Pri Agung Rakhmanto
Pemerhati Kebijakan dan Ekonomi Energi ReforMiner Institute
Kompas, 2 Agustus 2011
Pemerintah menginstruksikan penghematan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan operasional kementerian dan lembaga sebesar 10 persen mulai Agustus 2011. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen menghemat penggunaan listrik sebesar 27 persen pada tahun 2011, atau naik dibandingkan dengan target sebelumnya 25 persen, di kantor kementerian dan lembaga. Ini adalah bagian dari implementasi Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penghematan Energi dan Air (Kompas, 27 Juli 2011; halaman utama).
Ada beberapa hal yang bisa kita baca dari cuplikan berita tersebut. Setidaknya adalah: Pertama, bahwa selama ini kendaraan operasional kementerian dan lembaga pemerintah ternyata masih menggunakan BBM bersubsidi. Kedua, bahwa di tahun sebelumnya, pemerintah telah menetapkan target penghematan penggunaan listrik sebesar 25 persen di kantor kementerian dan lembaga. Ketiga, instruksi penghematan energi di tahun 2008 tidak atau belum diimplementasikan, sebagian atau seluruhnya, sehingga perlu diinstruksikan kembali saat ini.
Jika kita membacanya lebih jauh lagi, tidak sekedar dari apa yang tertulis tersebut, apa yang dapat kita baca dari ketiganya kemudian dapat menjadi: Pertama, bahwa pemerintah sesungguhnya tidak konsisten dengan seruan dan ribuan spanduk yang disebarkannya sendiri yang menyatakan bahwa BBM bersubsidi adalah hanya untuk golongan tidak mampu. Ini sekaligus juga dapat memunculkan makna bahwa selama ini pemerintah sendiri termasuk bagian dari golongan tidak mampu sehingga masih menggunakan BBM bersubsidi. Kedua, bahwa target penghematan penggunaan listrik 25 persen yang telah ditetapkan sebelum ini tidak secara otomatis berarti bahwa hal itu telah dilaksanakan dan tercapai, tetapi bisa juga berarti bahwa hanya ada peningkatan dalam target penghematan yang ditetapkan, dari 25 persen ke 27 persen, tetapi apakah hal itu dilaksanakan atau tidak dan bagaimana hasilnya itu urusan lain. Ketiga, bahwa instruksi penghematan semacam ini sebenarnya telah terbukti tidak efektif, baik dalam hal implementasi maupun hasilnya, dan karenanya harus diulang oleh pemerintah.
Lagi-lagi pencitraan Cara kita membaca dan memaknai hal di atas tentu saja dapat berbeda dan diperdebatkan. Tetapi, mencermati perkembangan kebijakan energi dan respon pemerintah dalam menyikapi gejolak harga minyak setidaknya selama 5-6 tahun terakhir, sulit untuk tidak mengatakan bahwa langkah pemerintah mengaktifkan kembali Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penghematan Energi dan Air tersebut sejatinya tak lebih hanya sekedar pencitraan dan kampanye unjuk gigi pemerintah kepada publik bahwa pemerintah tidak diam saja dalam merespon gejolak harga minyak, tetapi melakukan sesuatu. Ini sebenarnya bukan saja mengulang dari apa yang terjadi di tahun 2008 dimana ketika terjadi gejolak harga minyak kemudian melahirkan Inpres Nomor 2 Tahun 2008 tersebut. Tetapi jauh sebelum itu, yaitu di tahun 2005, juga pada saat terjadi gejolak harga minyak, pemerintah pun mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Penghematan Energi, yaitu Inpres Nomor 10 Tahun 2005. Karena sifatnya hanya pencitraan dan ingin unjuk gigi, maka yang dilakukan sesungguhnya tentu saja tidak substansial dan tidak konkret. Tidak kredibel Sebagai sebuah kampanye kepada publik bahwa pemerintah akan menghemat energi, pengaktifan kembali Inpres Penghematan Energi Nomor 2 Tahun 2008 ini sesungguhnya juga tidak kredibel. Mengapa? Karena di dalam revisi UU APBN 2011 yang belum lama ini disepakati, apa yang akan dilakukan pemerintah di dalam masalah energi dan BBM ini sesungguhnya sudah sangat jelas. Yaitu menambah kuota volume BBM bersubsidi dari 38, 5 juta kilo liter menjadi 40,4 juta kilo liter, menambah alokasi anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 33,1 triliun dan menambah alokasi anggaran subsidi listrik sebesar Rp. 24,8 triliun. Menambah kuota volume BBM bersubsidi, dan anggaran subsidi BBM dan subsidi listrik jelas bukan suatu penghematan.
Dari sudut pandang efektifitas kebijakan, Inpres ini juga tidak akan efektif karena tidak disertai instrumen kebijakan dan langkah konkret lain yang secara lebih substansial sebenarnya jauh lebih diperlukan. Bagaimana mungkin orang akan menghemat konsumsi BBM ketika harga BBM itu sendiri terus menerus dipertahankan jauh di bawah harga keekonomiannya? Bagaimana mungkin volume konsumsi BBM dapat ditekan jika infrastruktur dan sarana transportasi publik yang ada tidak memadai dan tidak kunjung dibenahi?
Jadi, jelas bahwa kita tak bisa berharap banyak akan terjadi penghematan energi yang signifikan hanya dengan mengaktifkan kembali Inpres yang sudah usang atau pun dengan menerbitkan Inpres baru yang serupa. Apalagi jika mengharapkan langkah ini kemudian akan memberikan dampak signifikan pada pengurangan beban subsidi energi di APBN, jauh panggang dari api. Karena, apa yang sedang kita saksikan bersama sebenarnya adalah tak lebih dari sekadar pepesan kosong hemat energi.