Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Investor Daily; Senin 11 Agustus 2014
Presiden dan wakil presiden serta menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan menjalankan roda pemerintahan mendatang sudah akan langsung dihadapkan pada persoalan terkait bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang memerlukan penanganan segera. Anggaran subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 telah mencapai Rp 246,49 triliun.
Dengan harga minyak yang stabil tinggi, kurs rupiah yang rentan terdepresiasi terhadap dolar AS, dan volume konsumsi yang dipastikan terus bertambah, besaran subsidi BBM dipastikan akan terus membengkak setiap tahunnya
Pilihan Rasional
Pada awal Agustus ini, pemerintah memulai kembali mengeluarkan kebijakan pengendalian BBM, yakni tidak menjual premium bersubsidi di jalan tol, tidak menjual solar bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Jakarta Pusat, pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi di daerah perkebunan, pertambangan, dan pelabuhan di PulauJawa, Sumatera, Kalimantan, dan melarang penjualan solar bersubsidi pada nelayan besar dengan kapasitas kapal di atas 30 gross ton (GT).
Langkah pengendalian ini cukup realistis untuk dijalankan di lapangan. Hal yang diperlukan adalah koordinasi yang lebih baik di antara institusi pemerintah terkait dan pelaksana di lapangan, disertai pengawasan yang lebih ketat, dan sosialisasi yang lebih intens ke masyarakat. Singkatnya, langkah pengendalian di atas cukup positif dan perlu kita dukung.
Namun perlu dipahami bahwa konteks kebijakan pengendalian ini hanya untuk sekadar menjaga agar kuota BBM bersubsidi tahun ini tidak habis sebelum tahun 2014 berakhir dan kuota yang telah ditetapkan tidak jebol. Jadi, cakupan objektif maupun dampaknya terbatas dan tidak signifikan untuk menjawab persoalan subsidi BBM yang lebih besar. Sangat diperlukan kebijakan BBM yang lebih konkret, yaitu menaikkan harga.
Dari sudut pandang ekonomi, diskursus tentang urgensi menaikkan harga BBM sebagai satu cara yang paling efektif untuk mengurangi besaran anggaran subsidi BBM sebenarnya dapat dikatakan sudah selesai. Adalah lebih rasional secara ekonomi untuk mengalokasikan anggaran sebesar Rp 350-an triliun setiap tahun untuk membangun infrastruktur, transportasi publik, pendidikan, dan kesehatan ketimbang untuk subsidi BBM yang sebagian besar justru dinikmati oleh para pemilik kendaraan pribadi.
Kebijakan menaikkan harga BBM dapat dikatakan hanya belum selesai secara politik (pragmatis). Menaikkan harga BBM, dari sudut politik di negeri ini entah sampai kapan akan selalu ditempatkan sebagai tidak berpihak pada rakyat. “Revolusi mental”, barangkali memang diperlukan untuk mengubah dan meluruskan pandangan dan sikap politik seperti ini.
Menaikkan harga BBM dapat dijalankan melalui beberapa pilihan. Harga bisa dinaikkan, katakanlah Rp 750 per liter setiap tiga bulan, hingga pada akhirnya mencapai tingkat keekonomiannya. Dalam 1,5 – 2 tahun tingkat harga keekonomian BBM yang saat ini mencapai Rp 11.000 per liter kemungkinan akan tercapai. Atau, dapat juga harga dinaikkan, katakanlah Rp 2.000-Rp 2.500 pada tahun pertama dan kedua. Atau, kenaikan harga Rp 2.000 per liter dapat dilakukan satu kali pada tahun pertama, kemudian diikuti dengan penerapan kebijakari harga BBM bersubsidi yang berfluktuasi. Itu berarti, harga BBM masih tetap disubsidi secara tetap, katakanlah Rp 2.000 per liter, namun harga dapat berfluktuasi naik-turun mengikuti pergerakan harga minyak.
Ketika nantinya masyarakat sudah lebih terbiasa dengan fluktuasi harga BBM, baru harga BBM ditetapkan pada tingkat keekonomiannya. Pilihan yang diambil tentu harus melalui pertimbangan dan kajian yang mendalam, yang seminimal mungkin memberatkan masyarakat dan sejalan dengan target ekonomi yang digariskan pemerintah.
