Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011Pengaturan Subsidi BBM, antara Keberanian-Kesungguhan dan Fatwa

Pengaturan Subsidi BBM, antara Keberanian-Kesungguhan dan Fatwa

Komaidi
Deputi Direktur ReforMiner Institute
Media Indonesia, 13 Juli 2011

DALAM menyelesaikan permasalahan subsidi BBM-masalah klasik yang sebenarnya hampir selalu berulang setiap tahun-pengambil kebijakan seolah telah kehabisan cara. Hal tersebut terlihat dari langkah pengambil kebijakan yang melibatkan lembaga yang secara substantif dan teknis tidak kapabel mengatur BBM bersubsidi.

Sebagaimana diketahui, dalam beberapa pekan terakhir, langkah Kementerian Teknis yang melibatkan lembaga agama (tertentu) dalam pengaturan BBM bersubsidi justru kontraproduktif. Meski selanjutnya dibantah dengan berbagai argumentasi, wacana kebijakan tersebut telah menuai polemik di masyarakat dan menyebabkan keprihatinan yang mendalam bagi stakeholders sektor migas nasional.

Berkaitan dengan subsidi para ahli berpendapat, sepanjang subsidi, termasuk subsidi BBM, diberikan dengan mekanisme subsidi harga, distorsi dalam pelaksanaannya akan terjadi. Subsidi harga akan menyebabkan disparitas harga, kemudian disparitas harga tersebut membuka celah terjadinya berbagai penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang berupaya mengambil untung.

Karena itu, sepanjang subsidi diberikan dengan mekanisme subsidi harga, salah sasaran yang mungkin terjadi akibat subsidi tidak dinikmati yang berhak akan terbuka lebar. Dengan melihat kondisi tersebut, para ahli menyarankan pemberian subsidi, termasuk subsidi BBM, dilaksanakan melalui mekanisme subsidi langsung. Subsidi langsung Teknis dan mekanisme subsidi langsung dapat dilaksanakan dengan memberikan kartu tanda subsidi (KTS) bagi yang berhak menerimanya dan kartu itu tidak boleh dipindahtangankan. Selanjutnya, jika koordinasi lintas sektoral telah dilaksanakan dengan baik, KTS tersebut dapat diperluas lagi agar dapat digunakan untuk mengakses berbagai jenis subsidi, misalnya subsidi BBM, subsidi kesehatan, subsidi pendidikan, subsidi pangan, dan jenis subsidi lain sepanjang jenis subsidi yang akan diakses tercantum dalam KTS individu yang hendak mengakses subsidi tersebut. Meski sifatnya masih terbatas, mekanisme subsidi langsung itu sebenarnya pernah diaplikasikan pemerintah dalam program bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

Akan tetapi, permasalahan yang mendasar, agar subsidi langsung dapat diimplementasikan, menuntut adanya akuntabilitas dan kejujuran dari semua pihak, baik pengambil kebijakan maupun masyarakat yang menjadi objek kebijakan. Akuntabilitas dalam menetapkan kriteria pihak-pihak yang berhak menerima KTS serta kejujuran dan peran aktif masyarakat dalam proses pendataan jumlah penduduk miskin yang akan digunakan sebagai basis kebijakan berperan penting terhadap tingkat keberhasilan implementasi subsidi langsung.

Berkaitan dengan dua persyaratan mendasar yang sebenarnya `sangat sederhana’ itu, dalam waktu dekat ini kebijakan subsidi langsung belum dapat diimplementasikan di Indonesia.

Inkonsistensi data kemiskinan menjadi alasan utama mengapa pelaksanaan subsidi langsung itu belum dapat diimplementasikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, validitas data kemiskinan yang ada masih diragukan.

Beberapa catatan dari data tersebut masih perlu dikaji ulang. Adapun beberapa catatan dari data kemiskinan itu misalnya (1) data jumlah penduduk miskin yang disampaikan hanya sekitar 30 juta jiwa, tetapi jumlah yang menerima raskin (beras untuk rakyat `miskin’) seki tar 70 juta jiwa; (2) jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun, tetapi di sisi yang lain porsi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi (indikator masyarakat miskin) justru meningkat; (3) jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun, tetapi konsumsi kalori (salah satu indikator kemiskinan) justru mengalami penurunan; dan (4) pertanyaan publik mengenai perbedaan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah dan Bank Dunia juga belum mampu dijawab. Selain beberapa catatan tersebut, dalam banyak kasus sering kali ditemukan, menjelang hajatan politik, demi memuluskan langkah incumbent jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun signifikan. Akan tetapi, ketika program-program bantuan sosial dilaksanakan, jumlah penduduk miskin (yang mengaku miskin) hampir di seluruh daerah dilapor kan me ningkat.

