Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2010Menunggu Infrastruktur Pembatasan BBM

Menunggu Infrastruktur Pembatasan BBM

Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute)
Investore Daily,8 Desember 2010

JAKARTA- Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto mengingatkan, pasar gas alam cair (LNG) dari Indonesia terancam direbut Australia dalam beberapa tahun mendatang. “Indonesia mesti cepat merespon keinginan pasar,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu di Jakarta, Rabu.

Pri mencontohkan, lapangan gas Gorgon di Australia berkapasitas 5-15 juta ton per tahun milik Chevron akan mulai memproduksi LNG pada 2014.

Proyek LNG di Australia lainnya yang juga segera berproduksi adalah Pluto milik Woodside dengan kapasitas 4,8 juta ton dan Ichtys milik Total dan Inpex dengan delapan juta ton per tahun.

Menurut Pri, produksi LNG Australia tersebut bersamaan dengan rencana pengembangan lapangan gas Senoro di Sulawesi Tengah yang juga ditargetkan “on stream” pada 2014. “Australia memang siap mensuplai pasar LNG dunia mulai 2014 nanti,” katanya.

Proyek-proyek LNG di Australia itu, tambahnya, juga tengah mengincar pasar yang sama dengan Senoro yakni Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. “Kalau Senoro tidak segera ada kepastian produksi, maka kemungkinan akan direbut produsen Australia,” ujarnya.Hal senada dikemukakan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana. Menurut dia, DPR berkepentingan agar proyek Senoro segera terealisasi. “Kelanjutan proyek Senoro sangat dinantikan mengingat sudah lebih dari 20 tahun tidak dikembangkan,” ujarnya.

Pri Agung juga mengatakan, Jepang, Korea, dan Taiwan tidak mungkin menunda kebutuhan gasnya karena akan menghentikan kegiatan perekonomiannya. “Para konsumen itu akan mencari produsen LNG yang memberi kepastian pasokan,” katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Energy Review (IER) Aris Eko Sedijono juga melihat Australia sedang berusaha merebut pasar LNG dunia dengan sejumlah proyek yang sedang dibangun dan ditargetkan akan beroperasi di tahun 2014-2015.

Menurut dia, dengan produksi LNG yang besar, maka Australia tentu berupaya keras mendapatkan pasar, termasuk yang selama ini di pasok Indonesia yaitu Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.

La plupart des commandes sont expédiées dans un délai d’un jour, la posologie Kamagra Oral Jelly est 50 mg pris 1 fois avant le sexe et un pharmacien procède a la préparation de la commande Cialis. Joindre un produit dépressif à ces deux candidats ou ce n’est pas un secret pour personne que la plupart des personnes évitent de visiter le docteur à tout prix.

Saat ini, menurut Aris, Indonesia merupakan eksportir LNG terbesar ketiga di dunia dengan volume 20 juta ton per tahun atau setelah Malaysia di posisi kedua sebanyak 22 juta ton, dan Qatar yang menempati posisi pertama dengan 28 juta ton per tahun.

Sementara pasar LNG dunia masih didominasi Jepang yang menempati urutan pertama importir terbesar sebanyak 65 juta metrik ton per tahun, Korea Selatan di posisi kedua dengan 34 juta ton dan Spanyol 24 juta ton. (gor/ant)

Bisnis Indonesia, 6 Desember 2010

Dalam merespon permasalahan terkait subsidi BBM, gagasan untuk menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi agaknya benar-benar telah menjadi primadona pemerintah kita. Sejak tahun 2006, gagasan itu hampir selalu muncul silih berganti dengan beragam wacana dan rencana skenarionya. Yang terkini, tentu dengan dua opsi terbarunya yang ditawarkan, yaitu: (1) melarang kendaraan (mobil) plat hitam yang diproduksi tahun 2005 dan sesudahnya untuk mengonsumsi BBM bersubsidi, dan; (2) melarang semua kendaraan (mobil) plat hitam untuk mengonsumsi BBM bersubsidi. Dari kedua skenario tersebut, sepeda motor dan kendaraan umum akan tetap diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. Salah satu opsi itu rencananya jika mendapat persetujuan DPR – akan mulai diterapkan 1 Januari 2011 mendatang.

Dari kajian ReforMiner Institute(2010) diketahui bahwa opsi pertama, jika diterapkan serempak secara nasional, berpotensi menekan volume konsumsi BBM bersubsidi, khususnya bensin premium, hingga 7,08 juta kilo liter per tahun. Atau kurang lebih setara dengan Rp. 10,6 triliun penghematan anggaran subsidi di APBN. Opsi kedua, juga jika dijalankan bersamaan secara nasional, berpotensi mengurangi volume konsumsi bensin premium hingga 11,7 juta kilo liter per tahun. Atau kurang lebih setara dengan penghematan anggaran subsidi APBN sebesar Rp. 17,6 triliun. Dalam implementasinya di lapangan, opsi kedua relatif jauh lebih sederhana dibandingkan opsi pertama, karena tidak memerlukan identifikasi ataupun pembedaan kendaraan berdasarkan tahun. Pemerintah yang semula sempat cenderung populis, condong pada opsi pertama, kini mulai bergeser condong pada opsi kedua.