Pengelolaan Energi
Satu lagi tugas besar pemerintahan baru, khususnya menteri ESDM mendatang, yakni pengelolaan sektor energi secara lebih baik. Tidak bisa kita terima begitu saja bahwa Indonesia yang memiliki beragam sumber energi ternyata mengalami krisis energi. Ini pasti ada yang keliru di dalam pengelolaannya.
Di tingkat paradigma, saya melihat, sudah waktunya pemerintah mengubah cara pandang dan cara memperlakukan energi sebagai sumber penerimaan negara. Adalah benar bahwa mengelola dan mengusahakan sumber energi akan mendatangkan penerimaan. Namun, adalah keliru jika menjadikan hal itu sebagai hal yang lebih utama ketimbang menjadikan sumber energi sebagai sumber energi dalam arti fisik yang sesungguhnya.
Pengelolaan dan pengusahaan sumber energi harus lebih ditujukan untuk menghasilkan energi siap pasok dan siap pakai bagi kita sendiri. Energi sebagai penggerak mula (prime mover) dalam arti riil yang secara fisik menggerakkan seluruh aktivitas manusia dan mendukung perekonomian Indonesia harus menjadi paradigma baru bagi pemerintahan baru di dalam mengelola dan menjalankan sektor energi ke depan.
Jika paradigma itu dijalankan, saya percaya hal-hal yang semestinya tidak boleh terjadi di negeri ini bahwa daerah penghasil energi mengalami kelangkaan BBM dan kelangkaan pasokan listrik- lambat laun tidak akan terjadi lagi. Jika paradigma ini dijalankan, saya juga percaya bahwa nantinya pemerintah tidak akan lagi “pelit” di dalam memberikan insentif yang diperlukan para investor energi. Pemerintah akan menjadi fasilitator yang lebih baik lagi bagi investasi pengembangan dan penyediaan energi.
Di tingkat kebijakan, sudah saatnya pemerintah harus fokus dan konsisten menetapkan prioritas kebijakan pengembangan sumber energi. Jangan semua sumber energi akan dikembangan bersama-sama, namun pada akhirnya hampir semuanya tidak berjalan dan mencapai progres dan hasil signifikan seperti sekarang ini. Pilihlah berdasarkan skala prioritas, lalu eksekusi program pengembangannya secara konsisten dan berkelanjutan. Misalkan, tetap fokus untuk memenuhi kebutuhan base load pada pengembangan sumber energi fosil konvensional yang kita miliki dari mulai minyak, gas, dan batubara. Pilih satu-dua energi baru terbarukan yang relatif kita sudah menguasainya seperti panas bumi dan bahan bakar nabati.
Dalam pada itu, jalankan riset pengembangan sumber energi lain -tetap berdasarkan skala prioritas- seperti coal bed methane, shale gas, tenaga air, biomass, surya, angin, dan nuklir, hingga pada saat kita memerlukannya nanti benar-benar telah siap pakai. Perubahan mendasar pada distribusi alokasi anggaran di Kementerian ESDM untuk tiap-tiap direktorat dan unit kerja di dalamnya perlu dilakukan untuk menjalankan pendekatan baru ini.
Semoga pemerintahan mendatang, khususnya menteri ESDM yang baru nanti, memahami tugas dan apa yang harus dilakukannya dan mampu menjalankannya
“Mengurangi subsidi, tetapi kebijakan yang mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM tidak dilakukan. Malah yang terjadi sebaliknya, muncul kebijakan yang mendorong semakin tingginya konsumsi BBM bersubsidi, kata Hendri.
Subsidi BBM menjadi beban terberat APBN. Anggarannya terus menggelembung sehingga menguras mang fiskal. Selama 2010-2014, realisasi anggaran subsidi BBM, BBN, elpiji 3 kilogram, dan LGV tumbuh rata-rata 31.5 persen per tahun. Pada 2010, realisasi subsidi Rp 82,4 triliun. Adapun APBN-P 2014 sebesar Rp 246.5 triliun. Subsidi BBM selalu lebih besar daripada anggaran infrastruktur dan kesehatan.