Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011Anomali negeri penghasil Minyak - Ubah paradigma penerimaan negara dari migas

Anomali negeri penghasil Minyak – Ubah paradigma penerimaan negara dari migas

Pri Agung Rakhmanto
Pemerhati Kebijakan dan Ekonomi Energi ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, 14 September 2011

Dalam keterkaitan dengan harga minyak, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia dapat dikatakan tergolong negara anomali.

Anomali, karena jika disejajarkan dengan negaranegara lain yang menghasilkan minyak dalam jumlah yang cukup signifikan (di atas 500.000 barel per hari), Indonesia adalah negara-mungkin adalah satu-satunya negara-yang tidak suka jika harga minyak melambung tinggi.

Anomali, karena jika disejajarkan dengan negara-negara lain yang mengonsumsi minyak dalam jumlah cukup besar (di atas 1 juta barel per hari), Indonesia adalah negara yang juga tidak suka ketika harga minyak rendah.

Mengatakan Indonesia sebagai anomali dan satu-satunya negara di dunia yang tidak suka pada harga minyak, baik pada saat tinggi maupun rendah, barangkali terlalu berlebihan. Namun, adalah suatu fakta bahwa sepanjang prjalanan ekonomi negeri ini, kita adalah negara yang memang tidak (pernah) suka baik ketika harga minyak tinggi maupun rendah.

Pada era 1970-1980-an, APBN kita krisis ketika harga minyak rendah karena lebih dari 70% penerimaan negara saat itu bergantung pada penerimaan minyak (dan gas). Pada era 1990an dan sesudahnya, dan hingga saat ini, APBN kita juga krisis manakala harga minyak tinggi karena besarnya beban subsidi energi (BBM dan listrik) yang hares ditanggung.

Saat ini kondisinya bahkan dapat dikatakan lebih memprihatinkan karena ketika harga minyak rendah pun APBN kita tetap akan mengalami tekanan fiskal karena sekitar 25 %. hingga 30% penerimaan APBN masih bergantung pada penerimaan migas.

Seolah sumber daya alam kita telah menjadi kutukan ketimbang berkah buat bangsa ini.

Jadi, ketika hari-hari belakangan ini kondisi perekonomian dunia sedang tak menentu, baik karena gejolak politik di Libia, ataupun sebelumnya karena ketidakpastian terkait dengan masalah penyelesaian utang AS dan krisis utang di beberapa negara Eropa yang kemudian menjadi pemicu turunnya harga minyak-hingga sempat menyentuh level US$76 per barel untuk jenis minyak West Texas Intermediate (WTI)-kondisi APBN kita pun sejatinya tak sepenuhnya aman.

Untuk saat ini, setelah asumsi harga minyak di APBN 2011 diubah dari US$80 ke US$95 per barel dengan ongkos tambahan anggaran subsidi energi Rp57 triliun lebih pemerintah memang tak hares terlalu khawatir terhadap penurunan harga minyak karena posisi rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price–ICP) dari Januari hingga Juli 2011 masih di kisaran US$113 per barel.

Artinya, penurunan harga minyak dalam rentang tertentu justru cenderung diharapkan. Namun, jika penurunan harga minyak terlalu drastis, katakanlah hingga di bawah US$60 per barel, sama dengan yang terjadi pada akhir 2008 lalu, APBN kita kembali akan bermasalah.

Meskipun gejolak politik di Libia dan krisis ekonomi global yang dapat mendorong penurunan drastis harga minyak seperti pada 2008 lalu cukup kecil kemungkinannya untuk terjadi kembali pada tahun ini. Tetap saja sebagai negara, kita tak bisa sekadar berharap agar hal itu tak terjadi.

Fakta bahwa APBN kita selalu dan masih dalam kondisi bermasalah baik pada saat harga minyak tinggi maupun rendah jelas memberikan instruksi-bukan sekadar sinyal dan indikasibahwa ada hal-hal mendasar terkait ekonomi energi di negara ini yang hares dibenahi dengan segera.

