Friday, September 12, 2025
HomeReforminer di Media2025Industri Hulu Migas Jadi Kunci Tekan Impor dan Dongkrak Hilirisasi

Industri Hulu Migas Jadi Kunci Tekan Impor dan Dongkrak Hilirisasi

Rm.id;24 Juli 2025

RM.id Rakyat Merdeka – Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) kembali disorot sebagai elemen strategis dalam upaya menekan impor dan memaksimalkan manfaat hilirisasi migas nasional.

Rencana pengalihan impor migas senilai 15 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 240 triliun memperkuat pentingnya peran sektor hulu migas bagi ketahanan energi nasional.

Kesuksesan Indonesia dalam negosiasi penurunan tarif resiprokal era Presiden Donald Trump dari 32 persen menjadi 19 persen, disebut tak lepas dari komitmen Indonesia untuk mengimpor migas dari AS dalam jumlah besar.

Sayangnya, tren meningkatnya impor minyak belum bisa ditekan secara optimal. Impor minyak Indonesia tercatat melonjak dari sekitar 400 ribu barel per hari pada 2010 menjadi sekitar 1 juta barel per hari pada 2024.

Lonjakan ini dipicu oleh kenaikan konsumsi dalam negeri yang tak diimbangi peningkatan produksi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, industri hulu migas juga memegang peranan penting dalam keberhasilan program hilirisasi migas yang kini gencar digaungkan pemerintah.

“Pelaksanaan hilirisasi migas tanpa memperhatikan industri hulu migas nasional akan kehilangan esensinya. Hilirisasi migas akan menjadi relevan jika terdapat keberadaan industri hulu migas,” kata Komaidi, di Jakarta Rabu (23/7).

Menurut kajian Reforminer, investasi sebesar Rp 1 triliun di sektor hilir migas, khususnya industri petrokimia, bisa menghasilkan nilai tambah ekonomi hingga Rp 12,81 triliun jika bahan baku berasal dari produksi migas dalam negeri.

Sebaliknya, jika bahan baku masih impor, nilai tambah yang dihasilkan justru menyusut jadi sekitar Rp 7,53 triliun. Sayangnya, industri hulu migas saat ini masih dibayangi banyak tantangan.

Beberapa hambatan yang dihadapi antara lain: rumitnya perizinan usaha, ketergantungan pada ladang tua (mature field) yang butuh perlakuan fiskal khusus, hingga risiko pergeseran masalah perdata menjadi pidana akibat tidak jelasnya pemisahan antara urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan keuangan negara.

Reforminer menilai, revisi terhadap Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 mutlak diperlukan, agar kerangka hukum dan regulasi kembali sinkron dengan bentuk kontrak kerja sama yang berlaku.

Selama ini, hilangnya tiga elemen kunci dari UU Migas tersebut membuat ketentuan perundangan tidak selaras dengan praktik KKS di lapangan.

Dampaknya muncul ketidakpastian hukum, fiskal, hingga birokrasi yang berbelit. Tiga hal yang perlu dikembalikan ke dalam revisi UU Migas menurut Reforminer adalah: (1) penerapan prinsip assume and discharge dalam perpajakan KKS; (2) pemisahan urusan administrasi dan keuangan KKS dari keuangan negara; dan (3) penerapan model single door bureaucracy atau single institution yang menangani seluruh aspek perizinan dan administrasi KKS.

Jika hal tersebut dipenuhi, sektor hulu migas diyakini bisa kembali bergairah dan menopang hilirisasi yang berorientasi pada kemandirian energi serta peningkatan nilai tambah ekonomi nasional.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments