(KOMPAS: 19 Oktober 2015 )
JAKARTA,Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengakui setahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla belum memberikan dampak yang nyata di sektor energi. Perbaikan tata kelola di sektor energi akan terasa manfaatnya dalam jangka panjang.Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan bersubsidi di Desa Pringapus, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/8). Kredit Pemilikan Rumah bersubsidi menjadi tumpuan warga kelas menengah ke bawah untuk mendapatkan hunian yang layak dan sehat.
“Penataan, seperti pembubaran Petral (Pertamina Energy Trading Ltd, unit usaha PT Pertamina yang berwenang dalam pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak) dan rencana pembangunan kilang minyak, baru akan terasa manfaatnya dalam jangka panjang. Memang tidak bisa langsung terasa,” kata Sudirman seusai menghadiri rapat kerja di Komisi VII DPR, Senin (19/10), di Jakarta.
Secara terpisah, pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, secara umum belum ada gebrakan baru di sektor energi di masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Namun, ia mengapresiasi keputusan pemerintah yang berhasil mengalihkan subsidi BBM untuk sektor lain, yaitu infrastruktur.
“Pemerintahan Jokowi-JK bisa dikatakan cukup berhasil dalam hal pengendalian besaran subsidi BBM. Namun, masih ada inkonsistensi dalam hal evaluasi harga BBM,” ujar Pri Agung.
Pemerintah tidak lagi memberikan subsidi untuk BBM jenis premium. Subsidi hingga kini diberikan untuk jenis solar sebesar Rp 1.000 per liter.
Pri Agung menambahkan, kebijakan pemerintah lainnya di sektor energi, yaitu pendelegasian wewenang perizinan sektor migas ke Badan Koordinasi Penanaman Modal, hanya bersifat administratif yang sifatnya umum dan tidak secara langsung bersentuhan dengan operasional hulu migas.
“Soal pembubaran Petral, dimensi politis dan pencitraannya lebih kuat. Sampai hari ini belum ada audit (terhadap Petral),” ucap Pri Agung.
Jangan melanggar aturan
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, komitmen pemerintahan untuk mempercepat pembangunan di sektor infrastruktur patut diapresiasi. Namun, percepatan yang dilakukan diharapkan tidak melanggar peraturan.
Pekerja mengecek instalasi di Poleng Processing Platform yang dioperasikan Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore, Jawa Timur, Minggu (6/9). Untuk meningkatkan produksi, direncanakan pada 2016 Pertamina melakukan 20 pengeboran sumur eksplorasi.
“Membangun infrastruktur itu keharusan. Namun, melihat pola percepatan pembangunan yang dilakukan pemerintah, kalau tidak hati-hati, ada potensi melanggar peraturan yang sudah ada,” kata Agus.
Pembangunan infrastruktur, menurut Agus, adalah sebuah keharusan. Sebab, selain menyerap tenaga kerja, dalam jangka panjang ketersediaan infrastruktur akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi meskipun pembangunan infrastruktur memerlukan waktu lama, tidak bisa selesai hanya dalam waktu satu tahun.
Pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan dan konektivitas. Beberapa di antaranya adalah membangun delapan bendungan baru, meneruskan pembangunan 16 bendungan, serta membangun jalan di perbatasan dan di wilayah perbatasan. Selain itu, jalan tol Trans-Jawa juga ditargetkan dapat beroperasi pada 2018.
Menurut Agus, potensi pelanggaran tersebut bisa dihindari dengan mengubah peraturan terlebih dahulu. Sementara percepatan pembangunan saat ini dilakukan dengan membuat peraturan presiden yang bisa menabrak peraturan yang sudah ada.
Dia mencontohkan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung. “Beberapa menteri teknis terkait tidak tahu dan tidak ikut menandatangani perpres itu,” kata Agus.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Alu Tranghanda berpendapat, penyediaan rumah melalui program sejuta rumah terdapat masalah koordinasi antar-kementerian dan perbankan yang harus diperbaiki.
Menurut Ali, meski program sejuta rumah sudah diluncurkan, pemerintah tidak memperhitungkan sumber pembiayaan dan ketersediaan lahannya. Dari satu juta rumah, pemerintah hanya mampu membiayai sekitar 10 persennya saja, sisanya diharapkan dari swasta.
Sementara, dari target satu juta rumah, sebanyak 603.000 unit direncanakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sedangkan sisanya adalah rumah komersial yang bergantung pada mekanisme pasar.