Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti
Pendiri Reforminer Institute
KOMPAS; Kamis 02 Maret 2017
Permasalahan Freeport harus dapat dikelola dan diselesaikan dengan baik. Dengan asumsi bahwa baik Pemerintah Indonesia maupun Freeport masih beritikad untuk terus bekerja sama, cara penyelesaian yang semestinya dikedepankan kedua belah pihak adalah negosiasi untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada.
Saya melihat semestinya masih sangat terbuka ruang untuk melakukan hal itu ketimbang pilihan arbitrase yang belakangan ini cenderung mengemuka.
Freeport dalam hal ini semestinya harus bisa melihat secara lebih proporsional dan memahami itikad baik pemerintah, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan aspek keberlanjutan operasi mereka di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah sangat kuat memberikan sinyal bahwa operasi Freeport bakal berlanjut dengan beberapa penyesuaian terhadap aturan yang berlaku.
Ubah kontrak karya
Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 Pasal 17 yang memberikan kesempatan pemegang kontrak karya (KK) untuk tetap dapat melakukan penjualan konsentrat ke luar negeri dalam lima tahun ke depan dengan syarat tertentu, di antaranya dengan mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi, jelas merupakan sinyal kuat bahwa hal itu dimaksudkan untuk menjaga agar kegiatan operasi pemegang KK (termasuk Freeport) bisa terus berjalan. Dalam konteks Freeport, hal itu secara implisit juga mengandung pesan bahwa Freeport tidak hanya diizinkan untuk dapat terus beroperasi sampai 2021a saat KK mereka berakhir (meski dalam kondisi Freeport belum membangun smelter)tetapi bahkan sampai 20 tahun ditambah dua kali periode perpanjangan izin 10 tahun.
Jika KK Freeport berubah menjadi IUPK saat ini (tahun 2017), artinya Freeport dapat terus beroperasi maksimal sampai 2037 ditambah 20 tahun atau yang berarti dapat hingga tahun 2057.
Masih berlanjut
Dengan demikian, itu bahkan akan lebih lama dibandingkan jika KK Freeport diperpanjang dua kali 10 tahun dari tahun 2021 hingga tahun 2041. Artinya, sebenarnya pemerintah telah memberikan sinyal kepastian, yang menurut pandangan saya, sudah sangat kuat bahwa pada dasarnya operasi dan investasi Freeport di Indonesia masih akan terus berlanjut pasca 2021.
Hanya saja jaminan keberlanjutan tidak diberikan dalam bentuk perpanjangan KK, tetapi dalam bentuk IUPK yang diberikan sejak 2017 ini.
Di sinilah semestinya Freeport harus bisa secara lebih jernih melihat itikad baik dari pemerintah. Bahwa pada dasarnya pemerintah menjamin keberlanjutan usaha mereka di sini, tetapi dalam koridor payung hukum dan kerangka peraturan perundangan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) serta segala peraturan perundangan pelaksana di bawahnya yang memang harus dijalankan oleh pemerintah secara konsisten dan tidak boleh dilanggar.
Terhadap kekhawatiran akan ketidakpastian karena perpanjangan usaha diberikan dalam bentuk izin yang secara teoretis dapat dicabut atau diputuskan sewaktu-waktu oleh pemerintah, hal itu semestinya harus dilihat secara lebih proporsional.
Bersifat khusus
Adalah tidak mungkin jika tanpa suatu alasan yang jelas, misalnya ada suatu pelanggaran berat, pemerintah akan dan dapat sewenang-wenang mencabut izin yang telah diberikan. Apalagi izin untuk pertambangan ini masuk dalam kategori izin usaha pertambangan yang bersifat khusus (IUPK).
Terhadap keberatan Freeport yang lain, di antaranya dalam hal kewajiban divestasi saham hingga 51 persen dan penerapan perpajakan yang tidak bersifat tetap sepanjang kontrak (nail down,) tetapi mengikuti peraturan perundangan yang berlaku (prevailing), sesungguhnya hal ini juga bukan merupakan permintaan pemerintah yang tanpa dasar.
Perihal kewajiban untuk divestasi saham hingga 51 persen sudah disebut di dalam KK, yaitu dalam Pasal 24 Ayat 2 Butir b. Sedangkan terkait keharusan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, termasuk dalam konteks ini adalah peraturan perpajakan, hal itu juga telah disebutkan di dalam KK, yaitu dalam Pasal 23 Ayat 2.
Jadi, jika hal itu ditegaskan lagi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, yang dalam hal ini berbeda dengan PP sebelumnya (PP Nomor 77 Tahun 2014 yang menyebutkan kepemilikan saham asing maksimal dapat 70 persen untuk pemegang IUPK operasi produksi yang menggunakan metode penambangan bawah tanah), hal itu pada dasarnya bukan merupakan bentuk inkonsistensi atau berarti pemerintah menciptakan ketidakpastian aturan main di dalam iklim investasi.
Meski demikian, itu justru lebih menunjukkan bahwa betapa pemerintah selama ini sudah sangat mengakomodasi kepentingan-kepentingan Freeport hingga kadang menyebabkan berubah- ubahnya peraturan.
Begitu juga dengan kewajiban untuk membangun smelter yang seolah-olah beban dan ketidakpastian baru akibat berlakunya UU Minerba. Padahal, itu sudah disebut dalam KK Freeport dalam Pasal 10 Ayat 4 dan 5.
Penuhi komitmen
Dengan kata lain, di samping untuk mengakomodasi kepentingan Freeport dan selain dalam rangka untuk menegakkan serta mematuhi peraturan perundangan yang ada, apa yang dilakukan pemerintah sejatinya hanya menegaskan dan mengingatkan agar Freeport menjalankan komitmen mereka sebagaimana sudah tercantum di dalam KK.
Jadi, menurut pendapat saya, kunci penyelesaian masalah ini lebih ada pada pihak Freeport. Kesediaan Freeport menyelesaikan perbedaan pandangan yang ada melalui jalan negosiasi dan bukan melalui arbitrasea meskipun hal ini dimungkinkana dapat menjadi ukuran seberapa besar itikad baik Freeport di dalam berinvestasi di Indonesia.
Pemerintah telah sejak lama begitu memahami Freeport dan beritikad baik untuk menjaga keberlanjutan investasinya. Kini, saatnya Freeport lebih memahami kondisi dan itikad baik Pemerintah Indonesia.
Tentu saja, kini saatnya Freeport untuk lebih mengerti, memahami, serta menghargai bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute