Media Indonesia,A�19 mei 2010
JAKARTA–MIA�Komitmen pemerintah untuk mengutamakan pasokan gas domestik guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional memberi harapan bagi konsumen di dalam negeri. Namun masalah kebijakan harga (pricing policy) tidak bisa serta merta mengejar harga pasar internasional karena harus diimbangi dengan kemampuan daya beli konsumen domestik.
“Pricing policy penting karena ekksplorasi gas harus ada pembeli. Harus ada titik keseimbangan di mana produsen tidak semena-mena menetapkan harga jual. Namun konsumen juga harus realistis untuk bisa membeli gas pada kisaran US$5-US$6 per mmbtu. Karena kalau dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) industri di kisaran US$13 per liter, gas masih jauh lebih murah,” ujar Anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto, kepadaA�Media Indonesia, di Jakarta, Rabu (19/5).
Selain itu masalah infrastruktur juga harus menjadi bagian dari kebijakan gas nasional yang menyeluruh. “Tanpa jaminan pasokan dari produsen rencana pembangunan jaringan pipa gas sulit dikejar karena akan sulit memperoleh pendanaan. Misalnya perpanjangan jaringan South Sumatera West Java (SSWJ) maupun pipa Kalimantan-Jawa (Kalija) sulit mencari investor,” ujarnya. Namun di atas semua itu, imbuhnya pemerintah harus berani melakukan negosiasi ulang untuk pasokan gas ke luar negeri.
“Misalnya pasokan melalui pipa SSWJ ke Singaputa sekitar 750 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). Di sana dipakai untuk pembangkit listrik sementara disini PLTGU Muara Tawar defisit gas hingga 100 mmscfd. Ini ironis. Pemerintah harus berani bernegosiasi mengurangi volume pasokan,” ujar Dito. Selain itu, imbuhnya mencapai daya beli yang memadai pengusaha harus melakukan efisiensi operasional. “Salah satunya pemerintah harus juga menghilangkan biaya ekonomi tinggi yang membebani industri dan konsumen gas domestik.
Yang lebih penting pemerintah harus mendorong investasi pengusaha nasional dalam pembangungan pipanisasi distribusi gas dan kilang penyimpan dan penerima gas,” ujarnya Sementara itu, kalangan industri pengguna gas mengkhawatirkan komitmen pemerintah tersebut tidak bisa terwujud dalam waktu dekat. Realisasinya hanya mungkin dicapai bila kebijakan ekspor gas semakin dikurangi dan bahkan dihentikan. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Ahmad Widjaya. “Kapan pemerintah bisa stop ekspor gas alam dan (mewujudkan) priotas pasokan domestik,” ujar Ahmad melalui pesan singkat. Pihaknya juga meminta supaya pemerintah memberi patokan harga yang terjangkau oleh konsumen domestik. “Kita berharap tidak akan ada perubahan harga domestik secara dratis,” ujarnya.
Karena itu, imbuh Ahmad, komitmen pemerintah ini harus diwujudkan dalam bentuk kemauan politik (political will). “Semua itu harus ada political will. Saat ini pengusaha selalu dikorbankan, sebab pemerintah lebih pro pada sektor makro ekonomo dan tidak menerawang mikro lagi. Sehingga perubahan iklim industri tidak pernah ada,” pungkas Ahmad. Menurut Direktur EksekutifA�ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto komitmen Wapres tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru. “Sudah lama dicanangkan dan diwacanakan, namun implementasinya sering tidak sejalan,” ujarnya.
Menurut Pri Agung, komitmen itu juga butuh konsistensi dalam pelaksanaannya. “Jadi tidak hanya politis atau kasuistis sebgagai justifikasi tertundanya proyek Donggi Senoro misalnya,” ujar Pri Agung. Menurutnya, penyesuaian dan transparansi harga gas domestik memang harus diterapkan. “Terutama harga jual dari KKKS ke PGN sebagai distributor. Kalau harga jual di konsumen akhir sebenrnya banyak yang sudah setara dengan harga internasional yang sekarang beada di kisaran US$4 – US$6 per mmbtu,” papar Pri Agung.
Harga jual gas di kepala sumur (wellhead) yang rendah (di kisaran US$1-US$2/mmbtu) saat ini bukan saja akan mmbuat penerimaan negara kecil namun juga akan membahayakan kelangsungan pasokan gas itu sendiri. “Karena hal itu akan menyurutkan minat KKKS untuk bproduksi dan memasok kebutuhan domestik,” ujarnya. Terkait masalah infrastruktur, ia menyarankan supaya pemerintah tidak hanya mengandalkan PGN saja. “Buka seluas-luasnya bagi siapa saja yang berminat. Namun untuk menarik investor prlu ada kejelasan tingkat pengembalian usaha, yang mestinya menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan informasi dan pemetaannya,” ujar Pri Agung. Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo menyatakan komitmen pemerintah tersebut akan segera diwujudkan dalam bentuk kebijakan teknis. “Apa yang dikatakan wapres adalah pekerjaan rumah (PR) untuk kita.
Memang ekspor gas baru akan dilakukan apabila ada kelebihan pasokan. Namun masalah terpenting bukan orientasi domestik atau ekspor. Yang menentukan harga gas menurut UU Migas (Nomor 22/2001) adalah pemerintah. Namun pemerintah harus mendengar dari semua pihak,” ujarnya. Usulan penetapan harga gas dengan mengikuti harga pasar (spot market) untuk domestik belum dibahas karena pasokan gas yang ada belum mencukupi permintaan pelanggan.
“Belum bisa selama pasokan belum mencukupi permintaan,” ujarnya. Menurut Evita untuk mencapai harga gas yang ekonomis dibutuhkan adanya jaminan pasokan gas, margin yang rasional dan harga yang terjangkau. “Itu harus kita perhitungkan,” ujarnya. Namun pemerintah masih belum berpikir untuk memberikan subsidi harga gas untuk pasokan domestik ini. “Subsidi memang kewajiban pemerintah, bukan kontraktor. Karena kalau kontraktor untuk menjaga kelangsungan bisnis, orientasi keuntungan pasti menjadi tujuan. Saat ini subsidi gas hanya diberikan pada rumah tangga dan UKM (elpiji 3 kg). Selain itu kami tengah membahas subsidi bahan bakar gas untuk transportasi,” ujar Evita.