Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kontan, Senin 29 September 2014
Tidak adanya pembatasan kuota konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 punya sisi positif bagi pemerintahan baru. Dengan kebijakan ini, pemerintah baru lebih leluasa. Mereka tak perlu takut jika konsumsi BBM bersubsidi menggelembung, dan kuota 46 juta kiloliter (kl) terlewati.
Tapi kebijakan ini tentu memiliki sisi negatif. Jika kuota kembali jebol, ini berbahaya bagi anggaran negara. Dengan begitu, pemerintahan Joko Widodo dituntut untuk serius mengeksekusi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi atau melakukan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Tujuannya, agar konsumsi BBM bersubsidi bisa ditekan, dan kuotanya aman di bawah 46 juta kl.
Jokowi tak boleh lagi hanya berwacana soal pembatasan subsidi BBM ini, seperti yang terjadi saat ini. Soalnya, tekanan yang akan dihadapi pemerintah baru nanti cukup kompleks akibat gagalnya kebi[akan energi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain gagal menerapkan kebijakan konversi BBM ke BBG dan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, pemerintah
SBY juga gagal melaksanakan kebijakan mobil murah ramah lingkungan, alias low cost green car (LCGC). Pertumbuha jumlah kendaraan yang selalu tinggi dari tahun ke tahun, termasuk LCGC, menyebabkan konsumsi BBM bersubsidi masih tetap besar di tahun depan.
Saya juga melihat, pembatasan BBM bersubsidi berupa larangan konsumsi BBM bersubsidi di jalan tol, atau di tempat tertentu tak efektif dan jangan diulang lagi. Sebab masyarakat tetap bisa membeli BBM bersubsidi di tempat lain.
Kebijakan pembatasan kuota yang dipatok sebesar 46 juta kl memiliki sisi negatif. Dampak kebijakan pembatasan
ini ialah munculnya gejolak sosial. Masyarakat panik dan malah menambah konsumsi BBM bersubsidi. Akibatnya konsumsi BBM bersubsidi justru meningkat drastis.