Belum siap Pergeseran ini, dilihat dari kacamata efektifitas, sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu hal positif yang patut diapresiasi. Namun, yang membuat kita sulit untuk memahami sebenarnya adalah bahwa setelah sekian lama dan berkali-kali mewacanakan penerapan pembatasan BBM, ternyata selama itu pula pemerintah tak membarenginya dengan menyiapkan secara sungguh-sungguh infrastruktur pendukungnya. Hiswana Migas melansir dari sekitar 2.800 SPBU di Jawa-Bali, hanya 35% nya saja yang sudah siap dengan tanki dan dispenser BBM non-subsidi. Dari keterangan Pertamina pun diketahui bahwa dari 600 SPBU yang ada di Jabodetabek, 200 diantaranya juga masih belum siap untuk mendistribusikan BBM non-subsidi (Bisnis Indonesia, 3/12/2010).Dengan kondisi seperti itu, rencana pembatasan BBM bersubsidi, baik opsi pertama maupun kedua, jelas kedua-duanya tak dapat diterapkan serempak secara nasional mulai 1 Januari 2011 nanti. Yang paling mungkin diterapkan hanyalah di wilayah Jabodetabek saja, itupun juga harus dibarengi dengan gerak cepat membenahi paling tidak 200 SPBU yang ada sehingga bisa menyalurkan BBM non-subsidi dan tidak menyebabkan terjadinya kelangkaan. Dengan seperti itu, maka volume konsumsi BBM bersubsidi yang dapat ditekan pada tahun 2011 pun jelas tidak akan dapat mencapai 7-11 juta kilo liter sebagaimana yang selama ini sering dikemukakan di publik sebagai dasar argumen untuk mendorong diterapkannya kebijakan ini, melainkan maksimal hanya akan di kisaran 500.000 kilo liter saja. Angka ini, jika dibandingkan dengan potensi dampak sosial ekonominya yang mungkin timbul seperti inflasi, kelangkaan, ketidakadilan, kiranya sangat tidak signifikan. Keputusan untuk menerapkan pembatasan BBM bersubsidi mulai 1 Januari 2011 tampaknya (lagi-lagi) patut ditinjau ulang secara lebih saksama.

Tinjau ulang Rekomendasi agar pemerintah (kembali) meninjau ulang penerapan rencana ini bukanlah dan tidak sama sekali dimaksudkan semata agar rencana pembatasaan yang sudah ada batal dijalankan. Tetapi lebih untuk memberikan waktu yang cukup agar pemerintah dapat membenahi masalah ketidaksiapan infrastruktur yang ada, khususnya menyangkut tanki dan dispenser di SPBU-SPBU, sehingga kebijakan yang dijalankan tidak sepotong-sepotong dan lebih efektif. Selain itu, juga untuk memberikan waktu lebih bagi pemerintah agar dapat melahirkan kebijakan-kebijakan lain yang mungkin sebenarnya jauh lebih elegan, lebih menyelesaikan masalah hingga ke akarnya, dan tidak terkungkung hanya sebatas pada rencana pembatasan dan pembatasan saja yang sejatinya tak beda dengan sekadar memindahkan beban masalah (pemerintah sendiri) ke pundak masyarakatnya.

Beberapa hal yang kiranya akan lebih baik dilakukan pemerintah di tahun 2011 ketimbang secara terburu-buru memaksakan menjalankan kebijakan pembatasan ditengah ketidaksiapan infrastruktur yang ada adalah: (1) bergerak cepat melakukan koordinasi dan pendekatan dengan pihak Pertamina dan para pengusaha SPBU untuk membenahi kesiapan SPBU-SPBU agar pada waktunya nanti seluruhnya siap untuk menyalurkan BBM non-subsidi; (2) merevisi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 dan Nomor 9 Tahun 2006 untuk mengoreksi kesalahan yang ada dalam pengaturan menyangkut pengguna BBM bersubsidi, yang selama ini masih dapat dinikmati oleh kapal berbendera asing dan kapal tujuan luar negeri (minyak solar) dan industri pertambangan (bensin premium); (3) lebih intensif mengatasi kebocoran-kebocoran dalam distribusi BBM bersubsidi yang disinyalir terjadi akibat praktik-praktik penyelundupan dan penyalahgunaan lainnya, yang oleh pemerintah sendiri dikatakan dapat mencapai 800.000 kilo liter per tahun (detikfinance, 14/9/2010)lebibesar dibandingkan potensi penghematan jika pembatasan dipaksakan di tahun 2011; (4) mencanangkan secara sungguh-sungguh pengembangan Bahan Bakar Gas (BBG) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk sektor transportasi di kota-kota besar sebagai program nasional dan menuangkannya ke dalam UU APBN sehingga program tersebut benar-benar dijalankan sebagaimana halnya ketika menjadikan program konversi minyak tanah ke LPG 3kg , dan; (5) mengkaji kemungkinan diterapkannya opsi lain di dalam mengatasi permasalahan subsidi ini diluar opsi pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, misalkan kenaikan harga BBM bersubsidi dalam besaran Rp. 100 – Rp. 300 per liter (kenaikan harga BBM bersubsidi Rp. 300 per liter akan menurunkan anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 11,5 triliun), ataupun opsi-opsi rasional lainnya yang out of the box.

Pada akhirnya, semuanya memang berpulang kepada pemerintah dan persetujuan DPR tentunya untuk memutuskan apa yang hendak dilakukan di tahun 2011 nanti. Ketegasan dalam hal ini memang diperlukan, namun tentunya bukan ketegasan yang sekadar tegas tetapi tanpa kearifan. Ketegasan dengan sesegera mungkin menyatakan bahwa opsi pembatasan BBM bersubsidi tidak akan dilaksanakan pada tahun 2011 mengingat infrastrukturnya belum siap dan untuk mengatasi permasalah subsidi BBM ini akan terlebih dahulu diupayakan dengan cara-cara lain, barangkali justru dapat merupakan ketegasan yang lebih diperlukan oleh masyarakat untuk saat ini. Tak perlu ragu mundur selangkah untuk kemudian maju atau melompat beberapa langkah ke depan dengan perbaikan lebih mendasar dan hasil yang lebih signifikan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments