(Katadata.co.id, 27 April 2017)
Klaim pemerintah mengenai efisiensi dari penyederhanaan administrasi dan birokasi skema kontrak bagi hasil gross splitminyak dan gas bumi (migas)  mengundang pertanyaan. Alasannya pengendalian manajemen dan kegiatan operasional masih mendasarkan pada model kontrak lama.
Catatan dari Reforminer Institute yang didirikan Pri Agung Rakhmanto mempersoalkan setidaknya tiga pasal dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2017 yang mengatur mengenai manajemen hulu migas. Poin tersebut ada di Pasal 15, 16 dan 23.
Pasal 15 Permen ESDM 8/2017 menyebutkan peran SKK Migas di dalam pemberian persetujuan atau penolakan terhadap rencana kerja dan anggaran yang diajukan kontraktor. Kemudian Pasal 16 juga mengatur tentang persetujuan atau penolakan terhadap rencana pengembangan lapangan (POD) yang pertama kali maupun yang selanjutnya.
Sedangkan Pasal 23 mengatur tentang peran SKK Migas di dalam pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan operasional hulu migas. Ketentuan-ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh pengendalian manajemen kegiatan di dalam sistem gross split yang diterapkan akan berbeda dengan Production Sharing Contract (PSC) sebelumnya, kata Pri dikutip dari Reforminer Quarterly Energy Notes periode April 2017, Rabu (27/4).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pernah mengatakan kelebihan gross split adalah proses pengadaan yang lebih cepat. Contohnya proses desain awal (Pre-FEED) yang hanya membutuhkan proses enam bulan. Selama ini waktu penyelesaian administrasinya bisa mencapai 8 bulan hingga 1,5 tahun.
Namun, laporan Reforminer menilai esensi dari penerapan model gross split masih sebatas mengubah dasar dan besaran angka bagi hasil yang digunakan. Dalam Pasal 5, basis bagi hasil minyak bumi sebesar 57 persen untuk negara dan 43 persen milik kontraktor. Sedangkan gas bumi 52 persen bagian negara dan 48 persen kontraktor.
Bagi hasil ini masih ditambah dengan komponen variabel. Yang terdiri dari status Wilayah Kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada masa pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.
Pada model bagi hasil seperti itu ternyata juga bisa memunculkan masalah. Masalahnya adalah bagaimana menerapkan dan memonitor komponen variabel yang berbeda-beda di tiap lapangan.
Kemudian, bagaimana memasukkan porsi pengembalian investasi yang ada dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2017 ke dalam angka bagi hasil. Apalagi aturan itu menyebutkan jika perpanjangan kontrak menggunakan model gross split, maka biaya investasi yang belum dikembalikan dapat ditagihkan melalui perhitungan dalam bagian kontraktor.
Persoalan lain yang disoroti Reforminer dalam aturan gross split adalah kepemilikan aset. Pasal 21 Permen ESDM 8/2017 dianggap memiliki kontradiksi logika karena barang yang dibeli kontraktor menjadi milik negara.
Ada juga persoalan pemberlakuan kontrak, yang diatur pada Pasal 24 Permen ESDM Nomor 8 tahun 2017. Klausul tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah kontrak dan kontraktor eksistingnya tidak akan diperpanjang jika pemerintah ingin menerapkan gross split.
Apalagi Pasal 24 berbunyi, gross split diberlakukan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang. Sementara wilayah kerja yang kontraknya diperpanjang dapat memilih untuk menggunakan model kontrak semula atau kontrak bagi hasil gross split.
Jadi, kajian Reforminer mempertanyakan tujuan dari skema gross split. “Benar-benar untuk efisiensi dan penyederhanaan administrasi dan manajemen atau sebatas short cut untuk memperbesar porsi bagian pemerintah, atau untuk hal lain,†ujar Pri.
Untuk itu, pemerintan perlu melakukan beberapa perbaikan, baik di dalam aspek regulasi maupun di dalam tahapan implementasi model kontrak bagi hasil gross split ini. Salah satu yang direkomendasikan ReforMiner adalah agar di dalam peraturan yang ada disebutkan secara tegas bahwa kontrak bagi hasil gross split adalah hanya merupakan sebuah pilihan, dan bukan sebuah keharusan mutlak ataupun sebuah keharusan yang dikondisikan.