Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
INVESTOR DAILY, Senin 8 April 2013
Sampai dengan saat ini, pemerintah tampaknya belum menemukan formulasi kebijakan yang tepat untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebelumnya, pemerintah menyatakan yakin akan dapat menerapkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi.
Dibandingkan penaikan harga, kebijakan pembatasan diyakini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, pembatasan BBM diyakini tidak akan mengurangi subsidi rakyat miskin. Kedua, masyarakat yang terkena dampak adalah mereka berpenghasilan menengah-atas yang memang relatif tidak berhak menerima subsidi. Ketiga, dampak inflasi yang ditimbulkan relatif lebih rendah dibandingkan kebijakan penaikan harga BBM Keempat, lebih berpihak kepada rakyat miskin (populis) dibandingkan kebijakan penaikan harga BBM Kelima, kebijakan ini diyakini dapat menghemat anggaran subsidi BBM di APBN dalam jumlah yang cukup signifikan.
Kebijakan pembatasan BBM pada dasarnya telah melewati perdebatan cukup lama di kalangan publik maupun di DPR secara resmi. Berdasarkan dokumen resmi yang disampaikan pemerintah ke DPR, paling tidak telah terdapat duaroadmap pembatasan BBM bersubsidi.
Pertama, roadmap 2011, pembatasan BBM bersubsidi direncanakan mulai diimplementasikan di Jabodetabek per April 2011 dan ditargetkan selesai (seluruh Indonesia) pada Juli 2013. Kedua, roadmap 2012 (setelah roadmap 2011 tidak dilaksanakan) yaitu pembatasan BBM bersubsidi direncanakan mulai diimplementasikan di Jawa-Bali per April 2012 dan ditargetkan selesai (seluruh Indonesia) pada Desember 2014.
Akan tetapi dengan argumentasi belum siapnya infrastruktur penunjang, dalam rapat kerja antara pemerintah dan DPR RI pada 28 Februari 2012, pemerintah kemudian mulai mengerucut pada usulan opsi kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500,- per liter atau subsidi tetap sebesar Rp 2.000,- per liter. Selanjutnya, usulan pemerintah tersebut juga batal dilaksanakan.
Dampak Terhadap Anggaran
Pada saat pemerintah masih cenderung maju-mundur dengan pilihan kebijakan, di sisi lain konsumsi BBM bersubsidi terus meningkat. Bahkan dalam kurun dua tahun terakhir konsumsi BBM bersubsidi tercatat selalu melebihi kuota APBN, tak terkecuali terhadap kuota yang ditetapkan dalam APBN perubahan. Jadi tidak heran jika anggaran subsidi BBM yang harus dialokasikan juga terus meningkat setiap tahunnya.
Pada APBN 2013, pemerintah menganggarkan subsidi BBM dan LPG 3 Kg sebesar Rp 193,80 triliun. Melihat perkembangan sejumlah asumsi dasarnya, alokasi anggaran tersebut berpotensi terlampaui. Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, terdapat tiga variabel utama yang berpengaruh terhadap besar kecilnya subsidi BBM. Diantaranya volume konsumsi BBM subsidi, harga minyak mentah Indonesia (Indoneis crude price/ICP), dan nilai tukar rupiah. Dari simulasi yang dilakukan, mengacu pada asumsi makro APBN 2013, dampak perubahan variabel-variabel tersebut terhadap anggaran subsidi BBM sebagaimana terlihat dalam tabel.
Tabel Dampak Perubahan Asumsi Makro Migas Terhadap Subsidi BBM
Perubahan (Realisasi) |
Tambahan Subsidi BBM (Rp triliun) |
|
Harga minyak (ICP) lebih tinggi 1 USD/barel dari asumsi |
3,57 | |
Nilai tukar rupiah terdepresiasi Rp 100,-/USD dari asumsi |
3,83 |
|
Konsumsi BBM subsidi 1 Juta KL lebih tinggi dari asumsi |
4,50 |
Sumber: Simulasi ReforMiner Institute
Mencermati perkembangan yang ada, kemungkinan APBN 2013 tertekan oleh meningkatnya subsidi BBM cukup besar. Sampai dengan Maret 2013, rata-rata nilai tukar rupiah tercatat Rp 9.694,- per dolar AS dan rata-rata ICP 111,12 US$ per barel. Padahal dalam asumsi makro APBN 2013, nilai tukar rupiah ditetapkan Rp 9.300,- per dolar as dan ICP 100 US$ per barel. Artinya, sampai dengan Maret 2013, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar Rp 394 per dolar AS dari asumsi. Sedangkan realisasi ICP per barel telah 11,12 US$ lebih tinggi dari asumsi.
Jika pola realisasi ICP sampai Maret 2013 tersebut bertahan sampai dengan akhir tahun, tambahan subsidi BBM 2013 akibat selisih ICP adalah sekitar Rp 39,68 triliun. Dengan asumsi yang sama, tambahan subsidi BBM 2013 akibat depresiasi nilai tukar rupiah dapat mencapai sekitar 15,09 triliun.
Tekanan APBN 2013 akibat subsidi BBM berpotensi lebih besar lagi mengingat sejumlah pihak memproyeksikan konsumsi BBM subsidi tahun ini dapat mencapai 50 – 53 juta KL. Padahal, kuota BBM subsidi pada APBN 2013 ditetapkan sebesar 46 juta KL. Karena itu, tambahan subsidi BBM akibat potensi over kuota tersebut dapat mencapai sekitar Rp 18 triliun – Rp 31,5 triliun.
Dari hasil simulasi tersebut, tambahan anggaran subsidi BBM yang dibutuhkan untuk tahun 2013 cukup signifikan. Jika realisasi konsumsi BBM tahun ini mencapai 50 juta KL dan realisasi ICP dan nilai tukar rupiah sampai dengan Maret 2013 bertahan hingga akhir tahun, tambahan anggaran subsidi BBM dapat mencapai sekitar Rp 72,78 triliun.
Jika konsumsi BBM subsidi mencapai 53 juta KL dan realisasi ICP dan nilai tukar rupiah diasumsikan sama, tambahan anggaran subsidi BBM dapat mencapai sekitar Rp 86,28 triliun. Potensi tambahan anggaran subsidi BBM tersebut tentunya menjadi ancaman (tekanan) serius bagi stabilitas dan produktivitas anggaran. Apalagi pos atau sumber penerimaan negara juga dihadapkan pada permasalahan yang tidak kalah kompleks.
Butuh Tindakan Nyata
Menyikapi permasalahan tersebut, memang sudah cukup mendesak bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah kebijakan. Apakah kemudian pilihan kebijakan yang diambil adalah menaikkan harga atau melakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi, semua kembali ke tangan pemerintah.
yang pasti, pemerintah harus segera mengambil langkah kebijakan. Apalagi pemerintah juga telah membentuk Tim Kajian Opsi Pengaturan BBM Bersubsidi pada awal Februari 2012. Tim kajian yang terdiri dari unsur pemerintah dan konsorsium tiga perguruan tinggi tersebut juga telah selesai melakukan tugas dan memberikan rekomendasi.
Dengan telah cukup panjangnya perdebatan pengaturan BBM subsidi di publik maupun di DPR secara resmi, semestinya telah cukup lengkap referensi bagi pemerintah untuk mengambil tindakan segera. Jika disampaikan bahwa kebijakan pengaturan BBM harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati, semua pihak tentunya setuju. Akan tetapi, melihat perkembangan di masyarakat, semakin sulit kita bedakan, apakah yang terjadi sesungguhnya kecermatan ataukah kelambanan, kehati-hatian atau justru ketidaktegasan. Semoga saja pemerintah segera mengambil tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah klasik yang hampir selalu berulang setiap tahun tersebut.