Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011MENDONGKRAK PRODUKSI MINYAK NASIONAL

MENDONGKRAK PRODUKSI MINYAK NASIONAL

PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Investor Daily, 16 Mei 2011

Produksi minyak nasional (lebih sering disebut dengan istilah lifting) terus menurun sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dari mulai 1,5 juta barel per hari (bph) di tahun 1996, menurun di kisaran 1,3 juta bph di tahun 2000, dan terus menurun di bawah 1 juta bph di sejak tahun 2004 lalu. Berbagai upaya diklaim telah dilakukan oleh pemerintah. Dari mulai optimalisasi melalui pengeboran sumur pengembangan (development wells), penerapan teknologi produksi tahap kedua (secondary recovery), percepatan dan penyederhanan birokrasi, hingga membentuk Tim Pengawas Peningkatan Produksi Migas (TP3M), dan yang terkini, Tim Percepatan Produksi Migas. Namun produksi minyak tetap tak beranjak, dan bahkan realisasi hingga akhir April 2011 ini hanya ada di kisaran 912 ribu bph. Apa yang salah sebenarnya sehingga produksi minyak terus menerus turun dan tak kunjung meningkat Dimana letak dan akar masalah yang sesungguhnya dari permasalah ini Upaya apa yang (mestinya) dapat dilakukan untuk memperbaiki dan membereskan satu per satu permasalahan yang ada

Minim eksplorasi

Inti masalah dari terus menurunnya produksi minyak nasional sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah karena minimnya kegiatan (investasi) eksplorasi. Investasi eksplorasi, untuk mencari dan menemukan cadangan-cadangan minyak baru dari lapangan atau blok migas baru (termasuk di dalamnya untuk mengubah status sumber daya menjadi cadangan, atau mengubah status cadangan potensial menjadi cadangan terbukti), adalah kunci untuk menjaga tingkat produksi yang berkelanjutan. Tambahan produksi migas dalam besaran signifikan yang dapat mendongkrak produksi minyak nasionalhanya dapat dihasilkan dari produksi lapangan migas baru yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi. Yang terjadi dalam industri perminyakan nasional, khususnya dalam satu dekade terakhir ini adalah bahwa tingkat investasi eksplorasi yang ada ternyata (sangat) minim.

Proporsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu migas dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata hanya sekitar 8%. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase biaya yang dikeluarkan untuk urusan umum dan administrasi yang rata-rata mencapai kisaran 11-12%.

Proporsi investasi eksplorasi sebelum tahun 2000 masih mencapai 12%, atau tergolong moderat-rendah. Meskipun tidak ada angka dan ketentuan baku, namun untuk menjaga tingkat produksi yang lebih berkelanjutan setidaknya diperlukan proporsi investasi eksplorasi yang setidaknya ada di kisaran 15-20% (proporsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu migas yang mencapai 20 – 25% atau lebih tergolong agresif). Pemerintah boleh mengklaim bahwa nilai investasi secara keseluruhan dari tahun ke tahun terus meningkat. Tapi, investasi itu sebagian besar bukanlah ditujukan untuk menemukan cadangan-cadangan migas baru yang sangat diperlukan bagi peningkatan produksi yang signifikan. Investasi itu sebagian besar hanya ditujukan untuk pemeliharaan sumur-sumur produksi yang ada (sekitar 60%), untuk pengembangan lapangan-lapangan yang sudah ada (existing) (sekitar 20%), dan untuk biaya umum dan administrasi (sekitar 12%).

Investasi untuk pemeliharan dan pengembangan lapangan yang sudah ada, termasuk di dalamnya optimalisasi produksi dengan secondary recovery, sudah dapat diduga hasilnya, yaitu maksimum hanya akan mampu menutup penurunan produksi alamiah (natural decline) yang terjadi dari lapangan-lapangan lama yang ada. Dengan porsi investasi eksplorasi yang hanya sekitar 8%, maka sebenarnya menjadi amat sangat tidak mengherankan ketika produksi minyak nasional terus menurun. Sejak tahun 2000, selain Blok Cepu, praktis tidak ada lagi big fish , atau cadangan migas dari lapangan baru dalam besaran yang signifikan, yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi yang ada.

