Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011Target Lifting Minyak: Pertimbangan Bisnis atau Politis?

Target Lifting Minyak: Pertimbangan Bisnis atau Politis?

Komaidi
(Deputy Director ReforMiner Institute)
Indonesia Finance Today, 21 April 2011

Realisasi lifting minyak nasional hingga awal kuartal II yang hanya sebesar 912 ribu barel per hari terus menuai polemik. Realisasi lifting tersebut tidak hanya jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 yang ditetapkan sebesar 970 ribu barel per hari, tetapi juga telah menyebabkan mundurnya salah seorang pejabat yang merasa bertanggung jawab atas tidak tercapainya target lifting minyak nasional. Tidak tercapainya atau kegagalan memenuhi target lifting minyak yang ditetapkan Anggaran Negara 2011 bukanlah yang pertama. Dalam sebelas tahun belakangan (2000-2010), realisasi lifting minyak nasional selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan APBN.Target dan Realisasi Lifting Minyak Nasional Bahkan tidak jarang realisasi lifting minyak nasional juga masih lebih rendah dibandingkan target yang ditetapkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Adapun perbandingan realisasi dan target lifting minyak yang ditetapkan di dalam Anggaran Negara dalam sebelas tahun terakhir adalah sebagai berikut :

Sampai sejauh ini, sesuai dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 bahwa minyak merupakan salah satu kekayaan atau komoditas yang harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam pengusahaan dan pengelolaan minyak nasional kental dengan aspek politik. Dalam penetapan target lifting minyak saja, misalnya, harus melibatkan multi-stakeholder yang salah satunya harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun secara teknis-bisnis, Dewan kurang atau tidak memiliki kapabilitas dalam menetapkan angka target lifting minyak nasional. Karenanya, tidak jarang angka asumsi (target) lifting minyak yang ditetapkan di dalam Anggaran Negara merupakan angka hasil tawar-menawar atau angka kompromi, dan cenderung jauh dari pertimbangan aspek teknis-bisnis. Oleh sebab itu, terkait realisasi lifting minyak yang selalu lebih rendah dibandingkan target, patut diduga bahwa dominasi aspek politis dalam penetapan target lifting minyak jauh lebih kuat dibandingkan dengan pertimbangan teknis-bisnis yang seharusnya menjadi dasar utama. Dalam konteks teknis-bisnis, tidak tercapainya target lifting (menurunnya produksi) minyak dapat disebabkan atau dimungkinkan oleh beberapa hal. Terjadinya unplanned shut down, keterlambatan proyek, offtaker, cuaca yang tidak mendukung, kondisi sumur yang sudah tua, dan beberapa peralatan produksi yang juga sudah tua adalah beberapa penyebab yang menyebabkan tidak tercapainya target lifting (produksi) minyak. Namun demikian, secara bisnis beberapa faktor yang berpotensi menghambat lifting minyak juga dapat dihitung probabilitasnya berdasarkan data time series atau kejadian yang pernah terjadi sebelumnya. Karena itu, jika probabilitas dari terjadinya gangguan produksi minyak diakomodasi dalam menetapkan target lifting minyak nasional, semestinya melesetnya angka realisasi lifting dibandingkan target tidak akan terlalu besar atau minimal tidak terlalu sering. Terkait hal itu, tidak berlebihan kiranya bahwa jika argumentasi atas kegagalan target lifting minyak yang disampaikan adalah karena hal itu-itu saja dan terus berulang dalam kurun puluhan tahun, justru merupakan cerminan bahwa otoritas yang bertanggung jawab atas produksi minyak nasional enggan atau tidak mau belajar dari kesalahan di masa lalu. Dua Konsekuensi Sementara itu, penetapan asumsi lifting minyak nasional di Anggaran Negara paling tidak akan membawa dua konsekuensi utama. Pertama, terkait dengan kementerian dan/atau lembaga yang bertanggung jawab atas produksi minyak nasional. Jika target lifting minyak ditetapkan rendah , kementerian dan/atau lembaga yang bertanggung jawab atas produksi minyak nasional dianggap kurang/tidak bekerja . Sementara jika ditetapkan terlalu tinggi , kementerian dan/atau lembaga yang bertanggung jawab atas produksi minyak nasional juga dianggap kurang/tidak bekerja atau gagal jika target lifting minyak tersebut pada akhirnya tidak tercapai. Kedua, terkait dengan postur Anggaran Negara itu sendiri. Asumsi lifting minyak yang ditetapkan terlalu tinggi cenderung memicu belanja negara pada level yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan dengan asumsi lifting minyak yang tinggi, asumsi penerimaan negara juga ditetapkan tinggi. Sehingga seolah menjadi wajar jika pos-pos belanja negara di Anggaran Negara juga ditetapkan tinggi. Karena itu, jika target lifting minyak tidak tercapai, sementara untuk menurunkan pos belanja negara (Belanja Kementerian dan Lembaga khususnya) hampir tidak mungkin dilakukan, proporsi bagian negara atas nominal dari tidak tercapainya target lifting tersebut merupakan defisit atau tambahan defisit Anggaran Negara.

Revisi Asumsi Sementara itu, terkait dengan penetapan asumsi Anggaran Negara, memang masih terdapat opsi APBN-P untuk merevisi asumsi lifting minyak yang dinilai terlalu tinggi dan kemungkinan tidak tercapai. Berkaitan dengan hal itu, dalam 11 tahun terakhir, berdasarkan data yang ada, pemerintah melakukan sembilan kali revisi target lifting minyak menjadi lebih rendah dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam model anggaran yang berlaku, revisi terhadap asumsi Anggaran Negara memang lazim dilakukan dan dibenarkan oleh konstitusi sepanjang dalam perkembangannya terdapat faktor internal dan eksternal yang berada di luar kontrol terus berkembang dan mengharuskan asumsi Anggaran Negara harus diubah atau disesuaikan. Akan tetapi, jika revisi Anggaran Negara tersebut akibat dari kesalahan penetapan asumsi, akibat dari angka asumsi yang ditetapkan merupakan angka politis sehingga tidak sesuai dengan realitas bisnis yang sesungguhnya, tentunya bukanlah hal-hal yang dibenarkan oleh konstitusi atau logika awam sekalipun. Terkait komoditas minyak, meskipun diamanahkan oleh konstitusi UUD 1945 bahwa harus dikuasai oleh negara pada satu sisi, tetapi pada sisi yang lain hakekat minyak sebagai komoditas ekonomi/bisnis tidak dapat dikesampingkan. Artinya, dalam pengelolaan dan pengusahaannya harus tetap mengedepankan aspek ekonomi/bisnis, meski posisi strategis komoditas minyak dalam konteks politis tentunya juga harus tetap dijaga. Karena itu, sudah selayaknya bahwa dalam menetapkan target lifting minyak nasional aspek teknis-bisnis (yang mengakomodasi berbagai kemungkinan dan risiko bisnis) harus dikedepankan. Mengingat komoditas minyak menguasai hajat hidup masyarakat luas, memiliki keterkaitan yang besar dalam pos penerimaan dan pengeluaran di Anggaran Negara, dan terkait dengan kemampuan pemerintah dalam memberikan subsidi kepada masyarakat, ketepatan dalam menentukan target lifting sangatlah penting. Karena itu, terlalu mahal biaya yang harus ditanggung jika penetapan target lifting minyak hanya didasarkan atas angka tawar-menawar, angka kompromi, angka politis, terlebih angka trial and error yang jauh dari dasar perhitungan bisnis industri hulu migas itu sendiri.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments