Bisnisindonesia, 5 Desember 2016
Komaidi Notonegoro: Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Pada pembukaan The 4th Indonesia EBTKE ConEx dan The 3rd Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 19 Agustus 2015, Presiden Jokowi menyampaikan pemerintah akan memberikan perhatian khusus pada pengembangan industri panas bumi. Dengan mengetahui potensi panas bumi Indonesia yang sangat besara��29.000 MW atau sekitar 40% cadangan dunia, saat itu presiden mewacanakan akan membentuk BUMN khusus untuk mengurusi pengembangan panas bumi.
Pernyataan presiden itu memberikan ekspektasi positif bagi industri panas bumi Indonesia yang selama ini perkembangannya relatif stagnan. Pada 2009, kapasitas terpasang listrik panas bumi Indonesia 1.189 MW. Sampai dengan pertengahan 2016 kapasitas terpasang listrik panas bumi RI sebesar 1.493,5 MW atau hanya bertambah 43,5 MW setiap tahunnya.
Target dan indikator yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan pengembangan panas bumi, berpotensi memberikan harapan lebih baik bagi pelaku industri. Kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada 2025 ditargetkan mencapai 7.200 MW atau bertambah sekitar 635 MW setiap tahun. Komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 41% pada 2020 juga berpotensi memberikan dampak positif bagi industri panas bumi.
Realisasi pengembangan panas bumi RI relatif tertinggal dibandingkan sejumlah negara seperti Filipina, Amerika Serikat, New Zealand, dan Jepang. Saat ini kapasitas terpasang PLTP di Filipina mencapai 74% dari total potensi panas bumi negara tersebut. Kapasitas terpasang PLTP AS sekitar 56% dari total potensi. Kapasitas terpasang PLTP New Zealand dan Jepang sekitar 27% dari potensi panas buminya. Adapun kapasitas terpasang PLTP Indonesia baru 4%a��5 % dari total potensi.
Filipina merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam pengembangan panas bumi. Pada 2015, kapasitas terpasang PLTP Filipina dilaporkan sekitar 12% dari total kapaitas listrik negara itu. Porsi produksi listrik Filipina yang dihasilkan dari PLTP sekitar 16% dari total produksi listrik negara tersebut.
Pengembangan panas bumi Filipina yang progresif merupakan implementasi dari komitmen pemerintah. Dalam upaya mengembangkan panas bumi, Pemerintah Filipina memberikan sejumlah insentif yang diantaranya: (1) memberikanA�tax holidayA�selama tujuh tahun pertama dalam pengembangan panas bumi dan membebaskan pajak kredit karbon; (2) menetapkan tarif PPN dalam pengembangan panas bumi sebesar 0%; (3) membebaskan pajak impor yang terkait pengembangan panas bumi selama 10 tahun pertama; (4) memberikan 100% kredit pajak atas penggunaan barang dan jasa domestik dalam pengembangan panas bumi; (5) menatapkanA�corporate tax rateA�10% setelah masa 7 tahunA�tax holidayA�selesai; dan (6) hanya mengenakan 1,5% pajak atas peralatan dan mesin yang digunakan untuk pengembangan panas bumi.
Dalam pengembangan panas bumi, antara komitmen dan kepentingan bisnis pelaku usaha sering tidak sejalan. Karena itu dalam contoh kasus di atas, Pemerintah Filipina melakukan berbagai intervensi agar pengembangan panas bumi di negara mereka dapat berjalan dan tetap memenuhi nilai keekonomian.
Untuk beberapa aspek, komitmen Indonesia dalam pengembangan panas bumi relatif belum disertai langkah konkret seperti Filipina. Masalah pengembangan panas bumi RI dari tahun ke tahun relatif sama, sulit mencapai kesepakatan harga jual uap dan tenaga listrik panas bumi itu sendiri. Pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah regulasi a�� salah satunya Permen ESDM No. 17/2014 a�� tentang harga patokan listrik panas bumi dan penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari panas bumi.
BerdasarkanA�review, penetapan harga patokan dan penugasan itu sering tidak sejalan dengan kepentingan bisnis PLN sebagai penerima tugas. Dalam beberapa kasus harga patokan yang ditetapkan pemerintah dinilai ketinggian oleh PLN. Kebijakan harga ini kemudian dalam beberapa kasus menjadi dasar PLN tidak bersedia membeli uap dan/atau listrik yang diproduksikan oleh pengembang panas bumi. Dengan harga yang kemahalan, pembelian listrik panas bumi dinilai tidak sejalan dengan upaya PLN menurunkan BPP tenaga listrik.
Dari sudut pandang bisnis, sikap PLN yang lebih memilih memproduksikan dan/atau membeli listrik yang lebih murah dibanding listrik panas bumi adalah logis dan dapat dimengerti. Akan tetapi, mengingat perannya sebagai pembeli tunggal (monopsoni), keputusan PLN untuk membeli atau tidak akan menentukan nasib industri panas bumi RI. Jika PLN tidak bersedia membeli, secara otomatis industri panas bumi Indonesia akan berhenti beroperasi.
PERLU INTERVENSI
Pengembangan panas bumi di sejumlah negara umumnya diintervensi oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Hal ini karena jika diserahkan pada mekanisme pasar industri energi baru dan terbarukan, termasuk industri panas bumi akan sulit bersaing dengan energi fosil yang sudah lebih mapan. Kondisi pengembangan panas bumi Indonesia pada dasarnya relatif sama, akan sulit berkembang jika tidak diintervensi pemerintah.
Pengembangan panas bumi Indonesia tidak cukup dengan cara-cara yang dilakukan selama ini, hanya menetapkan harga patokan dan kemudian menugaskan PLN untuk membeli uap dan/atau listrik melalui mekanisme bisnis. Sebagai contoh, Permen ESDM No. 17/2014 yang menetapkan harga patokan listrik panas bumi tertinggi untuk wilayah I, II, dan III pada 2016 masing-masing 12,2 sen US$/kWh (Rp1.647/kWh), 17,6 sen US$/kWh (Rp2.376/kWh), dan 25,8 sen US$/kWh (Rp3.483/kWh), akan sulit direalisasikan pada kondisi saat ini. Harga listrik panas bumi itu akan kalah bersaing dengan harga listrik batu bara dan gas yang saat ini masing-masing di bawah Rp700/kWh dan Rp1.000/kWh.
Harga minyak yang rendah seperti saat ini merupakan ujian bagi komitmen pengembangan energi baru dan terbarukan, termasuk ujian bagi komitmen pemerintah Indonesia dalam mengembangkan panas bumi. Kuat atau lemahnya komitemen pemerintah salah satunya akan tercermin pada respon pemerintah dalam menyikapi polemik jual-beli uap dan/atau tenaga listrik panas bumi antara pengembang dan PLN. Karena pertimbangan bisnis, pada beberapa kasus PLN tidak dapat menyerap atau membeli seluruh uap/dan atau tenaga listrik yang diproduksikan pengembang panas bumi.
Pada kondisi inilah, pemerintah perlu mengambil peran seperti yang dilakukan Filipina. Pemerintah perlu konsisten dengan komitmen dan target pengembangan panas bumi yang telah ditetapkan. Perlu diingat, kemungkinan akan sangat sulit target kapasitas terpasang PLTP pada 2025 sebesar 7.200 MW dapat tercapai jika produksi uap dan/atau listrik dari pengembang panas bumi yang ada saat ini saja tidak terserap/terbeli oleh PLN.