Iklim investasi tidak kondusif

Minimnya investasi eksplorasi tentu bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena iklim investasi yang tidak kondusif, kalaulah tak ingin disebut buruk. Investasi eksplorasi adalah investasi dalam kegiatan hulu migas yang tingkat resikonya paling tinggi dan dimana investor juga belum akan mendapatkan return. Jika iklim investasinya tidak kondusif banyak faktor yang menjadi penghambat, secara otomatis investasi eksplorasi itu akan urung dilakukan.

Akan halnya yang terjadi di Tanah Air, satu hal mendasar yang menjadi akar penyebab sangat tidak kondusifnya iklim investasi eksplorasi hulu migas sesungguhnya adalah karena tingginya ketidakpastian (uncertainty) yang ada. Ketidakpastian ini mencakup beberapa aspek mendasar, diantaranya yang utama adalah:

(1) Ketidakpastian menyangkut dihormatinya kontrak yang berlaku. Permasalahan seperti DMO (Domestic Market Obligation), capping cost recovery, yang seringkali tidak sinkron dengan isi kontrak yang ada menimbulkan tanda tanya besar bagi investor.

(2) Ketidakpastian menyangkut aturan main yang berlaku. Banyaknya undang-undang dan peraturan yang tumpang tindih akibat lemahnya koordinasi diantara Kementerian dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (seperti halnya UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Pelayaran, UU Otonomi Daerah dan PP Cost Recovery) merupakan penyebab utamanya.

(3). Ketidakpastian menyangkut adanya intervensi kewenangan dari sektor atau badan pemerintah lain di luar migas, seperti halnya dari otoritas perpajakan, auditor, ataupun pengawasan persaingan usaha.

(4). Ketidakpastian yang diakibatkan oleh adanya intervensi politik-kekuasaaan, sebagaimana yang sering terlihat dalam kasus perpanjangan/pengakhiran kontrak ataupun pengalihan saham partisipasi (Participating Interest).Selain ketidakpastian, hal lain yang menjadi faktor penghambat adalah masalah birokrasi yang memakan waktu dan cenderung terlalu mencampuri hal-hal teknis dan bisnis yang bersifat mikro. Hal ini terkait dengan pola pengusahaan kegiatan hulu migas di Tanah Air yang saat ini dijalankan dengan pola Government (G) to Business (B), yaitu antara BP Migas dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan bukan B to B. Pola G to B ini tanpa disadari telah menempatkan KKKS sebagai obyek yang harus diawasi hingga ke hal-hal detil sehingga mengurangi fleksibilitas dan mendistorsi esensi pola bagi hasil produksi dan kerja sama (partnership) pengusahaan migas yang semestinya.

Satu hal lain yang juga menjadi penyebab adalah hal teknis, yaitu minimnya kualitas data dan informasi dari blok-blok migas baru yang ditawarkan. Kombinasi dan keterkaitan dari hal-hal itulah yang menyebabkan iklim investasi eksplorasi hulu migas di Tanah Air menjadi sangat tidak kondusif. Begitu tidak kondusifnya, sehingga menutup potensi dan prospektifitas geologi sumber daya yang ada. Padahal, para ahli geologi mengatakan bahwa potensi sumber daya minyak yang ada di perut bumi kita mencapai 80 milyar barel minyak lebih, sehingga seharusnya secara geologis masih sangat menarik bagi investasi ekplorasi-produksi.

Maka, jika ingin mendongkrak produksi minyak secara signifikan, tak ada jalan lain bagi kita untuk menghilangkan satu per satu faktor-faktor penghambat di atas sesegera mungkin. Selain koordinasi antar Kementerian dan dengan pemerintah daerah yang harus segera dibereskan, satu hal yang mendesak diperlukan sebagai langkah awal untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat di atas sesungguhnya adalah hadirnya Undang-Undang Migas baru yang lebih baik.

Ketidakpastian-ketidakpastian yang ada dan menjadi penyebab dari tidak kondusifnya iklim investasi bagi kegiatan eksplorasi sesungguhnya adalah buah dari lubang-lubang yang ada pada UU Migas 22/2001 yang berlaku. Maka, melakukan revisi UU Migas tersebut sesegera mungkin adalah suatu keharusan. UU Migas yang baru adalah pintu masuk, bukan saja untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat investasi di atas, tetapi juga untuk meletakkan pondasi pengelolaan industri migas nasional yang lebih baik. Dari sana, barulah kita bisa berharap dalam 3-5 tahun dan sesudahnya dapat ditemukan sejumlah big fish yang akan menjadi pendongkrak produksi minyak nasional kita. Semoga.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments