(republika.co.id; Â Kamis, 16 Juli 2015)
JAKARTA – Tingginya ketergantungan berbagai industri terhadap penggunaan gas, disertai keragaman jenis dan lokasi industri, mendorong perlu dibentuknya suatu badan penyangga (buffer). Dimana badan itu bertugas menjamin proporsionalitas dan keseragaman harga gas bagi industri.
“Menjadi kebutuhan mendesak untuk dibentuk satu badan penyangga harga di industri gas, seperti halnya Bulog di industri beras. Dengan adanya badan penyangga itu maka harga gas bisa diatur dengan lebih tertib dan proporsional bagi industri pengguna,†kata pengamat yang juga Direktur Reforminer Institut Komaidi Notonegoro, kepada pers, Kamis (16/7).
Menurut Komaidi, disadari bahwa saat ini rancangan atau draf UU Migas sedang dibahas di DPR, dan dalam draf itu yang akan menjadi badan penyangga adalah BUMN.
Namun ia mengingatkan, badan penyangga tunggal yang akan mengatur harga gas itu tidak boleh perusahaan yang tidak 100 persen milik negara.
“Amanat UU menentukan demikian, yang menjadi badan penyangga atau agregator tunggal mesti BUMN murni, seperti Pertamina. Perusahaan yang sebagian sahamnya sudah dimiliki asing tidak diperbolehkan, namun dia bisa membantu sesuai dengan infrastruktur yang dimilikinya,†katanya.
Pertamina, katanya, memiliki sumber gas bumi di hulu, dan juga memiliki akses LNG domestik serta impor. Hal itu merupakan kekuatan untuk mengatur sehingga harga gas bisa seragam atau diatur secara proporsional.
“Kalau ada perusahaan lain yang juga punya infrastruktur, perusahaan itu dapat disertakan di dalam sistem untuk mendukung dan memperkuat,†tambah Komaidi.
Meskipun demikian, Komaidi tidak menampik adanya kemungkinan disparitas harga gas, namun selisihnya hanya sedikit karena faktor jarak dan lokasi. karena Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang luas dan panjang, dari Sabang sampai Merauke.
“Bisa saja ada sedikit selisih, namun tidak lagi mencolok seperti saat ini. Saat ini perbedaan harga gas ada yang empat dolar AS, ada yang 11 dolar AS, ada yang 4,5 dolar,†ungkapnya