Pri Agung Rakhmanto
Direktur ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, 26 Agustus 2009
Hadirnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), diharapkan dapat membawa perbaikan dalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air.
UU Minerba ini juga diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan, serta mampu mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki.
Dengan begitu, amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, benar-benar dapat diwujudkan.
Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di antaranya adalah ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan ke depan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).
UU Minerba juga telah mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan.
Namun demikian, meski telah memuat beberapa perbaikan, UU Minerba dapat dikatakan masih sangat minim dalam hal yang berkaitan dengan kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan, dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju.
Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga tidak operasional. Indikasi dari hal tersebut, dari 175 pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya 22 pasal menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan peraturan pemerintah, dan 3 pasal menyebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan peraturan daerah, provinsi/kabupaten/kota.
Artinya, bagaimana nanti implementasi yang lebih pasti dari UU Minerba ini, dan bagaimana arah dan gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti masih akan sangat bergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat PP dan Perda tersebut dibuat.
Selain belum mampu memberikan gambaran arah dan strategi pertambangan nasional ke depan, juga ada beberapa catatan (kelemahan) dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan perhatian khusus, karena jika tidak UU Minerba ini justru dapat berpotensi semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan di masa yang akan datang.
Pertama, menyangkut kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit. Sehingga kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar, sangat mungkin dapat terulang kembali pada masa yang akan datang.
Kedua, menyangkut besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, yang juga berpotensi untuk semakin tidak optimal (tidak jelas berapa jumlah yang sesungguhnya) jika kontrol dan pengawasan yang ketat tidak diterapkan terhadap IUP yang diterbitkan.
UU Minerba tidak mengatur secara tegas tentang hal ini melainkan ‘hanya’ menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawahnya.
Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah yang belum disertai dengan kerangka acuan strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas, sehingga berpotensi pada makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi pertambangan.
Berdasarkan data, semenjak digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah di terbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai.
Keempat, hal yang sangat disayangkan, hadirnya UU Minerba juga tidak akan mampu ‘menyentuh’ dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Terkait dengan kekurangan-kekurangan UU Minerba itu, maka, menetapkan arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan terukur dan menuangkannya ke dalam suatu dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam pelaksanaannya (semacam GBHN sektor pertambangan nasional), kiranya menjadi pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan.
‘GBHN’ sektor pertambangan ini tidak hanya akan berguna sebagai acuan dalam penyusunan peraturan pelaksana dari UU Minerba itu sendiri, tetapi juga akan menjadi acuan bagi daerah-daerah dalam menerbitkan IUP dan Perda sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa kejelasan arah.
‘GBHN’ tersebut seyogianya memuat tentang gambaran skenario dan proyeksi menyangkut produksi, penerimaan negara, dan peningkatan nilai tambah ekonomi dari sektor pertambangan nasional untuk jangka waktu tertentu ke depan.
Juga yang tak kalah pentingnya adalah kejelasan mengenai pembagian tugas dan wewenang antara institutsi terkait serta antara pemerintah pusat dan daerah.
Dengan adanya ‘GBHN’ sektor pertambangan yang memuat hal-hal tersebut, masalah tumpang-tindih aturan dan kewenangan, serta pengawasan terhadap kegiatan pengusahaan pertambangan diharapkan dapat diperbaiki secara signifikan pada masa yang akan datang.
Pada gilirannya, hal ini tidak saja akan berdampak positif bagi iklim investasi di sektor pertambangan itu sendiri, tetapi yang lebih mendasar, juga akan sangat memperbaiki kondisi sektor pertambangan nasional secara keseluruhan.
Semoga pemerintahan baru yang akan segera bertugas nanti menyadari dan memahami ‘pekerjaan rumah’ yang mesti diselesaikannya dengan segera ini.