Yang utama tentu saja adalah masalah harga dan subsidi energi. Penting bagi para penyelenggara pemerintahan di bidang energi di negeri ini untuk menempatkan dan memperlakukan harga energi (BBM dan listrik) sesuai kaidah keekonomiannya. Bahwa harga energi hares segera secara bertahap dan konsisten diarahkan agar sesuai dengan nilai keekonomiannya dan bahwa subsidi energi yang tepat adalah bukan subsidi pada harga komoditas energi itu, melainkan subsidi langsung kepada golongan penggunanya yang berhak. Adalah juga sudah bukan saatnya lagi untuk selalu terus menerus melakukan politisasi terhadap harga energi karena ongkos yang hares ditanggung bagi perekonomian dan bangsa ini hingga ke anak cucunya ke depan sangat mahal.

Ratusan triliun rupiah setiap tahun yang selama ini dialokasikan untuk subsidi energi yang tidak tepat sasaran tentu akan jauh lebih bermanfaat dan lebih produktif jika dialokasikan untuk subsidi langsung pendidikan,kesehatan ataupun untuk membangun infrastruktur dasar di bidang energi, perhubungan dan transportasi yang memang sudah sangat mendesak diperlukan.

Migas = modal

Hal lainnya adalah masalah paradigma dan politik anggaran. Dalam hal penerimaan negara dari migas, adalah sudah waktunya untuk mengubah paradigma dan politik anggaran yang ada bahwa penerimaan migas adalah sesuatu yang harus dijadikan tumpuan dan hares selalu dihabiskan dalam anggaran.

Penerimaan migas adalah modal yang seharusnya dikembangkan untuk menghasilkan penerimaan negara yang semakin hari semakin bertumbuh, baik dari sektor migas itu sendiri maupun dari sektor lain yang terkait dan digerakkannya.

Ini yang dilakukan negara tentangga kita dengan membesarkan Petronas-nya, sehingga perusahaan yang dulunya belajar dari Pertamina tersebut kini sudah jauh lebih maju di depan gurunya dengan menghasilkan total penerimaan hingga US$79,95 miliar (Rp679 triliun lebih) pada 2010. Dari angka itu, sekitar Rp85,5 triliun diserahkan ke pemrierintahnya dalam bentuk dividen.

Sebanyak 80% dari total pendapatan itu disumbang dari bisnis di luar negeri. Sementara iju laba bersih Petronas mencapai US$15 miliar atau sekitar Rp135 triliun.

Majalah Financial Times menyebut Petronas sebagai “new seven sisters”. Memang tidak berlebih bagi Petronas disebut sebagai “anggota baru” dari tujuh perusahaan minyak terbesar di dunia. Karena agresifnya perusahaan ini berkembang, membuat asetnya tersebar di berbagai negara, salah satunya di Indonesia.

Salah satu kunci penting pertumbuhan Petronas adalah perusahaan ini dikelola secara profesional dan menerapkan good corporate governance yang ketat. Perusahaan ini juga tidak dibebani public service obligation (PSO) sebagaimana yang dilakukan pemerintah kita terhadap Pertamina.

Jadi, Malaysia berhasil menjadikan Petronas sebagai mesin uang yang sangat likuid dan berhasil menjadikan minyak sebagai modal bagi negeri jiran itu untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Mengapa sang murid Pertamina itu lebih berhasil daripada gurunya sendiri? Tentu semua kembali kepada profesionalitas manajemen Pertamina dan political will pemerintah, mau dikemanakan Pertamina kita.

Pilihan kita untuk mengalokasikan penerimaan yang dihasilkan dari migas tentu tidak harus sama seperti itu, tetapi pelajaran penting yang bisa kita contoh dari Petronas adalah bahwa penerimaan migas benar-benar digunakan sebagai modal bangsa untuk maju dan berkembang, dan bukan sekadar dihabiskan untuk keperluan anggaran yang dengan praktik mafia anggaran dan beban subsidi yang ada di dalamnya juga masih jauh dari efisien.

Jika kita tak segera berubah dan berbenah, sampai kapan pun kita tak akan pernah menjadi negara penghasil minyak yang “menikmati” dan mendapat manfaat positif dari pergerakan harga minyak, tetapi terus-menerus akan mengalami krisis terombang-ambing harga minyak dengan selalu harap-harap cemas.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments