Kompas.id; 18 Juli 2024
JAKARTA, KOMPAS — Tren penurunan produksi siap jual (lifting) minyak dan gas bumi, terutama pada minyak, memunculkan kekhawatiran sunset industri tersebut. Apabila hal itu terjadi, dampaknya dapat dirasakan pada sektor-sektor lain. Adapun kunci peningkatan lifting migas di Indonesia ialah masuknya investasi oleh perusahaan migas kelas global.
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, saat ini Indonesia masih bergantung pada 70 persen lapangan migas tua (mature). Alhasil, yang terjadi ialah penurunan produksi secara alamiah. Sementara upaya-upaya meningkatkan produksi secara signifikan belum optimal.
”(Produksi yang diharapkan) hanya bisa naik atau terjadi kalau ada lapangan baru yang skalanya seperti Blok Cepu (Jawa Timur) dan Blok Rokan (Riau), atau EOR (pengurasan minyak tingkat lanjut) di Rokan berjalan. Tantangan di hulu migas, secara bisnis inti, adalah bagaimana meningkatkan cadangan dan produksi kita,” ujar Pri, Kamis (18/7/2024), di Jakarta.
Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), lifting minyak Indonesia pada 2023 sebanyak 605.000 barel per hari atau di bawah target APBN 2023 yang sebanyak 660.000 barel per hari. Lifting minyak dari tahun ke tahun kerap kali tak mencapai target, yang juga membuat target-target pada tahun berikutnya diturunkan.
Pri Agung menambahkan, jika target lifting minyak bumi sebesar 1 juta barel per hari ingin tercapai, harus ada investasi dari perusahaan migas kelas dunia. Sebab, saat ini, kenyataannya, penopang produksi lifting minyak di Indonesia ialah hasil temuan atau bekas pengelolaan perusahaan migas global. Misalnya, Blok Cepu oleh ExxonMobil dan Blok Rokan yang lama dikelola Chevron sebelum alih kelola ke Pertamina pada 2021.
Low hanging fruit atau peluang yang sudah ada di depan mata, imbuh Pri Agung, ialah sejumlah sumber migas yang sudah ada, seperti pada Blok Masela di Maluku dan proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur. Namun, harus segera dimonetisasi.
”Kalau itu enggak dimonetisasi, sinyal industri migas ke sektor lain akan meredup,” ucap pendiri ReforMiner Institute itu.
Padahal, lanjut Pri Agung, peningkatan produksi migas sejatinya bakal turut memberi dampak positif bagi industri-industri penunjang atau penggunanya.
”Kalau produksi (migas) meningkat, kontribusi juga akan meningkat. (Peningkatan produksi) penting atau tidak? Absolut, penting, dalam kaitannya dengan sektor-sektor lain. Ada multiplier effect (dampak ikutan) yang dihasilkan,” lanjutnya.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D Suryodipuro mengatakan, sejumlah kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi migas ialah terjadinya penghentian fasilitas produksi tak terduga (unplanned shutdown). Menurut dia, SKK Migas selalu mengaudit kinerja pemeliharaan sejumlah kontraktor kerja sama (KKKS) sehingga kejadian serupa diantisipasi serta tidak terulang.
Di sisi lain, SKK Migas juga terus mendorong agar para KKKS mengakselerasi proses pada sejumah temuan cadangan-cadangan baru untuk bisa on stream atau beroperasi. Dengan demikian, diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan produksi migas di Indonesia.
Ada harapan
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dalam peringatan 22 tahun mengelola hulu migas, secara hibrida, Selasa (16/7/2024), mengatakan, selama ini orang mulai ”berbisik-bisik” jika industri migas akan sunset atau terbenam. Salah satunya karena ada jenis energi baru yang berkembang, termasuk energi terbarukan. Namun, ia meyakini hal tersebut tidak akan terjadi.
”Semua (tentang sunset migas) itu, kan, hanya bicara energi. Padahal, migas juga berbicara tentang petrokimia. Maka, saya yakin tidak ada sunset dalam industri migas. Spirit ini harus kita tumbuhkan,” ujar Dwi.
Sektor hulu migas, Dwi menambahkan, berhasil mengumpulkan penerimaan negara sebesar Rp 219 triliun pada 2023. Adapun hingga semester I-2024, realisasi telah mencapai Rp 114 triliun. Sementara rencana pelaksanaan proyek hulu migas mencapai 138 proyek dalam rentang 2024-2029. Proyek-proyek tersebut akan membutuhkan investasi sebesar Rp 534 triliun.
”Capaian-capaian itu seharusnya tak membuat jemawa. Sebab, tantangan ke depan lebih berat. Meskipun persentase kontribusi migas dalam bauran energi nasional akan berkurang, kebutuhan akan migas diharapkan akan terus meningkat secara volume. Migas bakal menjadi sumber energi penting menuju era energi baru terbarukan,” ujarnya.