ReforMiner mengidentifikasi bahwa pemerintah memproyeksikan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional pada tahun 2030 diperkirakan mencapai sekitar 800,24 juta barel atau setara dengan 127,23 juta KL per tahun. Proyeksi tersebut didasarkan atas beberapa asumsi yang diantaranya: pertumbuhan penduduk rata-rata 1,05 % per tahun, pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5 % per tahun, discount rate 12 %, program konversi minyak tanah ke LPG berjalan lancar, program 10.000 MW selesai tepat waktu, dan kebutuhan BBM (tidak termasuk biofuel) meningkat rata-rata 3,18 % per tahun. Jika realisasi dari masing-masing variabel melebihi asumsi yang ditetapkan, kebutuhan BBM nasional akan lebih tinggi dari proyeksi pemerintah tersebut.
Dalam memproyeksikan kebutuhan BBM nasional, pemerintah menggunakan 4 (empat) asumsi kebutuhan pembangunan kilang. Diantaranya: (1) skenario dasar (hanya mempertimbangkan kapasitas kilang saat ini (existing) tanpa melakukan tambahan kapasitas; (2) skenario proyek (mempertimbangkan kilang existing dan kilang proyek (proyek Kilang Banten dan Kilang Tuban dengan kapasitas masing-masing 300 MBSD); (3) skenario upgrading (mempertimbangkan kilang existing, kilang proyek (Kilang Banten dan Kilang Tuban), dan beberapa proyek upgrading (Kilang Balikpapan sebesar 50 MBSD dan Kilang Cilacap sebesar 62 MBSD); dan (4) skenario gabungan (mempertimbangkan kapasitas kilang existing, proyek Kilang Banten dan Tuban, proyek upgrading (Kilang Balikpapan dan Kilang Cilacap), dan tambahan kilang minyak baru. Mengacu pada skenario dasar, skenario proyek, sekenario upgrading, dan sekenario gabungan, disebutkan bahwa kebutuhan impor BBM pada tahun 2030 masing-masing mencapai 71,8 %, 54 %, 51 %, dan 3 % dari total kebutuhan BBM nasional.
Berdasarkan kajian tersebut, jika tanpa adanya pembangunan kilang baru, pemenuhan kebutuhan BBM nasional akan tergantung dari impor. Dari sejumlah skenario, jika tanpa adanya pembangunan kilang baru, minimal 51 % kebutuhan BBM nasional harus dipenuhi dari impor. Hal ini berpotensi memberikan tekanan terhadap stabilitas fiskal (APBN) dan stabilitas moneter akibat kebutuhan devisa impor yang besar. Dalam konteks ini membangun kilang domestik yang baru menjadi penting, bahkan menjadi suatu keharusan. Terlebih jika mengacu pada kebutuhan BBM nasional saat ini telah mencapai sekitar 1,2 – 1,4 juta barel per hari, sementara kapasitas kilang Pertamina baru sekitar 1,058 juta barel per hari.
Dari Identifikasi yang dilakukan, pembangunan dan pengembangan kilang nasional mendesak untuk segera dilakukan. Beberapa pertimbangan yang menuntut untuk itu diantaranya: (1) kebutuhan BBM nasional yang terus meningkat; (2) kapasitas kilang yang ada masih di bawah kebutuhan BBM nasional; (3) usia sebagian kilang yang ada sudah relatif tua (kurang efisien); (4) tidak semua produk minyak domestik dapat diolah di kilang yang ada saat ini; (5) upaya mengintegrasikan sektor hulu dan hilir migas; dan (6) keinginan pemerintah (otoritas moneter) untuk menghemat devisa impor, termasuk devisa impor BBM.
Bertolak pada masih terbatasnya kemampuan APBN dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), perkembangan investasi nasional (termasuk untuk membangun kilang) cukup tergantung dengan penamaman modal asing (PMA/FDI). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari 24 sektor (tidak termasuk investasi sektor migas, perbankan, dan lembaga keuangan non bank) di tahun 2011 yang nilainya sebesar Rp 246,97 triliun, sebesar Rp 170,97 triliun atau sekitar 69,23 % merupakan PMA dan Rp 76 triliun atau 30,77 % merupakan PMDN. Dari data yang ada tersebut, sangat jelas bahwa kondisi investasi nasional saat ini tergantung terhadap investasi asing. Karena itu, diperlukan langkah-langkah dan desain kebijakan yang menarik agar PMA mau berinvestasi dalam pembangunan dan pengembangan kilang nasional. Tanpa kebijakan dan insentif yang menarik, tentunya investor akan lebih memilih untuk berinvestasi di negara-negara yang memberikan insentif dan kemudahan investasi.