Republika online, 4 Mei 2010
JAKARTA–Tiga pembeli gas lapangan Donggi-Senoro yang mengancam mundur dinilai pengamat hal yang wajar. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menyatakan ancaman itu bisa dimaklumi karena sudah terlalu lama tidak ada kepastian tentang Donggi-Senoro tersebut. Ketiga calon pembeli tersebut yaitu Kyushu Electric Power Co Inc, Korean Gas Corp (Kogas) dan Chubu Electric Power. Para calon pembeli tersebut memberi tenggat waktu hingga bulan Juni kepada pemerintah untuk memutuskan hal ini.
Pri Agung mengingatkan jika itu benar-benar terjadi, maka proyek Donggi-Senoro berarti harus dimulai lagi dari awal.”Dari mulai mencari partner untuk pembiayaan, pembeli, formula harga, semua mesti diulang,” kata Pri Agung kepada Republika, Selasa (4/5).
Tak hanya itu, proyek pun memiliki tambahan resiko yakni harga jual gas yang kemungkinan lebih rendah ketimbang yang sekarang. Pri Agung menilai Pemerintah seperti tidak ada kemauan politik untuk menuntaskan masalah yang sesungguhnya sudah demikian jelas ini. Ia memperkirakan, jika ketiga pembeli itu benar-benar mundur maka sektor migas, khususnya pengembangan lapangan, bisa kian terpuruk.
”Pengembangan lapangan gas lain yang sudah proven pun bisa tidak jadi dilakukan karena kontraktor ragu dengan ketidakpastian dan inkonsistensi kebijakan yang ada,” kata Pri Agung.
Ujungnya, prediksi dia, krisis gas domestik bisa semakin parah karena tidak ada tambahan poduksi gas baru. ”Selain itu blok-blok migas baru yang ditawarkan juga berpotensi makin tidak laku,” kata dia.
Hal senada dikatakan anggota Komisi VII DPR, Soetan Batughana. Menurut Soetan pemerintah seharusnya konsisten dengan janjinya yang akan memutuskan Donggi-Senoro pada Mei ini.
”Kan kemarin janjinya Menko Perekonomian dan Wapres awal Mei akan menyetujui semua kondisi kontrak yang ada sekarang. Paling aman bikin beberapa opsi diantaranya ada opsi kombinasi ekpsor, tapi yang penting feasible dan investor tidak rugi,” kata Soetan kepada Republika, Selasa (4/5).
Menurut Soetan di saat orang mencari gas, Indonesia justru mengabaikannya. ”Sebentar lagi Papua Nugini, Qatar bisa produksi gas dan gas kita sudah gak laku,”kata Soetan mengingatkan. Komisi VII lanjut dia, akan terus mendorong agar pemerintah segera memutuskan proyek ini. ”Tidak ada alasan lagi menunda, rayat bisa berontak,” kata Soetan.