi yang cukup signifikan di sisi hulu.

Merujuk data SKK Migas (2023), dalam kurun kurang lebih sepuluh tahun terakhir, volume kebutuhan gas bumi domestik tercatat meningkat rata-rata sekitar 0,6% per tahun. Sementara untuk periode yang sama, lifting gas bumi nasional secara rata-rata tercatat mengalami penurunan sekitar 2,35% per tahun.

Pada tahun 2023 realisasi lifting gas bumi nasional dilaporkan sebesar 960 ribu barel setara minyak per hari (mboepd), lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang tercatat sebesar 1.253 mboepd. Dalam jangka panjang, tren penurunan produksi gas yang terjadi ini berpotensi akan membuat Indonesia mengalami defisit gas.

Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2023-2032, jika hanya bergantung pada produksi gas dari lapangan yang saat ini beroperasi (existing supply), sejak tahun 2026 volume kebutuhan gas bumi domestik terkontrak (contracted demand) diproyeksi tidak lagi dapat dipenuhi.

Ketidakseimbangan Neraca Gas Domestik

Di tingkat kebijakan makro, tren penurunan produksi dan potensi defisit gas nasional pada dasarnya telah diidentifikasi oleh pemerintah dengan mengupayakan adanya tambahan produksi gas bumi dari sejumlah proyek yang ditargetkan akan mulai beroperasi di dalam waktu dekat.

Dalam skenario yang disusun Kementerian ESDM, jika dapat direalisasikan dengan baik, tambahan produksi gas bumi dari sejumlah lapangan gas seperti Gendalo, Gandang dan Gehem, Ubadari dan lapangan Abadi Masela diproyeksi tidak hanya akan membuat Indonesia dalam hal volume terhindar dari defisit tetapi juga berpotensi mengalami surplus gas hingga sepuluh tahun mendatang.

Namun, berbeda halnya dengan masalah kecukupan volume, keseimbangan antara pasokan dan pengguna gas bumi tidak selalu terjadi secara merata. Dalam regionalisasi yang ditetapkan di dalam Neraca Gas Indonesia yaitu region I (Aceh dan Sumatera Bagian Utara), region II (Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, Kepri, dan Jawa Bagian Barat), region III & IV (Jawa Bagian Tengah dan Timur), region V (Kalimantan dan Bali), dan region VI (Papua, Sulawesi, dan Maluku), beberapa region tercatat membutuhkan pasokan gas dari wilayah lain.

Untuk region II misalnya, kebutuhan gas pada tahun 2030 diproyeksi sekitar 2.000 BBTUD, sementara jika hanya mengandalkan pasokan gas existing, besaran pasokan gas yang tersedia hanya berada pada kisaran 1.000 BBTUD. Bahkan jika dengan tambahan pasokan dari proyek-proyek yang direncanakan beroperasi di dalam waktu dekat, region II diproyeksi tetap akan mengalami defisit gas.

Kondisi serupa juga terjadi di region III dan IV (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Dalam Neraca Gas Indonesia, volume kebutuhan gas bumi untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, potensi kebutuhan gas untuk wilayah tersebut diperkirakan mencapai sekitar 1.000 BBTUD pada tahun 2030.

Berdasarkan proyeksi yang ada, pemenuhan kebutuhan gas bumi tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan produksi dari lapangan existing atau lapangan yang akan beroperasi dalam waktu dekat, tetapi juga memerlukan tambahan pasokan dari lapangan gas di region lain.

Dalam konteks ini, tiga region yaitu Region I (Aceh-Sumut), Region V (Kalimantan – Bali), dan Region VI (Sulawesi-Maluku-Papua) berpotensi memiliki surplus pasokan yang dapat dialokasikan untuk regional II, III dan IV. Potensi surplus pasokan gas dari ketiga wilayah tersebut diperkirakan dapat mencapai lebih dari 3.000 BBTUD.

Untuk dapat memanfaatkan potensi surplus pasokan tersebut ke region lain yang mengalami defisit, pendistribusian gas antar wilayah dalam bentuk LNG (Liquified Natural Gas) menjadi pilihan yang paling rasional untuk dilakukan.

