PRI AGUNG RAKHMANTO
Dosen FTKE Universitas Trisakti ; Pendiri ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia 25 Maret 2013
Blok Mahakam merupakan lapangan penghasil gas di Kalimantan Timur yang produksinya saat iniA�kurang lebih mencapai 30 % produksi gas nasional.
Kontrak pengelolaan Blok Mahakam ditandatangani pada tahun 1967, berlaku untuk masa 30 tahun. Pada tahun 1997, kontrak diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Kontrak akan berakhir pada tahun 2017. Selama periode itu, Blok Mahakam dioperasikan dan dikelola oleh Total sebagai operator dan mitranya, Inpex, dengan kepemilikan hak partisipasi masing-masing 50 %.
Menjelang kontrak berakhir, seperti biasa, muncul permasalahan klasik. Di satu sisi, pemerintah cenderung ingin memberikan perpanjangan kontrak kepada Total sebagai operator dengan Inpex dan Pertamina sebagai mitranya. Di sisi lain, beberapa kalangan menginginkan agar kontrak tidak diperpanjang, hak pengelolaan dan operator diberikan kepada Pertamina menggantikan Total. Bilamana diperlukan Pertamina dapat menggandeng Total, Inpex ataupun pihak lain termasuk BUMD sebagai mitranya.
Jika kontrak kembali diperpanjang, hak mengelola dan mengoperasikan Blok Mahakam akan kembali dipegang Total. Meskipun porsi hak partisipasi Total diturunkan, katakanlah dari 50 % menjadi 30 %, dengan posisi sebagai operator Total akan dapat kembali menggunakan dan memonetisasi seluruh aset yang ada tanpa harus melakukan penggantian (pembelian) atas aset itu. Total hanya perlu membayar bonus penandatanganan untuk perpanjangan kontrak yang nilainya biasanya berkisar 1 – 10 juta dolar AS. Pemerintah memang dapat saja kemudian menetapkan agar Pertamina mendapatkan porsi tertentu (katakanlah hingga 51 %) dalam hak partisipasi pengelolaan, namun kendali operasi dan manajerial akan tetap di tangan Total yang berposisi sebagai operator.
Jika opsi ini yang dipilih, maka kondisinya relatif tidak akan berbeda dengan apa yang telah berjalan selama ini. Bedanya hanya bahwa nantinya Pertamina akan ikut dalam pengelolaan Blok Mahakam, tetapi itu pun tidak secara langsung. Pertamina akan mendapatkan bagian keuntungan, tetapi juga akan ikut menanggung risiko dan pengeluaran investasi sesuai dengan porsi hak partisipasi yang akan diterimanya.
Kontrak Berakhir
Pada saat kontrak berakhir, maka hak kepemilikan, pengelolaan, penggunaan dan monetisasi seluruh aset Blok Mahakam sepenuhnya kembali kepada Negara. Jika pemerintah kemudian menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Mahakam dengan porsi hak partisipasi, katakanlah 51 % saja, dan kemudian memonetisasi sisa hak partisipasi yang 49 % melalui penjualan yang juga dilakukan Pertamina atas instruksi pemerintah, maka Negara berpotensi mendapatkan dana segar baru dalam jumlah ratusan hingga miliaran dolar AS. Berapapun angka pastinya (tergantung negosiasi jual beli), yang jelas jumlahnya akan jauh lebih signifikan dibandingkan dengan sekadar bonus penandatanganan yang diterima pada opsi perpanjangan kontrak. Dengan posisi pemerintah sebagai pemegang saham penuh Pertamina, kemana dana segar itu akan dialokasikan, apakah akan langsung dimasukkan sebagai tambahan penerimaan negara di APBN ataukah akan dijadikan penyertaan modal pemerintah melalui Pertamina atau BUMD, menjadi hak sepenuhnya dari pemerintah.
Dalam opsi ini, kendali operasi, manajerial dan juga pengelolaan risiko investasi akan dipegang Pertamina sebagai operator. Dengan kebijakan pemerintah, Total dan Inpex juga dapat diberikan prioritas untuk tetap ikut mengelola, meskipun secara tidak langsung karena posisinya beralih menjadi mitra Pertamina. Melalui porsi kepemilikan hak partisipasi tertentu, Total dan Inpex tetap akan mendapatkan keuntungan dan ikut menanggung sebagian porsi investasi yang akan dikeluarkan.
Gambaran perbandingan kedua opsi yang ada sebetulnya cukup jelas dan sederhana. Maka, cukup mengherankan sebenarnya jika pemerintah masih tetap condong untuk memilih opsi perpanjangan kontrak. Memilih opsi menunggu kontrak berakhir dan menunjuk Pertamina sebagai operator baru di Blok Mahakam barangkali dipandang lebih berisiko bagi pemerintah. Terutama, berkaitan dengan kemampuan teknologi, finansial, maupun manajerial Pertamina yang memang (masih) sering diragukan. Dalam ketiga hal itu, mungkin saja Pertamina memang masih memiliki banyak kekurangan dan tak sekelas dengan Total. Namun, untuk suatu blok migas yang sudah terbukti dan berproduksi hampir selama 50 tahun, tingkat risiko jika Blok Mahakam dikelola dan dioperasikan Pertamina sebenarnya dapat dikatakan masih sangat terukur. Pertamina juga terbukti mampu meningkatkan produksi Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang diambil alihnya dari BP dari sekitar 21 ribu barel per hari pada tahun 2009 lalu menjadi 33 ribu barel per hari saat ini. Satu hal lagi yang lebih mendasar, keberanian mengambil risiko yang terukur adalah faktor utama yang membedakan apakah kita akan sekadar menjadi penonton ataukah menjadi aktor yang diperhitungkan di dunia migas. Jadi, silakan pemerintah memilih.