Media Indonesia, 22 September 2010
JAKARTA–MI: Rencana revisi undang-undang minyak dan gas bumi (migas) Nomor 22/2001 masih belum menunjukkan tanda akan dimulai. Namun sebagian kalangan menilai revisi UU ini berpeluang untuk tidak memperpanjang keberadaan badan pelaksana kegiatan usaha hulu (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.
“Di sektor hulu, revisi ini harus mencakup pengembalian kuasa pertambangan ke Pertamina dan atau setidaknya menetapkan bahwa Pertamina diberi keutamaan (priviledge) untuk mengelola blok migas yang habis masa kontraknya,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi tentang keberpihakan negara dalam pengelolaan sektor migas di Jakarta, Rabu (22/9).
Menurutnya, bila kedua hal tersebut dilakukan hal itu merupakan wujud konkrit keberpihakan negara terhadap perusahaan migas negara di dalam akses penguasaan dan pengelolaan migas nasional.
Kewenangan BP Migas selaku lembaga pengatur di sektor hulu migas sekaligus menjadi wakil pemerintah dalam kontrak kerjasama dengan operator migas tidak justru mempersempit peluang keberpihakan itu.
“Karena itu kewenangan tersebut lebih baik dikembalikan kepada pemerintah sehingga perusahaan migas nasional bisa diprioritaskan untuk berkembang secara maksimal,” ujarnya.
Sementara di sektor hilir, peran BPH Migas bisa digabungkan dengan fungsi Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Peran Ditjen Migas dalam regulasi dan pengawasan di hilir termasuk dalam masalah BBM bersubsidi perlu diperkuat. Opsi menggabungkan BPH Migas ke dalam Ditjen Migas oleh karenanya menjadi logis,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy.
“Pada dasarnya keberadaan BP Migas di sisi hulu tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional. Karena itu kami menginginkan dalam format Undang-Undang ke depan, BP Migas dan BPH Migas itu ditiadakan dan dikembalikan kepada institusi dengan format yang lebih transparan,” tuturnya.
Usulan peniadaan kedua lembaga tersebut, imbuhnya, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam revisi UU Migas No 22 Tahun 2001.
Menurutnya, ada persoalan mendasar dalam keberadaan BP Migas yang sampai sekarang masih belum tuntas yakni transparansi keuangan.
“Padahal, BP Migas mendapatkan bagian penerimaan dari setiap kontrak yang ditandatangani. Tapi itu bukan merupakan wilayah DPR. Jadi memang transparansinya belum tercapai,” ujarnya.
Selain itu, imbuhnya, tata kelola BP Migas sama seperti perseroan terbatas (PT), bisa saja membahayakan negara. “Jika BP Migas bangkrut, konsekuensi itu tentu menjadi tanggung jawab negara. Selain itu selama ini BP Migas terus menjadi bottleneck dengan lambannya persetujuan proposal rencana pengembangan (plan of development/PoD) dan persetujuan work program and budget (WPB) pengelolaan lapangan migas,” ujarnya.
Ia juga sependapat fungsi serta tugas dalam pengawasan dan pengaturan hilir yang selama ini dijalankan BPH Migas juga seharusnya dikembalikan kepada pemerintah.
“Begitu juga dengan keberadaan BPH Migas untuk sektor hilir, seharusnya diambil-alih oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas. Penetapan harga minyak dan gas itu kan tetap di tangan pemerintah,” pungkasnya. (Jaz/OL-3)