Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute)
Suara Pembaruan, 13 Desember 2010
Bahwa bahan bakar gas (BBG) sangat potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber energi di sektor transportasi sesungguhnya bukan merupakan suatu hal baru bagi kita. Pertama kali dirintis di tahun 1986 dengan memanfaatkan compressed natural gas (CNG) sebagai pengganti bensin atau minyak solar, program BBG untuk transportasi dilak sanakan dalam bentuk pilot project khusus untuk digunakan taksi dan mikrolet di Jakarta. Pada awal program ini berjalan, tak kurang dari 6.600 unit kendaraan sudah menggunakan BBG sebagai bahan bakarnya. Namun, jumlah ini kemudian berkurang sedikit demi sedikit. Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2008), dari total 86.995 angkutan umum di Jakarta, hanya 1.139 unit yang menggunakan BBG. Atau berarti hanya sekitar 1,5% nya saja.
Dan jumlah total taksi yang ada di Jakarta, 26.000 unit, yang menggunakan BBG baru 605 unit. Lalu, dari 16.000 mikrolet, yang menggunakan BBG bare 36 unit.
Untuk bajaj, dari jumlahnya yang mencapai 14.300 armada, yang menggunakan BBG baru 116 armada. Dari sekitar 10.000 metromini dan 8.000 bus besar, belum satu pun yang menggunakan BBG. Yang barangkali cukup “lumayan” adalah bus TransJakarta, dari 618 armadanya saat ini, 527 di antaranya telah menggunakan BBG. Suplai BBG untuk kendaraan-kendaraan tersebut saat ini dipenuhi dari sekitar 6 SPBG yang masih benar-benar beroperasi aktif. Dan angka-angka tersebut maka menjadi tak mengherankan jika porsi penggunaan BBG dalam bauran energi final untuk sektor transportasi secara nasional juga masih sangat-sangat kecil, hanya sekitar 0,06% saja.
Keterbatasan Masalah-masalah seperti keterbatasan jaringan pipa distribusi gas bumi, harga konverter kit yang mahal, investasi dan biaya operasi SPBG yang lebih mahal, marjin yang kurang menarik bagi pengusaha SPBG, ditambah opini masyarakat bahwa penggunaan BBG memiliki risiko faktor keamanan yang lebih besar dibandingkan BBM, dan masih sedikitnya bengkel pemeliharaan, adalah beberapa kendala utama yang menyebabkan BBG untuk transportasi menjadi tidak berkembang.
Kini, seiring dengan impor BBM nasional yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyubsidi BBM, terlebih BBM untuk sektor transportasi yang dipandang lebih banyak tidak tepat sasaran, opsi untuk kembali mendorong penggunaan BBG untuk sektor transportasi tampaknya menjadi satu pilihan kebijakan yang harus didorong secara lebih serius dan konsisten. Permasalahan dan kendala pada dasarnya masih tetap sama, namun pendekatan yang harus dilakukan pemerintah dalam merespons dan mengatasi masalah yang ada tersebut hendaknya berbeda.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini, tak lain sesungguhnya adalah dengan menjadikannya sebagai sebuah program nasional yang konkret dan masif, seperti halnya yang dilakukan pemerintah ketika mendorong konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. Jadi, dalam hal ini BBG transportasi harus benar-benar dituangkan menjadi satu program yang mendapat alokasi anggaran khusus dalam UU APBN, dengan target capaian setiap tahun yang jelas dan terukur.
Langkah selanjutnya adalah mengalokasikan anggaran itu sendiri secara nyata. Anggaran ini hendaknya sudah bukan lagi ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya studi, melainkan secara lebih konkret langsung ditujukan untuk hal-hal, seperti pemeerian insentif bagi produsen gas, perluasan jaringan pipa distribusi, pembangunan SPBG-SPBG bare, dan insentif bagi pengoperasiannya, subsidi harga konverter kit, dan sosialisasi yang intens kepada masyarakat.
Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah sebenamya untuk mengatakan bahwa tidak ada dana untuk itu, karena anggaran subsidi BBM yang jumlahnya bahkan mencapai Rp 95 triliun untuk tahun 2011 sesungguhnya dapat direalokasikan.
Harga BBG yang berlaku saat ini, berkisar Rp 2.500 sampai Rp. 3.600 per liter setara premium (lsp), masih lebih murah dibandingkan dengan harga bensin premium Rp 4.500. Artinya, jika tingkat harga BBG itu secara keekonomian belum memberikan insentif bagi produsen gas, pengusaha SPBU, ataupun konverter kitnya yang dirasa masih mahal, sebenarnya masih ada ruang (selisih), kurang lebih sekitar Rp. 1.000 per Isp bagi pemerintah untuk membuat harga BBG menjadi lebih ekonomis lagi. Selisihnya dengan harga yang berlaku saat ini ditanggung oleh pemerintah melalui APBN. Dengan ketersediaan gas yang lebih banyak, gas yang lebih bersih dan lebih ramah lingkungan, maka jelas akan lebih baik jika pemerintah memberikan tambahan subsidi Rp 1.000 per liter untuk BBG dibandingkan Rp 2.000 untuk BBM.
Langkah berikutnya adalah menetapkan skala prioritas dan menerapkan sistem kewajiban (mandatory) dalam target penggunanya. Patut dicatat dalam hal ini, penggunaan BBG di sektor transportasi di negaranegara lain, seperti halnya di Pakistan (2,4 juta kendaraan), Argentina (1,8 juta kendaraan), Iran (1,7 juta kendaraan), Brasil (1,6 juta kendaraan), dapat berjaIan dan berkembang dengan baik karena dimulai dari target pengguna yang diwajibkan. Maka, dalam hal ini, kendaraan umum di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang ataupun kota-kota besar lainnya yang mendapat akses pasokan gas, relevan kiranya untuk kembali dijadikan target awal dalam penerapan BBG transportasi ini. Pertimbangan pemilihan kendaraan umum sebagai target awal ini bukanlah didasarkan atas diskriminasi, melainkan karena dalam aspek pengendalian dan pengaturan, termasuk dalam mekanisme dan penyaluran subsidinya, relatif lebih mudah dijangkau oleh pemerintah.
Sejalan dengan penetapan prioritas ini, pembangunan infrastruktur penunjangnya, seperti pipa distribusi dan SPBG juga harus secara paralel dilakukan, karena hal itu sangat berkaitan erat dengan jaminan ketersediaan BBG itu sendiri. Sosialisasi dan kampanye nasional kepada masyarakat tentang penggunaan BBG untuk sektor transportasi yang aman dan ramah lingkungan juga perlu dilakukan secara intens karena pada tahap selanjutnya target pengguna BBG ini perlu diperluas kepada kendaraan-kendaraan pribadi. Dalam hal ini, keberhasilan di program BBG untuk transportasi umum yang diterapkan terlebih dahulu akan sangat menentukan diterima tidaknya BBG ketika “dijual” untuk kendaraan pribadi.
Beberapa langkah awal inilah yang perlu kiranya segera ditempuh oleh pemerintah agar program BBG untuk sektor transportasi ini benar-benar dapat terealisasikan dan memberikan hasil yang signifikan, sehingga dalam merespons permasalahan-permasalahan terkait subsidi BBM, pilihan yang diajukan pemerintah kepada masyarakatnya tak lagi hanya sekadar pembatasan BBM dan pembatasan BBM lagi sebagaimana yang selalu mengemuka dalam beberapa tahun terakhir ini.