Infrastruktur LNG dan Dukungan Kebijakannya

Terkait dengan ini, sejauh ini kebijakan yang pemerintah telah tetapkan di atas kertas pada dasarnya dapat dikatakan telah cukup sesuai dengan proyeksi neraca gas dan identifikasi permasalahan yang ada.

Untuk pemerataan infrastruktur misalnya, melalui Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2022-2031 pemerintah secara prinsip telah menetapkan bahwa pembangunan infrastruktur gas di wilayah Indonesia bagian Barat (Region I, II, dan III) akan difokuskan pada jaringan gas pipa, sementara di wilayah Indonesia bagian Timur (Region IV hingga Region VI), lebih diutamakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas LNG seperti kilang, pengisian-penyimpanan, dan regasifikasi.

Untuk dapat berjalan di dalam implementasinya, namun demikian, kebijakan pengembangan infrastruktur gas, dan khususnya LNG, sebagaimana yang telah digariskan di atas, masih sangat memerlukan elaborasi dan formulasi strategi detil teknis operasionalnya yang lebih konkret.

Investasi untuk pengembangan infrastruktur LNG, sebagaimana investasi dalam pengembangan infrastruktur gas midstream lainnya, sangat dipengaruhi oleh sejauh mana peran dan keterlibatan pemerintah di dalam merealisasikannya.

Merujuk pada keberhasilan terselesaikannya proyek gas Cisem Fase I pada 2023 lalu dan realisasi perkembangan program jaringan gas kota (jargas) selama periode 2020 – 2022 yang mengalami pertumbuhan cukup positif, peran dan keterlibatan pemerintah melalui penganggaran secara langsung di APBN, terbukti telah lebih efektif dapat menjamin terealisasinya penyediaan infrastruktur sesuai dengan perencanaan strategis dan target yang ditetapkan.

Pengembangan infrastruktur gas melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) dan investasi lain (swasta) akan sangat bergantung pada objektif, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian badan usaha yang belum tentu sejalan dengan objektif dan rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional.

Ketika terjadi perubahan objektif dari badan usaha, objektif dan rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional yang sudah memiliki landasan dan semestinya menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser.

Objektif, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian pemerintah dan badan usaha di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Ini yang membuat skema KPBU dan atau skema investasi melalui mekanisme pasar biasa di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak dapat selalu bekerja atau berjalan secara efektif.

Dalam pengembangan infrastruktur gas, dan lebih khusus lagi infrastruktur LNG, untuk dapat membuat mekanisme KPBU dan pasar bekerja secara efektif, diperlukan peran langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian investasi yang sejalan dengan objektif, pertimbangan dan kalkulasi badan usaha.

Peran langsung pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek dan atau insentif fiskal dan non-fiskal lainnya. Dan itu artinya tetap memerlukan pengalokasian sumber daya atau anggaran langsung tertentu dari pemerintah melalui instrumen APBN.

Secara lebih khusus, pengembalian investasi di dalam bisnis infrastruktur LNG, sangat dipengaruhi oleh kejelasan terkait pasokan gas (cadangan, produksi, sumber) di sisi hulu dan kejelasan akan permintaan gas (volume, jangka waktu, distribusi) di sisi hilirnya.

Tingkat pengembalian investasi dalam rantai penyediaan LNG juga relatf lebih fluktuatif karena dipengaruhi fluktuasi pergerakan harga LNG yang bergantung pada harga gas (minyak), dan eskalasi atau inflasi terkait biaya pengiriman, regasifikasi, dan distribusinya.

Di sinilah peran dan intervensi pemerintah yang paling mendasar, dalam bentuk memberikan sinyal dan kejelasan tentang bagaimana arah dan keseimbangan pasar – pasokan-permintaan gas antar wilayah – tersebut akan dilakukan dan dioptimalkan, menjadi sangat relevan.

Dengan demikian, dukungan kebijakan baik dalam bentuk kejelasan, kepastian, konsistensi dan sinkronisasi atas implementasi kebijakan itu sendiri, maupun dukungan kebijakan dalam bentuk peran dan intervensi proporsional pemerintah melalui pengalokasian anggaran tertentu secara langsung di dalam APBN akan menjadi penentu bagaimana pengembangan infrastrutur LNG akan dapat berjalan dan permasalahan ketidakseimbangan neraca gas bumi domestik ke depan akan diselesaikan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments