Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
Bisnis Indonesia; Senin 31 Juli 2017
Pertumbuhan ekonomi yang stabil pada rentang 5%-6% per tahun atau lebih memerlukan investasi dan pasokan energi yang dapat diandalkan dan berkelanjutan.
Sektor hulu migas, yang aktifitas utamanya terdiri dari kegiatan eksplorasi, pengembangan dan produksi, memiliki peran penting untuk kedua elemen tersebut, yaitu melalui investasi dan melalui penyediaan energi migas sebagai bahan bakar primer.
Keduanya menggerakkan roda perekonominan dalam arti sesungguhnya. Kontribusi hulu migas nasional ke penerimaan negara saat ini memang tidak lagi signifikan, kurang dari 5% dari keseluruhan total penerimaan negara di APBN. Namun, tidak lalu berarti bahwa sektor ini tidak lagi penting.
Adalah keliru jika menganggap sektor hulu migas tidak lagi penting bagi perekonomian nasional hanya dengan melihat kontribusinya terhadap penerimaan negara yang saat ini rendah.
Besaran nilai investasi hulu migas adalah sangat signifikan secara relatif terhadap besaran nilai investasi nasional total secara keseluruhan.
Pada 2014, saat total nilai investasi nasional diluar sektor hulu migas sekitar Rp541,28 triliun, nilai investasi hulu migas adalah Rp275,4 triliun. Rasia diantara keduanya sekitar 2:1. Pada 2015, saat total nilai investasi nasional adalah Rp574,69 triliun, investasi hulu migas sekitar Rp206,55 triliun atau perbandingan keduanya mendekati 3: 1.
Sementara pada 2016, nilai keduanya sekitar Rp607,25 triliun dan Rp151,2 triliun, yang berarti 4:1 dalam rasionya. Dari angka-angka di atas, kita bisa melihat setidaknya dua hal.
Pertama, besaran investasi di hulu migas jelas tidak bisa dianggap remeh. Nilai investasi yang berputar di sektor hulu migas selalu dalam skala ratusan triliun rupiah, sama dengan skala ratusan triliun rupiah untuk total investasi nasional secara keseluruhan.
Jelas bahwa magnitude investasi hulu migas tidak main-main. Efek berganda yang dihasilkannya dalam perekonomian nasional cukup signifikan. Berdasarkan angka dari SKK Migas dan Bank Indonesia, Produk Domestik Bruto (PDB) hulu migas pada 2016 adalah US$23,7 miliar atau berkontribusi sekitar 3,3% terhadap PDB keseluruhan. Setiap US$1 juta investasi di hulu migas memiliki angka pengganda 1,6 kali lipat, atau menciptakan nilai tambah US$1,6 juta dan menghasilkan tambahan PDB sebesar US$0,7 juta.
Kedua, ada penurunan yang sangat signifikan dalam hal besaran investasi hulu migas selama periode 2014-2016 tersebut. Penurunan pada periode 2014-2015 adalah Rp68,8 trilliun atau turun 25%.
Pada 2015-2016 investasi hulu migas kembali turun Rp5S,4 triliun atau turun 26,8%. Terhadap nilai investasi pada 2014, nilai investasi hulu migas pada 2016 telah turun Rp124,2 triliun atau turun sekitar 45%.
Jika beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo sempat kecewa karena Raja Salman hanya membawa investasi Rp89 triliun, sebenarnya angka itu masih kalah dengan nilai investasi hulu migas yang hilang pada 2015-2016 itu.
Hilangnya investasi yang sebelumnya sudah berputar di Indonesia sebesar itu dalam waktu yang sangat singkat, bukan hanya sekadar mengecewakan tetapi menyedihkan.
Ironis, karena Presiden Joko Widodo kemana-mana dan dalam setiap kesempatan selalu berupaya mendatangkan dan menarik investasi, tetapi malah investasi yang sudah ada di dalam dan di depan mata kita sendiri seperti dibiarkan pergi begitu saja.
Akan halnya yang terjadi di tahun ini, kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Hingga akhir Juni 2017, dari rencana investasi huiu migas yang dianggarkan dalam program kerja para kontraktor hulu migas sebesar US$13,8 miliar, yang terealisasi baru US$3,98 miliar atau hanya sekitar 29%.
kita lebih tidak mampu lagi dalam menjaga dan menarik investasi di hulu migas. Jika kita mengasumsikan pola yang sama akan berlanjut di paruh kedua, tahun ini realisasi investasi hulu migas bisa jadi hanya US$8 miliar atau sekitar Rp 108 triliun.
Ini berarti akan turun lagi sekitar Rp43,2 triliun atau 28,6% dari 2016.
MINIM PEMINAT
Gejala dan tanda ke arah itu terlihat sangat jelas. Dari 14 wilayah kerja migas yang dilelang sejak tahun lalu, hanya satu yang diminati investor. Dari investasi yang dibelanjakan kontraktor untuk kegiatan eksplorasi, besaran dan porsinya dari tahun ke tahun selalu sangat kecil dan terus mengecil.
Dari hanya US$1, 1 miliar pada 2014, turun menjadi US$500 juta pada 2015, dan turun lagi menjadi hanya sekitar US$100 juta hingga November 2016 lalu (tidak sampai 1% dari total investasi hulu migas).
Padahal, investasi untuk eksplorasi adalah indikator utama dalam melihat seberapa tertarik para kontraktor migas akan menanamkan investasinya dan hal itu akan menentukan investasi di tahapan selanjutnya.
Jika eksplorasi saja hampir tidak ada, penemuan lapangan migas baru yang signifikan juga tidak akan ada. Tidak akan ada pula investasi lanjutan di kegiatan pengembangan lapangan dan produksi.
Pemberlakuan kontrak bagi hasil sistem Gross Split yang diterapkan sejak awal 2017, menurut saya akan makin memperburuk keadaan. Gross Split sangat lebih tidak menarik untuk mendorong investasi eksplorasi dibandingkan kontrak bagi hasil biasa, karena kontraktor harus menanggung secara penuh risiko investasi selama masa kontrak.
Apalagi, persoalan perizinan yang sangat banyak dengan alur yang sangat panjang juga masih belum tersentuh. Jika pemerintah mengklaim telah menyederhanan perizinan dari 104 perizinan migas hingga hanya menjadi 6 perizinan ( 4 hilir dan 2 hulu), diantaranya melalui Permen ESDM No. 29/2017, hal itu tidaklah konkret.
Dua perizinan hulu migas yang disasar dalam peraturan ini hanyalah perizinan yang sifatnya administratif yang hanya berkaitan dengan penyiapan wilayah kerja migas di lingkup kerja Ditjen Migas saja.
Sementara perizinan hulu migas yang sifatnya lebih operasional, di wilayah kerja migas yang telah dioperasikan untuk aktifitas eksplorasi, pengembangan, dan produksi, jumlahnya masih tetap 341 perizinan dan tersebar di sekitar 19 kementerian/lembaga/instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Saat ini, jumlah itu disinyalir bahkan bertambah menjadi 373 perizinan.
Dengan kondisi seperti itu, saya tidak bisa membayangkan entah berapa triliun rupiah lagi investasi hulu migas yang akan terus menerus hilang. Harga minyak yang rendah bukan (lagi) alasan yang tepat, karena investasi hulu migas di tingkat global sebenarnya telah menunjukkan gejala peningkatan, yang pada tahun ini diproyeksikan naik US$450 miliar.
Peringkat investment grade ekonomi Indonesia tampaknya sama sekali tidak terefleksikan di sektor hulu migas. Menurut saya, sudah saatnya Presiden Joko Widodo perlu melakukan blusukan langsung di sektor hulu migas untuk menarik kembali investasi ratusan triliun rupiah yang terbang dari perekonomian nasional.
Terus menurunnya investasi hulu migas bukan hanya sekadar hilangnya angka-angka itu saja tetapi adalah indikasi kuat hilangnya (terjadinya krisis) kepercayaan kepada negara dan pemerintah kita.