Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti
Pendiri Reforminer Institute
Bisbis Indonesia: 15 Maret 2017
Belum lama ini pemerintah mengeluarkan satu peraturan yang kemungkinan akan memiliki implikasi cukup signifikan bagi prospek bisnis dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk listrik ke depan. Peraturan itu adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Bagi pemerintah, terbitnya permen ini tampaknya dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi bagi pelaku usaha Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) tenaga EBT sehingga diharapkan menghasilkan harga listrik yang kompetitif. Permen ini tampaknya juga merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurai permasalahan harga listrik EBT yang dipandang terlalu mahal sehingga selama ini tidak dapat diserap PLN. Permasalahan harga listrik EBT ini sebenarnya telah banyak diatur pemerintah sebelumnya, diantaranya melalui sejumlah regulasi seperti Permen ESDM No.19 Tahun 2015, Permen ESDM No.44 Tahun 2016, Permen ESDM No.19 Tahun 2016 dan Permen ESDM No. 21 Tahun 2016.
Dari sisi substansi, perubahan cukup signifikan yang terjadi pada Permen No.12 Tahun 2017 dibandingkan peraturan sebelumnya diantaranya terletak pada ketentuan pembelian tenaga listrik dengan menggunakan harga patokan seperti yang terdapat pada Pasal 5 tentang harga pembelian listrik PLTS Fotovoltaik. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jika harga BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik paling tinggi sebesar 85% dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Sementara jika BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik sama dengan BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.
Selain PLTS Fotovoltaik, ketentuan tersebut juga berlaku untuk pembelian tenaga listrik dari PLT Bayu (PLTB), PLT Biomasa (PLTBm), PLT Biogas (PLTBg) dan PLTA. Sementara itu ketentuan berbeda diberlakukan untuk pembelian tenaga listrik dari PLT Sampah (PLTSa) dan PLT Panasbumi (PLTP), ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 dan Pasa 11 menyebutkan, Jika harga BPP Pembangkit PLTA dan PLTP di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga patokan pembelian tenaga listrik dari PLTA dan PLTP tersebut paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Sementara jika BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTSa ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Ketentuan lain yang juga relevan adalah menyangkut mekanisme pembelian tenaga listrik dari PLTA dan PLTP. Dalam hal ini ada kententuan yang menyebutkan bahwa pembelian tenaga listrik dilakukan dengan membangun jaringan evakuasi daya dari tenaga listrik ke titik sambung PT PLN dengan menggunakan pola kerjasama Build, Own, Operate, Transfer (BOOT). Dengan adanya ketentuan BOOT kepemilikan pembangkit secara langsung akan menjadi aset negara setelah kontrak kerjasama berakhir.
Saya melihat, dua substansi pokok dari Permen ESDM 12/2017 di atas, meskipun tampaknya ditujukan untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi bagi pengembang listrik EBT, hal itu berpotensi menjadi disinsentif bagi investasi pengembangan listrik EBT ke depan. Secara makro, Permen ini juga seolah terlihat seperti antiklimaks dari keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan EBT yang selama ini sebenarnya sudah dapat dikatakan berada di jalur yang benar.
Berdasarkan politik penganggaran KESDM dalam beberapa tahun terakhir, keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan EBT sebenarnya sudah dapat dilihat. Berdasarkan anggaran KESDM dan realisasinya pada 2015 dan 2016, diketahui alokasi anggaran untuk Ditjen EBTKE selalu meningkat dan tercatat merupakan yang terbesar kedua setelah Ditjen Migas. Untuk tahun anggaran 2017 ini, meski mengalami sedikit penurunan, anggaran yang dialokasikan untuk Ditjen EBTKE masih tetap yang terbesar kedua setelah Ditjen Migas. Dari total pagu anggaran Rp. 7,3 triliun, 19,3% nya dialokasikan untuk Ditjen ETBKE, sedangkan Ditjen Migas 36,8%.
Dari data dan informasi yang dihimpun, diketahui bahwa selama 7 (tujuh) tahun terakhir (2010-2016) produksi EBT rata-rata mengalami kenaikan sebesar 9,9 % untuk setiap tahunnya. Produksi EBT sebagian besar berasal dari tenaga air, panas bumi, dan bioenergi. Realisasi pengembangan EBT tersebut sebagian besar merupakan hasil dari pengusahaan listrik EBT.
Sampai sejauh ini sudah terdapat sekitar 6 jenis listrik EBT yang dikembangkan di dalam negeri. Berdasarkan data kapasitas terpasang, yang paling dominan dalam bauran listrik EBT sampai saat ini adalah PLTA dan PLTP. Dalam 4 (empat) tahun terakhir perkembangan PLT Bioenergi mengalami peningkatan signifikan. Bahkan untuk tahun 2015 dan 2016, kapasitas terpasang PLT Bioenergi telah melampaui kapasitas terpasang PLTP.
Meskipun signifikansi pengembangan listrik EBT dalam menunjang diversifikasi bauran energi nasional belum sepenuhnya sesuai harapan dan mungkin belum benar-benar terasa, namun harus diakui perkembangan yang ada sudah cukup positif. Jangan sampai hal yang sudah berada pada jalur yang benar tersebut kembali dimentahkan dengan disinsentif dan ketidakpastian yang tidak perlu. Pijakan dari suau peraturan hendaknya benar-benar didasarkan atas kajian yang kuat. Peraturan yang sifatnya cenderung mengeneralisir seperti misalnya menetapkan patokan harga 85% dari BPP sebagaimana yang ada pada Permen ESDM 12/2017 di atas, sebaiknya dihindari. Terlebih apabila hal-hal semacam itu ternyata juga belum didasarkan atas kajian yang komprehensif dan hanya didasarkan pada kira-kira dan insting bisnis semata.