Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)
Bisnis Indonesia: Kamis 05 Oktober 2017
Zaman telah dan terus berubah. Jika di awal masa pembangunan, khususnya pada periode 1973-1983, lebih dari 60% porsi penerimaan negara rata – rata bersumber dari penerimaan migas, saat ini kurang lebih 85% penerimaan negara bersumber dari pajak.
US$48 per barel, total penerimaan migas, yang terdiri dari Penerimaan Negara Bukan PaJak (PBP) dan Penerimaan Pajak Migas dalam RAPBN 2018 diperkirakan hanya akan mencapai Rp113,1 triliun. Ini kurang lebih setara dengan 6 dari total penerimaan negara yang ditargetkan mencapai Rp1 .878,4 triliun.
Ada beberapa hal yang dapat kita baca dari beberapa angka di atas. Pertama, migas saat ini bukan lagi sumber penerimaan negara yang utama. ltu sangat jelas. Kedua, sektor-sektor ekonomi lain di luar migas telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga memberikan kontribusi ekonomi, dalam bentuk pajak salah satunya yang kemudian menggantikan peran sektor migas sebagai penerimaan negara yang utama. lni juga relatif cukup jelas.
Ketiga, yang barangkali tidak cukup jelas terbaca adalah bahwa sektor migas, baik melalui penerimaan negara yang disumbangkannya selama ini, dan khususnya di awal masa pembangunan. Maupun melalui keberadaannya dengan segala multiplier effect yang ditimbulkannya, telah “berjasa†menjadi penggerak mula perekonomian nasional serara keseluruhan hingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi seperti sekarang ini.
Sektor hulu migas misalnya, memiliki keterkaitan sektoral yang sangat luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunaanya. Industri hulu migas terkait dengan 75 sektor pendukung dan 45 sektor pengguna. Sektor pendukung hulu migas tersebut menguasai sekitar 55.99 PDB Indonesia dan menyerap sekitar 61,53% tenaga kerja Indonesia.
Sementara sektor penggunanya menguasai sekitar 27,27 PDB dan memcrap sek1tar 19,34% tenaga kerja. Simulasi ReforMiner menemukan bahwa potensi nilai tambah ekonomi yang tercipta dari investasi hulu migas cukup besar. Transaksi industri hulu migas dengan sektor pendukungnya senilai Rp1 triliun akan menciptakan nilai tambah ekonomi sekitar Rp3,72 triliun. Kegiatan transaksi tersebut juga akan menyerap tenaga kerja sekitar 13.600 tenaga kerja.
Oleh karenanya. di saat fungsi sektor migas sebagai smber penerimaan negara sudah tergantikan oleh sektor- sektor yang lain, hal itu memang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Dan manjadi sangat beralasan ketika Presiden Jokowidodo, sepanjang yang saya cermati, tidak pernah rasanya menekankan agar pengelolaan sektor migas ini difokuskan untuk meningkatkan penerimaan negara.
lnstruksi kebijakan BBM satu harga, misalnya. dapat dianikan agar migas dapat lebih menjadi penggerak perekunomian dengan harga yang lebih terjangkau di wilayah – wilayah yang selama ini perekonomiannya berkembang lebih lambat.
lnstruksi penurunan harga gas domestik juga berarti agar harga migas di dalam negeri lebih diarahkan untuk menggerakkan sektor – sektor industri penggunanya agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian secara keseluruhan.
KEMUDAHAN INVESTASI
Hal yang selalu ditekankan oleh Presiden Joko Widodo adalah hagaimana agar pengelolaan dan kebijakan di semua sektor, termasuk migas, memberi kemudahan bagi investasi dan mempercepat eksekusi pelaksanaannya.
Dengan kata lain paradigma pengelolaan migas sekarang memang (seharusnya) sudah berubah Migas bukan lagi ditekankan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi migas lebih sebagai penggerak perekonomian.
Maka. penerjemahan visi dan instruksi Presiden Joko Widodo ke dalam kebijakan-kebijakan di sektor migas ini juga harus sejalan. Penurunan harga gas domestik, misalnya, mestinya dapat segera dijalankan dengan cara mengurangi porsi bagian negara dalam kontrak bagi hasil.
Penerimaan negara dari gas akan sedikit berkurang pada awalnya, tetapi perekonomian dalam skala yang Jebih luas akan bergerak sehingga secara tidak langsung nantinya hal itu akan terkompensasi.
Dalam hat pengelolaan dan pengusahaan wilayah kerja migas, pendekatan yang dipakai mestinya adalah prinsip ekonomi (perdagangan) sederhana. Lebih baik negara tidak mengambil untung terlalu banyak dari hanya dari satu-dua wilayah kerja tertentu yang tergarap, tetapi akan lebih menguntungkan secara ekonomi ke depanya jika jumlah wilayah kerja yang “laku terjual†dan tergarap lebih banyak.
Arah kebijakan di hulu migas saat ini, yang cenderung menekankan efisiensi tetapi dalam arti yang sempit, yaitu menekan cost (baca: investasi), menurut saya, perlu dikoreksi karena cenderung masih lebih menekankan pada migas sebagai sumber penerimaan negara, dan bukan migas sebagai penggerak ekonomi.
Penanganan pada proyek – proyek strategis migas seperti pengembangan lapangan gas Masela. lapangan gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD), lapangan gas Jambaran-Tiung Biru. atupun proyek-proyek kilang BBM dan LNG di hilir, sebaiknya juga jangan secara sempit menggunakan pendekatan efisiensi hanya dalam bentuk bagaimana menekan biaya dan mengendalikan rate of return proyek.
Di dalam ekonomi (bisnis). apalagi seperti di sektor migas dimana negara tidak melakukan investasi sendiri, ada yang namanya momentum, yang jika terlewatkan justru malah bisa menyebabkan proyek tersebut dapat tidak berjalan.
Pengembangan lapangan gas East Natuna, yang sudah ditemukan sejak sebelum 1990, hingga kini menjadi tidak jelas nasibnya karena kehilangan momentum tersebut. Jangan sampai hal yang sama terjadi untuk lapangan gas Masela atau lapangan migas yang lain. Jika proyek tersebut tidak berjalan, tidak akan ada juga efisiensi yang dimaksudkan.
Maka, para penyelenggara negara dan pemerintahan yang memegang otoritas di sektor migas, sebaiknya lebih cerdas dan tidak sempit di dalam menerjemahkan instruksi Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, di balik instruksi itu sesungguhnya ada visi dan paradigma (baru) yang sangat jelas di dalam bagaimana semestinya kita mengelola sektor migas saat ini dan ke depan, yaitu migas sebagai penggerak ekonomi.