Kompas, 26 Agustus 2010
Jakarta, Kompas – Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengkritik pemberian jaminan pemerintah pada proyek 10.000 megawatt, yang bernilai total 8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 72,8 triliun. Penjaminan tidak perlu diberikan jika kebijakan tarif listrik tidak diatur pemerintah.
Sebetulnya, jika struktur biayanya dapat dibuat lebih baik dan dapat diterima di pasar (kalangan investor), tidak perlu ada penjaminan pemerintah, A�kata Menkeu di Jakarta, Rabu (25/8), seusai Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan.
Menurut Agus, sebagai Menkeu, ia keberatan dengan struktur penjaminan seperti itu. Namun, ia menyadari kondisi keuangan PLN tak memungkinkan menyelesaikan proyek 1.000 MW bila tidak diberi penjaminan.
Rapat Kerja Komisi XI DPR membahas Surat Menteri Keuangan No S-269/MK.011/2010 tentang Penyertaan Modal Negara pada PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Askrindo, Perum Jamkrindo, Badan Pengatur Jalan Raya, dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (PII).
Penyertaan modal negara untuk PII merupakan salah satu yang krusial. BUMN bentukan Kementerian Keuangan ini mengemban tugas memberikan penjaminan bagi proyek infrastruktur strategis, termasuk pembangkit listrik.
Oleh karena itu, Agus menegaskan, penguatan modal PII sangat dibutuhkan untuk memperkuat kredibilitas PII di mata calon investor. Sesuai anggaran dasar PT PII, modal dasar perseroan ditetapkan Rp 4 triliun.
Namun, pada tahun 2010, PII baru akan mendapatkan modal Rp 1 triliun. Modalnya akan ditambah lagi Rp 1 triliun pada tahun 2011, demikian seterusnya hingga modal dasar PII Rp 4 triliun terpenuhi.
Ingin kejelasan
Menurut Agus, sebagian besar investor sektor kelistrikan ingin kejelasan soal tarif listrik. Hingga kini, tarif listrik diatur pemerintah sehingga investor hanya mau menanamkan modal jika ada jaminan dari pemerintah.
Pada proyek 10.000 MW pertama, penjaminan diberikan pemerintah melalui APBN. Ini membuat risiko yang ditanggung negara terlalu besar. Dengan ada PT PII, risikonya beralih dari pemerintah ke PII, A�ujarnya.
Menurut Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�(Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto, jika pemerintah tidak memberikan penjaminan, risiko yang harus ditanggung negara akan lebih besar. Risiko itu berupa tertunda atau batalnya pembangunan infrastruktur.Priagung mengingatkan, untuk pengamanan pasokan listrik, pemerintah hendaknya tidak hanya melihat dari sisi keuangan, tetapi juga keamanan pasokan energi nasional. A�Kalau tak ingin kekurangan listrik, pemerintah mau ada di posisi mana A�Apakah membangun sendiri atau melalui investor dengan menyediakan penjaminan, A�tuturnya.
Selama masih bergantung kepada investor dalam membangun infrastruktur besar, jaminan pemerintah tetap diperlukan. Tanpa penjaminan, kepastian pendanaan sulit didapat. A�Memang benar jika tarif listrik sudah sesuai harga pasar, kebutuhan pada penjaminan pemerintah akan lebih rendah. Namun, bukan berarti tidak dibutuhkan, A�kata Priagung. (OIN)