Sunday, November 24, 2024
HomeStudiDampak Undang-Undang Pengadaan Tanah Terhadap Operasional Hulu Migas

Dampak Undang-Undang Pengadaan Tanah Terhadap Operasional Hulu Migas

BP Migas (sekarang SKK Migas), pada saat itu mengidentifikasi Salah satu faktor eksternal yang dipandang menjadi faktor penghambat utama adalah masalah tumpang tindih lahan dan/atau pembebasan dan pengadaan tanah. Dimana porsi hambatan yang disebabkan karena masalah pembebasan/pengadaan tanah mencapai 16%. Aturan terkait masalah pengadaan tanah, khususnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebenarnya telah ada. Pada Sidang Paripurna pada 16 Desember 2011, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Terkait hal tersebut, pemerintah menargetkan implementasi UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum itu akan berlaku efektif pada pertengahan 2012. Menurut pemerintah, undang-undang tersebut sudah cukup jelas dan tegas mengatur proses pengadaan tanah.

Berdasarkan analisis terhadap substansi ketentuan yang tertuang di dalam UU Pengadaan Tanah dan kompleksitas permasalahan di lapangan, optimisme pemerintah tersebut tampaknya akan relatif sulit direalisasikan. Meski disampaikan sudah cukup jelas dan tegas, sejumlah ketentuan UU Pengadaan Tanah pada kenyataannya masih bersifat makro dan membutuhkan peraturan pelaksana yang lebih operasional dalam implementasinya. Karenanya, jika hanya diakomodasi melalui Peraturan Presiden, penyelesaian peraturan tersebut membutuhkan waktu yang relatif panjang. Hal itu dikarenakan banyak hal yang harus diatur di peraturan tersebut.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang berpotensi menghambat implementasi UU Pengadaan Tanah tersebut, diantaranya: (1) permasalahan tata guna lahan dan belum disesuaikanya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di tingkat daerah maupun nasional, (2) konflik agraria di beberapa daerah dan adanya tuntutan reformasi agraria yang semakin meluas, (3) adanya pro kontra sejumlah anggota DPR terkait substansi dan rencana revisi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, (4) adanya ketimpangan penguasaan lahan dan tuntutan reditribusi lahan, dan (5) pemahaman masyarakat terhadap kepemilikan tanah itu sendiri.

Masih lemahnya koordinasi lintas sektoral dan lintas regional, juga akan menjadi masalah utama dalam semua tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Tahapan perencanaan dan persiapan pengadaan tanah yang melibatkan banyak pemangku kepentingan berpotensi membutuhkan waktu yang panjang. Kondisi budaya kerja, sistem administrasi, dan sistem database antar instansi (pemangku kepentingan) yang tidak seragam dan hingga saat ini belum terintegrasi, berpotensi membuat proses (durasi) pengadaan tanah untuk kepentingan umum menjadi sulit diprediksi. Hal ini masih ditambah dengan ketiadaan pemetaan wilayah untuk tanah-tanah yang berpotensi menjadi tanah kepentingan umum, sehingga di dalam tahapan pelaksanaan dan penyerahan hasil masih akan sangat tidak pasti. Selain itu, pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di daerah-daerah yang masih menganut adanya budaya tanah adat dan tanah ulayat, juga berpotensi menjadi masalah tersendiri.

Berdasarkan substansi yang terkandung UU 02/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) memiliki sisi positif dan negatif terhadap kegiatan industri migas. Dimasukkannya kegiatan migas dalam kategori kepentingan umum (pasal 10, butir e) di satu sisi berpotensi memberikan dampak positif bagi industri migas. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum (termasuk kegiatan industri migas) akan dilaksanakan oleh pemerintah dan semua pemangku dan badan pengampu (pasal 6 dan pasal 7, poin 2 & 3). Sehingga KKKS selaku kontraktor dalam hal ini secara teoretis tidak perlu lagi melaksanakan pengadaan tanah sendiri. Ketentuan lain yang positif adalah adanya kepastian dalam pengadaan tanah (upaya paksa oleh pemerintah) yang dapat melepaskan hak pemilik tanah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 8. Dengan demikian keberlangsungan kegiatan usaha migas lebih dapat dipastikan.

Selain itu, adanya ketentuan yang mengatur tentang penilaian ganti kerugian dan tim penilai yang ditugaskan sebagaimana ketentuan Pasal 31-36 juga positif bagi industri migas. Ketentuan tersebut secara konseptual juga akan memudahkan industri migas dalam melakukan estimasi biaya pengadaan tanah.

Namun demikian, selain ketentuan yang berpotensi memberikan dampak positif, juga terdapat beberapa ketentuan UU Pengadaan Tanah yang berpotensi menghambat kegiatan usaha migas. Ketentuan Pasal 7 yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus mengacu kepada rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan nasional/daerah, rencana strategis, rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah, dan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan, berpotensi membutuhkan waktu yang panjang. Selain itu, ketentuan tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil (Pasal 13), juga berpotensi menjadi masalah tersendiri.

Sebagai pelaksanaan UU Pengadaan Tanah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Agustus telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Perpres tersebut mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil.Berdasarkan pokok-pokok ketentuan Perpres No. 71/2012 tersebut, sepintas akan memberikan kepastian terhadap proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk pengadaan tanah untuk usaha migas di dalamnya. Perpres tersebut mengatur seluruh tahapan pengadaan tanah mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Akan tetapi, berdasarkanreviewterhadap ketentuan yang tertuang di dalamnya,terdapat beberapa ketentuan pokok Perpres No.71/2012 yang perlu diantisipasi oleh industri migas, jika nantinya regulasi tersebut diimplementasikan secara konsisten.

Meski hal-hal terkait proses pengadaan tanah yang diatur di dalam UU No.2/2012 dan Pepres No.71/2012 cukup banyak dan kompleks, dapat dikatakan tidak akan memberikan banyak manfaat (insentif) bagi sektor hulu migas. Mengingat ketentuan yang tertuang di dalam regulasi tersebut mengatur proses pengadaan tanah secara umum, bukan secara spesifik mengatur pengadaan tanah untuk industri hulu migas. Berdasarkanobjectiveregulasi, dapat dimungkinkan ketentuan yang tertuang di dalam UU dan Perpres tersebut memang tidak keliru. Itu dikarenakan, memang regulasi tersebut tidak secara spesifik diperuntukkan bagi sektor migas. Akan tetapi diperuntukkan bagi sekitar 19 sub-sektor, yang salah satunya sektor minyak dan gas bumi.

A�

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments