Media Indonesia, 16 Juli 2010
JAKARTA–MI: Usulan Kementerian ESDM untuk melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (PSO) dengan melarang mobil produksi tahun 2005 ke atas belum menjamin tidak adanya kebocoran dalam prakteknya. Pun demikian halnya dengan penghematan volume dan besaran subsidi yang dihasilkan masih terbilang minim.
“Kebijakan ini tidak akan signifikan menekan volume maupun nilai penghematan. Implementasi di lapangan juga tidak gampang karena petugas SPBU harus mengenal jenis kendaraan produksi tahun 2005 atau sebelumnya. Pemakaian STNK untuk identifikasi bisa saja, namun belum menjamin tidak ada kebocoran,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, kepada Media Indonesia, Jumat (16/7).
Kecurangan yang dilakukan pemilik kendaraan dan petugas SPBU masih mungkin dilakukan disamping membuka peluang terbukanya praktek penimbunan BBM oleh pemilik mobil dibawah tahun produksi 2005 atau kendaraan umum untuk mencari keuntungan.
Menurutnya, dengan mengambil penghitungan dari tingkat konsumsi salah satu jenis BBM PSO yakni premium (bensin) saja, penghematan yang didapat tidak terlalu berarti.
Dalam hitungannya, berdasarkan data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) jumlah kendaraan yang mengkonsumsi premiun produksi tahun 2005 ke atas hanya sekitar 1,738 juta mobil, dengan asumsi jarak tempuh rata-rata per tahun 15.788 km (statistik energi Kementerian ESDM),rata-rata konsumsi premium kendaraan tersebut 1 liter untuk setiap 11 kilometer.
“Jadi per tahunnya sekitar 2,49 juta KL. Jika diterapkan mulai September, berarti penghematannya paling hanya sekitar 831,3 ribu KL atau senilai dengan Rp1,25 triliun saja,” paparnya.
Sementara mobil diesel pemakai solar yang kisarannya hanya 8%-9% (150 ribu-160 ribu unit) juga tidak akan menambah penghematan secara signifikan.
“Jadi kebijakan ini tetap tidak membuat subsidi tepat sasaran. Ini kebijakan yang masih setengah hati karena pemerintah tidak berani untuk tidak populer misalnya dengan menerapkan pembatasan konsumsi untuk kendaraan pribadi secara total,” ujarnya.
Sedangkan menurut Pengamat Transportasi Danang Parikesit menyatakan kebijakan ini akan percuma apabila pemerintah tidak membenahi infrastruktur transportasi umum.
“Saya kira sebagai instrumen pengurang subsidi bisa dilakukan, meskipun dalam praktek pengawasan di lapangan akan sulit. Namun untuk membuatnya menjadi instrumen pendorong pemakaian angkutan umum saya kira tidak,” ujar Danang.
Dampak yang justru akan terasa adalah apabila pemerintah mengalokasikan penghematan dari subsidi tersebut untuk pengembangan angkutan umum. “Kecuali kalau pengurangan subsidi bisa dialokasikan ke angkutan umum, dampaknya akan terasa signifikan,” pungkasnya. (Jaz/OL-3)