Friday, September 19, 2025
HomeReforminer di Media2025Pakar: RI Wajib Tambah Kilang Minyak Meski Tren Global Terseok

Pakar: RI Wajib Tambah Kilang Minyak Meski Tren Global Terseok

Bisnis.com; 12 September 2025

Bisnis.com, JAKARTA — Penambahan kapasitas kilang minyak dalam negeri menjadi keniscayaan untuk mendukung ketahanan energi nasional meskipun secara global bisnis kilang disebut mengalami stagnasi beberapa tahun terakhir.

Founder & Advisor Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto mengatakan, bagi negara-negara berkembang di wilayah Asia Pasifik, kebutuhan kapasitas kilang terus meningkat, utamanya negara yang tidak masuk dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

“Indonesia, sebagaimana tergolong non-OECD yang masih memerlukan fosil untuk pertumbuhan ekonomi, jelas memerlukan penambahan kapasitas kilang,” kata Pri kepada Bisnis, Jumat (12/9/2025).

Sementara itu, dia menilai negara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) belakangan ini tidak menambah kapasitas kilang karena telah menerapkan renewable energy atau energi baru terbarukan yang dapat diandalkan.

“Sementara di Middle East [Timur Tengah] juga karena memang overcapacity, dan juga karena akan pembaruan, untuk dibangun kilang-kilang baru yang juga sekaligus kilang petrokimia, untuk menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Beda konteks dengan keadaan dan kebutuhan Indonesia,” tuturnya.

Bahkan, negara-negara OECD cenderung mempertahankan bahkan mengurangi kapasitas kilang dalam beberapa dekade terakhir. Sementara itu, negara non-OECD terus mengembangkan industri kilang hingga saat ini.

Dalam catatannya yang dikutip dari berbagai sumber, terdapat 25 rencana penambahan kilang hingga tahun 2028. Adapun, 5 kilang di antaranya akan dibangun China, 11 kilang di India, 2 kilang Iran, Bahrain, Iraq, Jordan, Oman, Arab Saudi, Nigeria, dan Meksiko.

Pada 2000, hampir separuh kapasitas kilang dunia 45% tercatat berada di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Namun, beberapa tahun terakhir, kapasitas kilang di Timur Tengah, China dan India tumbuh hampir setiap tahun dan lebih dari 34% kapasitas kilang dunia pada 2024.

Kondisi inilah yang juga terjadi di Indonesia. Pri menilai RI justru harus lebih ekspansif membangun kilang, pasalnya dia justru melihat Indonesia masih stagnan dalam pengembangan ekosistem di hulu migas ini.

“Jadi, membangun kilang, untuk Indonesia, saya melihatnya positif dan itu memang kebutuhan ya. Dari perspektif kebijakan energi, itu memang bagian dari hilirisasi migas untuk ketahanan energi yang kita perlukan. Bukan hanya untuk ketahanan energi, tapi juga ketahanan ekonomi,” tuturnya.

Sebab, kemandirian energi lewat produksi minyak dalam negeri dapat mengurangi devisa impor migas dan membuat Indonesia terlepas dari kondisi pasar migas global.

Selama ini, Pri melihat ada stagnansi dalam proyek kilang. Oleh karena itu, terdapat rencana pembangunan kilang dengan teknologi modular oleh BPI Danantara sebanyak 17 unit dengan nilai US$8 miliar di Indonesia. “Ada harapan untuk bisa ada solusi, baik untuk masalah pendanaan, teknologi dan juga leverage dan network untuk pemenuhan mata rantai suplainya,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menyoroti kesepakatan perdagangan impor minyak mentah dari AS yang dapat menjadi faktor penting terkait teknologi dan potensi pasokan minyak ke depannya.

Apalagi, AS dinilai kuat dalam mengembangkan sektor hulu, midstream, downstream. Bahkan, di luar aspek biaya, dari sisi geopolitik pun AS memiliki jaminan suplai bahan mentah yang mumpuni.

“Dapat dikatakan ada sisi strategis dalam hal kesepakatan kita dengan AS di bidang energi, migas khususnya. Jadi, dari berbagai aspek, saya melihat ini lebih sebagai peluang. Untuk merealisasikan rencana-rencana yang selama ini stagnan,” tuturnya.

Namun, dia menegaskan bahwa pengembangan kilang menjadi keharusan bagi Indonesia dan potensi rencana Danantara membangun 17 kilang di Indonesia harus berjalan. Sebab, selama ini pembangunan kilang dalam negeri stagnan dan tersendat aspek politik, pendanaan, serta prioritas pilihan investasi.

“Bagaimanapun, impor crude [minyak mentah] tetap lebih baik daripada dibandingkan impor hasil olahannya [bahan bakar]. Ada tahapan dan proses peningkatan nilai tambah ekonomi yang didapat dari keberadaan kilang yang mengolah itu,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Oki Muraza mengungkapkan 26 kilang minyak dan gas bumi (migas) di dunia bakal tutup menjelang 2030. Hal ini tak lepas dari kondisi kelebihan pasok (oversupply) dan rendahnya profitabilitas atau spread produk yang menekan bisnis kilang.

Oki menuturkan, beberapa perusahaan migas dunia tengah menghadapi tantangan dalam mendapatkan keuntungan dari bisnis kilang. Menurutnya, perusahaan kelas dunia seperti BP, TotalEnergies, hingga Chevron mengalami tantangan serupa. “Ada banyak kilang dunia yang ditutup di Eropa, di Amerika, di Australia dan diperkirakan ada 17 kilang yang akan tutup menjelang tahun 2030,” ucap Oki dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9/2025).

Berdasarkan bahan paparan Pertamina, pada 2027, diperkirakan akan ada sembilan kilang yang tutup di AS, Eropa, Asia, Australia, dan Selandia Baru. Lalu, sebanyak 17 kilang di Afrika, Uni Eropa, dan Asia diperkirakan tutup pada 2030.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments