(Kompas, 23 November 2016)
Pengembangan Migas Non konvensional Tidak Menarik bagi Investor
Jakarta Pengembangan minyak dan gas bumi non konvensional untuk mengantisipasi berkurangnya cadangan migas konvensional di Indonesia masih sulit dilakukan. Investor tidak tertarik untuk masuk ke bisnis ini karena tidak tersedia data yang akurat. Padahal, potensi migas non konvensional sangat besar.
Untuk itu, diperlukan kajian lebih lanjut agar data sumber daya migas non konvensional tersebut lebih meyakinkan bagi investor. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan migas non konvensional di Indonesia terdiri dari gas metana batubara sebesar 453,3 triliun kaki kubik (TCF) dan shale gas sebesar 575,7 TCF.
Saat ini terdapat 54 wilayah kerja migas non konvensional. Akan tetapi, baru satu wilayah kerja yang sudah berproduksi, yaitu Lapangan Mutiara di Kalimantan Timur oleh VICO Indonesia. Produksi migas non konvensional dari lapangan itu sebesar 0,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Jenis gas yang dikembangkan adalah gas metana batubara.
Pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, pengembangan migas non konvensional di Indonesia relatif tidak menarik bagi investor sehingga menyebabkan pengembangannya terbilang lamban. Lambannya pengembangan terjadi bukan karena faktor teknologi, melaikan persoalan kepastian berbisnis terkait dengan cadangan terbukti migas non konvensional tersebut.
Selama ini, kan, selalu disebut potensinya sekian. Akan tetapi, belum pernah dikaji lebih lanjut sehingga timbul ketidakpastian bagi investor. Ternyata, setelah dibor, hasilnya tidak seperti yang diduga sebelumnya. Belum pastinya mengenai cadangan sebenarnya ini yang membuat investor enggan, ujar Pri Agung, Selasa (22/11), di Jakarta.
Pri Agung menambahkan, pemerintah sebaiknya melakukan kajian lebih serius untuk menghasilkan data yang lebih akurat mengenai potensi cadangan migas non konvensional tersebut. Angka-angka potensi cadangan migas non konvensional tersebut masih spekulatif dan belum memberikan jaminan keekonomian tinggi dimata investor. Data migas non konvensional perlu lebih dimatangkan lagi.
Bagi Hasil
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja, saat ditemui di sela rapat di Komisi VII DPR, mengatakan, penawaran wilayah Kerja migas non konvensional memang kurang diminati. Dari empat wilayah kerja yang ditawarkan tahun ini, belum satu investor pun yang mengajukan penawaran. Mereka baru bertanya soal wilayah kerja yang ditawarkan itu. Yang Berprodouksi di Indonesia baru satu dan produksinya kecil, sekitar 0,5 MMSCFD. Lainnya juga ada, tetapi jauh lebih kecil, Kata Wiratmaja.
Untuk mendukung pengembangan migas non konvensional, Menteri ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Non konvensional. Dalam Aturan itu, pemerintah menawarkan model bagi hasil, seperti bagi hasil fleksibel dan bagi hasil sesuai kesepakatan. Akan tetapi, biaya investasi sepenuhnya ditanggung investor.
Migas non konvensional terdiri dari antara lain, shale gas, shale oil dan gas mentana batubara. Pengeboran migas jenis ini memerlukan teknik dan teknologi tertentu. Amerika Serikat adalah negara yang sudah maju mengembangkan migas non konvensional.