Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute)
INVESTOR DAILY, 29 November 2010
Beberapa hari belakangan ini, untuk kesekian kalinya, wacana pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mengemuka. Dikatakan wacana, pada dasarnya, karena dua hal, yakni pertama, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, apa yang sudah mengemuka di masyarakat itu tak kunjung direalisasikan.
Kedua, karena belum tampak adanya koordinasi yang matang di antara para pengambil kebijakan yang terkait. Para pengambil kebijakan di kalangan eksekutif tampaknya belum sepenuhnya satu suara menyangkut skenario ataupun mekanisme apa yang akan dipilih. Kalangan parlemen pun belum tentu akan menyetujui begitu saja pembatasan ini, terutama jika diterapkan mulai 1 Januari 2011.
Dua opsi yang mengemuka saat ini adalah pembatasan konsumsi BBM bersubsidi berdasarkan tahun produksi kendaraan (mobil), yakni hanya mobil yang diproduksi sebelum 2005 saja yang masih diperbolehkan mengonsumsi. Opsi kedua, hanya kendaraan umun dan sepeda motor yang masih diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. Semua mobil pribadi/perusahaan dan mobil dinas/pejabat pemerintah (pelat hitam dan merah) dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi.
Tegas, Cepat, Fair
Dari dua opsi tersebut, opsi pertama sebenarnya dapat dikatakan tidak realistis, atau terlalu dipaksakan, jika hendak diterapkan mulai 1 Januari 2011. Meskipun opsi ini dapat mengurangi konsumsi BBM bersubsidi (khususnya premium) hingga 7,08 juta kilo liter per tahun, dalam penerapannya, opsi ini tidaklah sederhana dan memerlukan waktu yang cukup untuk mempersiapkannya. Salah satu kendala terbesarnya tentu terletak pada bagaimana para petugas di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dapat mengidentifikasi dan membedakan kendaraan yang diproduksi sebelum atau tahun 2005 dan sesudahnya.
Katakanlah kendala ini dapat diatasi dengan penggunaan stiker. Namun, untuk menerapkannya diperlukan pendataan, registrasi, dan distribusi yang memerlukan proses dan mekanisme yang tidak sederhana. Potensi distorsi di lapangan menyangkut pemalsuan stiker, misalnya, tak bisa diabaikan begitu saja.
Opsi kedua memang relatif lebih sederhana dalam penerapannya di lapangan, terutama karena identifikasi kendaraan sudah jelas berdasarkan jenis dan warna pelat nomor yang ada. Di atas kertas, opsi ini berpotensi menghemat konsumsi BBM bersubsidi (khususnya premium) hingga 11,7 juts kilo liter per tahun atau sekitar 55% dari konsumsi bensin premium bersubsidi nasional saat ini. Namun, kendala terbesar dalam implementasi opsi kedua ini adalah seberapa jauh keberanian pemerintah untuk tidak populer di mats masyarakatnya.
Dalam kaitan opsi pertama, meskipun argumentasi dalam menggolongkan masyarakat mampu dan kurang mampu itu lemah, hal ini relatif masib memberikan citra pemerintah yang “baik hati”. Berbeda dengan opsi kedua di mana pemerintah tak pandang bulu mela rang semua mobil, pribadi menggunakan BBM bersubsidi. Jika pemerintah bergerak cepat dan sungguh-sungguh bekerja keras, opsi ini cukup realistis untuk diterapkan sejak 1 Januari 2011.
Dari sisi feasibilitas, opsi kedua lebih layak untuk dipilih dibandingkan opsi pertama. Karena itu, daripada terus menerus sekadar mewacanakan “lagu lama” pembatasan BBM bersubsidi, sebaiknya pemerintah segera mengambil kebijakan dengan berpijak pada tiga prinsip utama.
Pertama, pemerintah harus tegas. Tegas dalam arti bahwa opsi yang realistis diterapkan dalam segala keterbatasan yang ada sesungguhnya hanyalah opsi kedua-membatasi BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan roda dua. Tegas juga dalam konteks bahwa meskipun pilihan ini tidak ideal, pilihan ini relatif paling sedikit potensi dampak negatifnya.
Kedua, pemerintah harus bertindak cepat. Opsi manapun yang dipilih, keduanya menuntut kesiapan dan penyiapan infrastruktur dengan segera. Khususnya, infrastruktur untuk mendukung ketersediaan BBM non-subsidi, terutama tangki penyimpan dan dispenser BBM non-subsidi di SPBU.
Hiswana Migas melansir, dari 2.800 SPBU yang berada di Jawa-Bali saja, Baru 35% yang sudah memiliki tangki khusus Pertamax. Masalah kesiapan infrastruktur ini tentu membutuhkan penanganan cepat, dengan berkoordinasi dengan Pertamina dan pars pengusaha SPBU untuk mencari pemecahannya. Jika hal ini tidak segera ditangani, manakala kebijakan ini benar-benar diimplementasikan, dan terlebih secara nasional, apa yang akan terjadi tentunya adalah kelangkaan BBM nonsubsidi dan atau antrean di SPBU-SPBU.
Ketiga, pemerintah harus fair. Fair dalam arti berapa pun dana penghematan anggaran subsidi yang akan didapatkan, hal itu harus dapat dinikmati dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat, seperti pembangunan sarana dan prasarana transportasi masal yang memadai dan pengembangan energi alternatif yang signifikan.
BBG dan BBN
Karut-marut di sekitar BBM bersubsidi ini sesungguhnya bersumber dari ketidaksungguhan para penyelenggara negara dalam mengelola sektor energi nasional sebaik-baiknya. Sebagai negara dengan sumber energi beragam, kita telah menghadapi permasalahan subsidi BBM ini lebih dari satu dekade. Mestinya banyak cars yang lebih cerdas dan elegan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Bukan sekadar memindahkan beban masalah kepada masyarakat.
Menerapkan sistem subsidi langsung kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan dan bukan subsidi pada harga BBM sebagaimana yang cenderung dibinrkan selama ini adalah hal yang mestinya sudah dirintis sejak lama dan disempurnakan terus-menerus. Hal itu bisa dilakukan, antara lain, dengan mengembangkan bahan bakar gas (BBG) untuk sektor transportasi dan mengkombinasikannya dengan menggalakkan bahan bakar nabati (BBN).
Namun, karena semuanya tak digarap secara serius, ketergantungan energi nasional terhadap BBM malah menjadi semakin parah. Akhirnya, kita pun selalu jalan di tempat dengan permasalahan subsidi BBM ini. Dari tahun ke tahun kita selalu memunculkan wacana pembatasan BBM, tapi tak ada langkah pasti untuk_ menuntaskan permasalahan tersebut.
Karena itu, sikap tegas, cepat, dan fair, haruslah menjadi pedoman pemerintah dalam mengambil keputusan soal opsi pembatasan opsi BBM bersubsidi. Mengabaikan salah satunya, hanya akan membuat implementasi kebijakan menjadi tidak efektif, penuh distorsi dan permasalahan. Semua akhirnya berpulang ke pemerintah, dan masyarakatlah yang akan menilainya.