Karena validitas data kemiskinan yang akan menjadi basis kebijakan masih diragukan, kiranya implementasi subsidi langsung dalam waktu dekat memang belum dapat dilaksanakan. Jika subsidi langsung dipaksakan untuk diimplementasikan dengan basis data yang tidak konsisten (bahkan manipulatif), kebijakan yang diterapkan menjadi tidak efektif, bahkan potensi terjadinya distorsi kebijakan bisa lebih besar daripada distorsi akibat kebijakan subsidi dengan mekanisme subsidi harga.

Karena itu, implementasi pemberian subsidi BBM dengan mekanisme subsidi langsung dalam waktu dekat ini, terlebih jika diperuntukkan untuk mengatasi tekanan fiskal pada 2011, kiranya masih jauh dari kesiapan. Keberanian dan kesungguhan Karena implementasi kebijakan subsidi langsung menuntut basis data kebijakan yang kuat–melibatkan koordi nasi lintas sektoral dan lintas regional–dan beberapa persyaratan tersebut masih belum mampu m dipenuhi, pengambil kebijakan k diharuskan mencari alternatif kebijakan yang lebih mungkin dalam waktu yang relatif sempit.

Dengan minimnya alternatif kebijakan dalam jangka pendek, kunci penyelesaian masalah subsidi BBM adalah keberanian dan kesungguhan pengambil kebijakan. Dalam jangka pendek, keberanian pengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah fiskal, akibat realisasi subsidi yang diperkirakan melebihi kuota, sangatlah diperlukan.

Program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang urung dilaksanakan karena ketidaksiapan infrastruktur berpotensi memberikan tekanan fiskal. Padahal, program tersebut merupakan salah satu asumsi untuk menetapkan kuota subsidi BBM pada 2011. Karena itu, solusi untuk mengatasinya harus segera dicari.

Dengan minimnya pilihan kebijakan yang ada, menaikkan harga BBM dalam besaran yang terbatas (sesuai dengan kebutuhan) merupakan pilihan yang realistis, terlebih hal tersebut telah diatur dan dijamin konstitusi. Pilihan pahit memang, pahit bagi masyarakat dan pahit bagi pengambil kebijakan karena membutuh kan keberanian agar tidak `populis’.

Akan tetapi, jika pengambil kebijakan masih berorientasi meninabobo kan masyarakat untuk sesaat-demi popularitas yang masih dikedepan kan–menambah utang untuk menutup defisit fiskal yang ada mungkin menjadi pilihan utama yang akan diambil.

Untuk jangka panjang, agar subsidi lebih tepat sasaran, kesungguhan pengambil kebijakan dalam menetapkan kriteria penerima manfaat program dan kejujuran selama proses pendataan penduduk miskin-yang akan menjadi basis kebijakan subsidi langsung–memegang peranan vital. Secara paralel, meninjau tata cara pengelolaan, pengusahaan, dan pengaturan energi (terutama BBM) di negara-negara yang telah sukses mengatur dan memenuhi kebutuhan energi untuk masyarakat kiranya akan lebih membantu pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat.

Oleh karena itu, mengadopsi dan memodifikasi kebijakan untuk menyempurnakan konsep kebijakan subsidi BBM langsung dan mengimplementasikannya dengan sungguh-sungguh dan konsisten akan lebih substansial untuk menyelesaikan pokok permasalahan, daripada sekadar meminta ?fatwa? kepada pihak yang tidak kapabel mengatur BBM bersubsidi. Karena pengaturan subsidi BBM kian pelik, pada prinsipnya dibutuhkan pengambil kebijakan yang tidak hanya memiliki kapasitas, tetapi juga ?keberanian dan kesungguhan? dalam menyelesaikan permasalahan.

Karena itu, sepanjang pengelolaan sektor strategis untuk hajat hidup masyarakat luas ini diserahkan dan dipegang pengambil kebijakan yang hanya mampu bersembunyi di balik ?fatwa? atas ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan ketidakmauan menyelesaikan masalah secara tuntas, kiranya terlalu jauh berharap adanya perbaikan yang signi?kan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments