Komaidi
Deputy Director ReforMiner Institute
Media Indonesia, 14 April 2011
JAKARTA–MICOM: Pada triwulan I ini konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah mencapai 6,66%. Pada bulan Maret, konsumsi solar naik hingga 4,3%, sedangkan premium naik 2,68% dibandingkan bulan sebelumnya.
Untuk mengantisipasi naiknya konsumsi BBM ini, Direktur Reforminer Pri Agung Rakhmanto menegaskan yang harus dilakukan pemerintah bukanlah membatasi konsumsi BBM subsidi, akan tetapi menaikkan harganya.
“Pembatasan konsumsi BBM sudah tidak relevan, yang diperlukan pemerintah sekarang adalah menaikan harga dari BBM tersebut,” ujar Pri Agung Rakhmanto kepada mediaindonesia.com, Rabu (13/4).
Ia menjelaskaan, pembatasan konsumsi BBM subsidi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Selain itu ia menilai pemerintah belum siap dengan kebijakan tersebut. “Dengan kenaikan harga itu, dampaknya menurunkan anggaran subsidi secara langsung, mendorong konsumer untuk lebih hemat dan mengurangi potensi penyelewengan BBM subsidi untuk industri,” terangnya.
Terkait dengan naiknya konsumsi BBM pada bulan ini dibandingkan sebelumnya, Pri Agung menilai kenaikan tersebut bukan serta merta karena masyarakat panik akan adanya rencana pembatasan BBM subsidi. “Tidak bisa dalam jangka waktu sedekat itu pemakaian hanya murni digunakan untuk transportasi saja. Ada hal-hal lain yang patut diperhatikan terkait dengan penyelundupan, penimbunan dan penyelewengan untuk industri,” imbuh Pri.Hal yang perlu diperhatikan, lanjutnya, kemungkinan adanya penggunaan BBM subsidi khususnya solar untuk industri.Padahal, BBM subsidi hanya diperuntukkan untuk transportasi. Subsidi solar perliternya memang lebih besar dibandingkan subsidi untuk premium. Kendati demikian, selama ini konsumsi solar jauh lebih sedikit dibanding dengan premium. Namun, harga solar diluar negeri lebih tinggi dibanding di dalam negeri. Maka dari itu, melihat melonjaknya konsumsi BBM pada bulan ini disebabkan adanya penyelendupan BBM untuk dijual ke negara lain. “Kalau harganya lebih tinggi, sudah pasti mereka akan menjualnya ke luar negeri,” tegasnya.
Indonesia Finance Today, 4 April 2011 Rencana implementasi pemberlakuan asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 8, ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 17 Tahun 2008, menuai pro dan kontra. Pro dan kontra yang relatif dominan atas rencana pelaksanaan asas cabotage adalah antara pemangku kepentingan sektor minyak dan gas dan Indonesia National Shipowners Association (INSA). Sektor minyak dan gas mengharapkan agar implementasi kebijakan asas cabotage diundur dari jadwal yang ditetapkan, bahkan mewacanakan agar Undang-Undang No 17 Tahun 2008 direvisi mengingat sektor ini belum siap. Sementara di sisi lain, INSA menyampaikan bahwa implementasi kebijakan asas cabotage merupakan momen yang tepat untuk titik balik kejayaan industri pelayaran nasional. Menurut INSA, penerapan asas cabotage adalah bagian dari upaya melindungi kedaulatan negara, sehingga sudah sepatutnya semua pihak bisa mematuhinya. Wacana pemberlakuan asas cabotage sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disahkan, beberapa peraturan perundangan telah mengatur asas cabotage. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur asas cabotage sebelumnya adalah Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran; Instruksi Presiden No 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, dan Keputusan Menteri Perhubungan No 71 Tahun 2005 tentang Pengangkutan Barang/Muatan Antarpelabuhan Laut di Dalam Negeri. Adapun gambaran umum terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan penerapan asas cabotage adalah sebagai berikut:(tabel) Berdasarkan data yang ada, sampai saat ini belum ada satu pun kapal berbendera Indonesia yang dipakai untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lapangan minyak dan gas lepas pantai (offshore). Kapal yang digunakan untuk survei, kapal seismik, kapal pengeboran, kapal konstruksi lepas pantai, dan kapal pendukung semuanya masih berbendera asing. Karena itu, jika asas cabotage diterapkan dalam waktu dekat, dipastikan kapal-kapal penunjang kegiatan hulu minyak dan gas berbendera asing tersebut akan berhenti beroperasi. Padahal, menurut perkiraan Indonesia Petroleum Association (IPA), akibat dari berhentinya kapal-kapal berbendera asing, Indonesia akan kehilangan produksi minyak sekitar 200 Million Barrels of Oil Equivalent (MMBOE) per tahun. Jika dinominalkan, potensi kehilangan produksi minyak dan gas setara dengan US$ 13 miliar atau Rp 120,25 triliun jika dikurskan dalam rupiah. Ditinjau Ulang Karena potensi kehilangan produksi minyak dan gas yang cukup besar, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengajukan permohonan agar implementasi kebijakan asas cabotage di sektor migas ditinjau ulang. Berdasarkan data BP Migas, meskipun dari sekitar 531 kapal penunjang kegiatan sektor hulu minyak dan gas, sekitar 468 kapal atau 88% berbendera Indonesia, akan tetapi dari sejumlah kapal itu belum ada satu pun yang mampu digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas lepas pantai. Sampai sejauh ini, kapal-kapal untuk kegiatan offshore merupakan kapal-kapal berbendera asing yang jumlahnya sekitar 64 kapal. Sementara untuk mengganti kapal-kapal berbendera asing tersebut dibutuhkan anggaran sekitar US$ 3 miliar US$ 4 miliar atau setara Rp 27,75 trilun Rp 37 triliun. Mengingat keterbatasan anggaran, penggantian kapal-kapal berbendera asing dalam waktu dekat hampir tidak mungkin dilaksanakan pemerintah. Menurut INSA, sampai sejauh ini keberpihakan pemerintah terhadap perkembangan dan kemandirian industri pelayaran nasional dinilai lemah. Padahal di negara kepulauan seperti Indoneia, industri pelayaran merupakan tulang punggung dalam kegiatan distribusi barang dan jasa antarwilayah.
Keterpurukan Industri Kejayaan industri pelayaran nasional harus menjadi prioritas, bukan dibiarkan terpuruk seperti saat ini. Keterpurukan industri pelayaran nasional dimulai ketika dikeluarkannya kebijakan pemerintah pada 1984 yang menetapkan semua kapal yang telah berusia 20 tahun harus dimusnahkan dan diganti dengan kapal yang baru. Kebijakan tersebut pada awalnya seakan memberikan harapan yang baik bagi industri pelayaran nasional, di mana pemerintah menjanjikan akan membantu pengadaan kapal-kapal baru sebagai pengganti kapal yang dimusnahkan. Kenyataanya hingga kini pemerintah belum atau tidak menepati janjinya.
Perusahaan-perusahaan pelayaran nasional dibiarkan berjalan tanpa ada kepastian, sehingga membuat industri pelayaran nasional merasa sebagai tamu di negeri sendiri. Sementara pihak perbankan hingga kini juga cenderung enggan mendukung industri pelayaran karena industri pelayaran dinilai merupakan bisnis yang penuh dengan risiko.
Ketidakadilan Kebijakan Selain permasalahan tersebut, industri pelayaran nasional juga dihadapkan pada masalah ketidakadilan dalam kebijakan perpajakan yang diterapkan pemerintah. Untuk membangun sebuah kapal baru, industri pelayaran selain harus menanggung biaya yang tinggi juga akan dikenakan pajak barang mewah dan PPN yang jumlahnya, menurut industri pelayaran, setara dengan harga satu unit kapal baru. Sementara jika pihak asing yang membangun kapal di PT PAL, pemerintah akan membebaskan dari berbagai macam pungutan pajak. Dampaknya, banyak perusahaan pelayaran domestik yang membuat kapal di luar negeri atau dibuat di dalam negeri namun didaftarkan atas nama luar negeri. Dengan membangun kapal di luar negeri, perusahaan akan mendapatkan sokongan dana dengan bunga yang terjangkau dari bank di mana kapal tersebut dibangun. Selain itu, perusahaan dibebaskan dari berbagai macam pajak. Akibat ketidakberpihakan pemerintah terhadap perusahaan pelayaran nasional, sementara perusahaan pelayaran asing banyak diberikan kemudahan, saat ini banyak kapal asing yang sesungguhnya milik perusahaan pelayaran nasional tetapi berbendera negara di mana kapal dibuat. Kapal-kapal tersebut masih dalam tahap leasing dan belum dapat diubah menggunakan bendera Indonesia sebelum masa leasing-nya berakhir. Dari berbagai fakta yang ada, jika tidak ada kemauan politik yang kuat, Indonesia akan selalu tidak siap mengimplementasikan asas cabotage mengingat kebijakan industri pelayaran nasional, terutama industri pelayaran penunjang kegiatan hulu minyak dan gas secara tidak sengaja bergantung pada pihak asing. Semoga untuk selanjutnya kebijakan-kebijakan pemerintah tidak lagi hanya sebuah kebijakan yang sifatnya parsial dan ad hoc, tetapi kebijakan yang lebih komprehensif, lebih cerdas, dan mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak.