Jagatbisnis.com; 27 Juli 2025
JagatBisnis.com – Rencana pengalihan impor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 240 triliun ke Amerika Serikat (AS) kembali menegaskan peran strategis industri hulu migas nasional sebagai fondasi ketahanan energi dan instrumen diplomasi ekonomi negara.
Komitmen impor migas dalam jumlah besar tersebut menjadi salah satu faktor yang memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi dagang bilateral, termasuk saat berhasil menurunkan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19% di era Presiden Donald Trump.
Namun, di balik kesepakatan tersebut, menguatkan sektor hulu migas nasional dinilai lebih krusial untuk menekan ketergantungan terhadap migas impor yang terus membengkak. Data menunjukan bahwa impor minyak Indonesia melonjak dari 400.000 barel per hari pada 2010 menjadi sekitar 1 juta barel per hari pada 2024, seiring peningkatan konsumsi domestik dan penurunan produksi nasional.
Hilirisasi Tanpa Hulu, Nilai Tambah Hilang
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menegaskan bahwa keberlanjutan kebijakan hilirisasi migas sangat bergantung pada kekuatan industri hulu dalam negeri.
Menurut kajian ReforMiner, investasi Rp 1 triliun dalam hilirisasi petrokimia yang memanfaatkan migas domestik dapat menciptakan nilai tambah ekonomi hingga Rp 12,81 triliun. Sebaliknya, jika bahan baku hilirisasi berasal dari migas impor, nilai tambah tersebut menyusut menjadi hanya sekitar Rp 7,53 triliun.
Industri Hulu Hadapi Sejumlah Hambatan Struktural
Meski krusial, industri hulu migas Indonesia masih menghadapi tantangan struktural yang menghambat investasi dan produksi, antara lain:
Kompleksitas perizinan berusaha yang panjang dan tumpang tindih.
Ketergantungan pada lapangan migas tua (mature field) yang memerlukan kebijakan fiskal khusus.
Risiko kriminalisasi akibat belum adanya pemisahan yang tegas antara administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan keuangan negara.
Komaidi menilai bahwa permasalahan tersebut bersumber dari ketidaksinkronan regulatory framework Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 terhadap bentuk Kontrak Kerja Sama yang berlaku.
Tiga Elemen Kunci yang Perlu Dikembalikan dalam UU Migas
ReforMiner merekomendasikan revisi UU Migas untuk mengembalikan tiga elemen fundamental dalam Kontrak Kerja Sama agar iklim investasi di sektor hulu kembali kondusif:
Penerapan asas “assume and discharge” dalam perpajakan KKS, yang menegaskan bahwa kontraktor tidak menanggung beban pajak secara langsung.
Pemisahan urusan administrasi dan keuangan KKS dari keuangan negara, guna menghindari multitafsir dan risiko hukum.
Penerapan model single door bureaucracy, yakni satu lembaga yang mengelola seluruh perizinan dan administrasi KKS secara terpusat dan efisien. (Zan)