(KORAN SINDO; JUM’AT, 9 JANUARI 2015)
JAKARTA – Pemerintah diminta membenahi tata kelola serta aturan perdagangan di sektor gas bumi. Perlu aturan ketat yang mengatur pedagang (trader) gas, baik yang mempunyai infrastruktur maupun yang belum mempunyai infrastruktur, agar tercipta iklim bisnis serta tarif energi yang lebih efisien.
Direktur ReforMiners Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, selama ini aturan terkait trader tidak tegas dan jelas. Akibatnya, banyak trader yang tidak memiliki infrastruktur justru memenangi tender yang digelar oleh pemerintah
Pemerintah harus tegas kepada trader yang belum mempunyai infrastruktur untuk segera membangun infrastruktur. Di sisi lain, pemerintah juga harus memperjelas aturan terkait alokasi gas bumi. Jika tidak, maka akan membuka praktik tidak sehat dalam distribusi gas bumi, ujarPri Agung di Jakarta, kemarin.
Selama ini, kata dia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri tidak jelas dalam hal pengaturan alokasi gas. Persyaratan pemegang izin usaha cenderung ditekankan pada aspek formalitas kelengkapan administratif sementara aspek teknis rill tidak di atur secara rinci. Kondisi ini menurutnya memungkinkan terjadinya praktik penetapan alokasi gas dan jual beli gas yang tidak sehat.
Pihak yang tidak mempunyai kemampuan teknologi dan ekonomi justru mendapatkan alokasi gas, kemudian itu diperjualbelikan lebih lanjut di hilir. Ini pada akhirnya merugikan konsumen, seperti adanya defisit gas, terangnya.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Achmad Safiun. Menurutnya, pembeli gas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) saat ini lebih banyak dilakukan kepada para trader dibanding kepada pengguna langsung (end users). Akibatnya, kalangan industridiTanahAirsebagianbesar mendapatkan gas dari trader. Kemudian masalahnya, trader juga beli gas dari trader lain. Ujung-ujungnya harga gas yang diterimaindustri menjadimahal. Iniyangselamainimenjadibeban industri dalam negeri, kata dia.
Achmad mengeluhkan banyaknya trader yang mendapatkan alokasi gas, tapi tidak langsung menjual gasnya ke industri. Ini disebabkan banyak trader yang tidak memiliki infrastruktur seperti jaringan pipa gas.
Jadi, mereka hanya jualan paper, isinya alokasi gas ke trader-trader lain, jelasnya.
Dia membeberkan, pelanggan industri kini harus membayar harga gas bumi regasifikasi mencapai USD17,5-18 per juta British thermal unit (mmbtu). Padahal, di Singapura harganya hanyaUSD3,05-3,87permmbtu, dan di Malaysia harga gas untuk industri berkisar USD2,87-3,58 per mmbtu.
Akibat tingginya harga gas, harga listrik untuk industri juga ikut membubung tinggi. Tarif listrik untuk industri saat ini rata-rata USD11 sen per kWh. Padahal, tarif listrik industri di beberapa negara tetangga jauh lebih kecil, misalnya Vietnam hanya USD7 sen, Malaysia dan Korea Selatan di kisaran USD6 sen per kWh. Bahkan, di Amerika Serikat hanya USD3 sen per kWh, cetusnya.
Tarif energi yang mahal tersebut membuat industri nasional sulit bersaing. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari kontribusi industri manufaktur nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) yang turun menjadi 20,58% pada 2014.