Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
Kompas, Selasa, 24 September 2013
Badan Pusat Statistik mencatat kumulatif defisit neraca perdagangan periode Januari-Juli 2013 mencapai 5,65 miliar dollar AS. Defisit tersebut terutama disebabkan defisit neraca perdagangan migas sebesar 7,6 miliar dollar AS (rata-rata 1,88 miliar dollar AS per bulan).
Perdagangan nonmigas masih mencatat surplus 1,9 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan ini menjadi salah satu kontributor utama melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Sebagai bagian dari upaya mengatasi pelemahan rupiah, pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan ekonomi. Salah satunya, di sektor energi, adalah kebijakan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam solar sehingga akan mengurangi impor solar secara signifikan.
Pemanfaatan biodiesel di seluruh sektor diklaim dapat menghemat konsumsi solar hingga 4,4 juta kiloliter per tahun, atau lebih kurang setara dengan penghematan devisa sebesar 4,1 miliar dollar AS. Untuk tahun 2013, terhitung mulai September, penghematan ditargetkan sebesar 1,3 juta kiloliter atau lebih kurang setara 1,2 miliar dollar AS.
Tidak proporsional
Kebijakan itu secara normatif jelas bagus. Secara hitungan matematis, klaim penghematan yang bisa diperoleh juga tak salah. Namun, pelemahan rupiah adalah permasalahan yang perlu penanganan segera, sementara defisit neraca perdagangan migas adalah permasalahan struktural yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Impor migas, khususnya impor bahan bakar minyak (BBM), hanya dapat ditekan secara signifikan jika pemerintah melakukan tiga hal berikut secara konsisten. Pertama, menambah kapasitas atau membangun kilang BBM baru. Kedua, melakukan substitusi BBM dengan energi alternatif, seperti bahan bakar gas (BBG), bahan bakar nabati (BBN, termasuk biodiesel), dan panas bumi secara masif. Ketiga, membangun sarana transportasi publik yang memadai, aman, nyaman, dan terjangkau.
Ketiganya jelas tak bisa dilakukan secara instan dan tak dapat diharapkan langsung berdampak signifikan dalam waktu dekat. Jadi, memasukkan kebijakan mendorong penggunaan biodiesel sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah saat ini jelas tidak proporsional.
Integral
Mendorong pemakaian biodiesel, meski hanya sebagai campuran solar, perlu kebijakan integral. Pertama yang harus diselesaikan adalah kebijakan dan kepastian tentang harga. Kebijakan ini akan berhubungan dengan alokasi anggaran subsidi BBN di APBN. Itu berarti masih harus dibahas bersama DPR.
Subsidi BBN saat ini di APBN hanya dialokasikan Rp 3.000 per liter. Besaran ini dipandang tidak cukup ekonomis oleh para produsen BBN. Jika tidak ekonomis, jangan harap produsen BBN akan kontinu memasok BBN untuk pasar domestik.
Kebijakan mewajibkan BUMN untuk menyerap BBN pun perlu pembahasan anggaran. Jika selisih harga yang harus ditanggung BUMN untuk menyerap BBN itu tidak diganti APBN melalui mekanisme subsidi, BUMN akan merugi.
Di hulu, masalah bahan baku dan kepastian penyediaan lahan untuk kontinuitas produksi BBN juga harus diselesaikan terlebih dahulu. Saat ini, perizinan dan tumpang tindih lahan merupakan masalah serius; tidak hanya untuk pengembangan BBN, tetapi juga untuk sektor migas, pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.
Jadi, sebaiknya, jika mengeluarkan paket kebijakan apalagi yang kritikal karena berpacu dengan waktua sebaiknya yang lebih proporsional dan masuk akal saja. Jangan sekadar basi-basi dan untuk menunjukkan bahwa pemerintah (seolah-olah) melakukan sesuatu dalam merespons permasalahan yang ada.
Sudah terlalu sering hal serupa dilakukan. Pada saat harga minyak dunia pertama kali melonjak pada tahun 2005/2006, respons kebijakannya dikatakan akan mengembangkan BBN besar-besaran. Pada saat beban subsidi membengkak 2-3 tahun terakhir, dikatakan akan gencar mendorong BBG. Saat ini, rupiah melemah, BBN lagi. Capek deh!