Pri Agung Rakhmanto
Dosen Universitas Trisakti, Pendiri Reforminer Institute
Bisnis Indonesia – Senin, 04 Februari 2013
Dunia perminyakan nasional saat ini baik di hulu maupun hilir sejatinya sudah (cukup lama) memasuki kondisi darurat. Di hulu, sejak mencapai puncak produksi lebih dari 1,6 juta barel per hari pada 1995, penurunan produksi minyak terus terjadi.
Saat ini tingkat produksi minyak harian hanya ada di kisaran 800.000 – 830.000 barel, atau kurang lebih hanya separuh dari puncak produksi yang pernah dicapai. Cadangan terbukti minyak juga terus menurun dari 5,2 miliar barel menjadi hanya sekitar 3,6 miliar barel saat ini.
Target lifting minyak APBN tiap tahun hampir selalu tidak pernah tercapai. Di hilir, permasalahan kronis subsidi BBM yang semakin membengkak dan volume kuota BBM bersubsidi yang selalu jebol selalu berulang dari tahun ke tahun.
Subsidi BBM tahun ini diperkirakan akan menembus Rp215 triliun lebih, setelah pada tahun sebelumnya mencapai Rp211,9 triliun.
Realisasi konsumsi BBM subsidi tahun ini diperkirakan akan menembus angka 48 jutaa-50 juta kilo liter atau lebih, sedangkan kuota BBM yang ditetapkan dalam APBN 2013 hanya 46,01 juta kilo liter.
Kombinasi dari kinerja perminyakan nasional di hulu dan hilir yang memprihatinkan itu berdampak tidak lagi hanya terbatas pada terganggunya efektivitas APBN dan stabilitas fiskal, tetapi juga mulai mengganggu neraca perdagangan dan stabilitas moneter.
Selama periode Januari-Desember 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mengalami defisit US$1,63 miliar.
Sektor nonmigas sebenarnya mencatat surplus US$3,965 miliar. Namun, NPI secara keseluruhan menjadi defisit karena sektor migas mengalami defisit US$5,592 miliar.
Defisit ini terutama berasal dari defisit perdagangan hasil minyak, khususnya BBM, yaitu sebesar US$24,521 miliar akibat impor BBM yang semakin tinggi. Hal ini menjadi salah satu penyebab nilai tukar rupiah terhadap dolar terdepresiasi dari kisaran stabil Rp9.000 ke level mendekati Rp9.700.
Turunnya produksi dan cadangan minyak secara terus menerus dalam jangka waktu 15 tahun lebih jelas menandakan ada kesalahan mendasar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan hulu migas.
Merujuk bahwa hasil suatu kegiatan hulu migas baru dapat dirasakan 5-10 tahun sesudahnya, maka apa yang terjadi saat ini adalah buah dan akumulasi dari apa yang dikerjakan 5-10 tahun yang lalu.
Produksi dan cadangan minyak baru akan dapat meningkat secara signifikan hanya jika dilakukan investasi peningkatan perolehan minyak (Enhanced Oil Recovery/EOR) atau ditemukan lapangan baru dengan cadangan minyak skala besar. Investasi baik untuk EOR maupun eksplorasi skala besar hanya akan ada jika iklim investasi hulu migas kondusif.
Iklim investasi yang kondusif hanya akan tercipta jika ada kepastian aturan main dan pengelolaan hulu migas nasional yang didasarkannya dilakukan secara benar.
Kepastian aturan main dan penyelenggaraan pengelolaan yang benar hanya akan ada jika fondasi (undang-undang) yang melandasinya kokoh. Itulah yang tidak kita miliki selama kurang lebih satu dekade terakhir ini.
Sejak 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menganulir empat pasal UU Migas No.22/2001, satu diantaranya yaitu Pasal 12 ayat 3 yang merupakan pasal utama (induk) yang berkaitan langsung dengan tata kelola kelembagaan hulu migas.
Artinya, sejak 2004 fondasi yang ada sebenarnya sudah tidak kokoh, sehingga muncul berbagai ketidakpastian dalam aturan main seperti halnya di dalam masalah perpajakan.
Namun, oleh pemerintah UU Migas 22/2001 tetap dipertahankan dan digunakan sebagai landasan penyelenggaraan pengelolaan hulu migas.
Pada 13 November 2012 lalu MK kembali menganulir, dan kali ini seluruh pasal dalam UU Migas 22/2001 yang menyangkut Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dinyatakan tidak berlaku karena keberadaan BP Migas dinilai inkonstitusional.
Artinya, sejak itu pula fondasi kepastian aturan main bagi pengelolaan hulu migas nasional sebenarnya bukan hanya sudah keropos, tetapi pada tingkatan tertentu bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada.
Akar Masalah Hilir
Di hilir, akar penyebab dari impor dan konsumsi BBM yang semakin meningkat pun sebenarnya sudah sangat jelas dan telah lama diidentifikasi.
Persoalannya adalah bahwa telah lebih dari 1 dekade kita tidak kunjung membangun kilang BBM baru dan sejak empat tahun terakhir praktis tidak ada kebijakan berarti yang diambil untuk mengendalikan konsumsi BBM.
Kapasitas terpasang kilang relatif stagnan di 1,1 juta barel per hari dengan kemampuan produksi BBM hanya di kisaran 700.000-800.000 barel per hari, sementara tingkat kebutuhan sudah mencapai 1,4 juta barel per hari.
Konsumsi BBM, dan khususnya BBM subsidi, semakin meningkat karena harga BBM subsidi Rp4.500 per liter yang relatif rendah terus dipertahankan dan dijadikan komoditas politik.
Langkah pengendalian dengan pembatasan pun selalu maju-mundur hingga akhirnya tidak jadi dijalankan selain hanya pembatasan dengan lingkup kendaraan dinas pemerintah yang terbukti tidak efektif dan tidak signifikan hasilnya.
Upaya menggalakkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dan bahan bakar gas (BBG) untuk sektor transportasi juga berjalan amat lambat tanpa kejelasan cetak biru dan kontinuitas sehingga hasilnya pun nyaris tidak terasa.
Dengan permasalahan yang sudah sedemikian gamblang dan dampak negatifnya juga begitu jelas dirasakan selama ini, anehnya pemerintah seperti merasa tidak ada yang salah dan tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan sama sekali. Di hulu, bukannya kemudian segera mengambil inisiatif untuk melakukan percepatan revisi UU Migas 22/2001 atau membuat UU Migas yang baru bersama DPR, respons yang dilakukan pemerintah justru hanya sekadar mengganti baju BP Migas menjadi Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKSP Migas) dan kemudian berganti lagi menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK migas).
Di hilir, bukannya kemudian mengambil langkah konkret dengan menambah kapasitas kilang BBM dan secara tegas-terukur menaikkan harga BBM subsidi, pemerintah masih saja berputar-putar dengan beragam dalih dan wacana.
Dari serangkaian pilihan kebijakan dan langkah yang diambil, terkesan seperti tidak ada kesadaran akan kondisi darurat (sense of urgency) sama sekali.
Mudah-mudahan tidak demikian adanya.