Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2024Belajar Pengembangan Industri Panas Bumi dari Filipina

Belajar Pengembangan Industri Panas Bumi dari Filipina

Dunia Energi, 28 Agustus 2024

Penulis:
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Meskipun telah berhasil memproduksikan listrik sejak sekitar 41 tahun yang lalu, pengembangan industri panas bumi di Indonesia relatif berjalan cukup lambat. Kapasitas terpasang listrik panas bumi Indonesia hingga saat ini dilaporkan baru sekitar 10 % dari total potensi panas bumi yang dimiliki. Relatif lambatnya pengembangan industri panas bumi di Indonesia dilaporkan karena adanya sejumlah kendala dalam pengusahaannya.

Sejumlah kendala yang diidentifikasi menjadi penghambat dalam pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi diantaranya adalah: (1). pembangkit listrik panas bumi disebut memiliki biaya investasi awal yang lebih mahal dibanding jenis pembangkit listrik lain; (2). investor menilai biaya operasional pembangkit listrik berbasis fosil yang lebih mahal masih tetap lebih menarik dibandingkan dengan modal awal yang tinggi untuk usaha listrik panas bumi; (3). lokasi pengembangan listrik panas bumi dinilai tidak fleksibel karena hanya dapat dibangun/dikembangkan di tempat tertentu; dan (4). adanya kesulitan untuk menemukan sumber panas bumi yang menyebabkan biaya eksplorasi menjadi lebih tinggi.

Belajar dari Filipina
Pengembangan industri panas bumi di Filipina tercatat cukup progresif dan dalam sejumlah aspek tidak sesuai dengan teori ekonomi lingkungan yang disampaikan oleh Simon Kuznets. Melalui Environmental Kuznets Curve, Kuznets menjelaskan bahwa hubungan antara pendapatan per kapita dengan kerusakan lingkungan suatu negara akan berbentuk parabola. Pada tahap awal sampai dengan titik tertentu, hubungan antara pendapatan per kapita dengan kerusakan lingkungan akan berbanding lurus atau memiliki slope yang positif. Peningkatan pendapatan per kapita akan disertai dengan peningkatan kerusakan lingkungan dari negara yang bersangkutan.

Kuznets juga menjelsakan bahwa setelah mencapai puncak parabola, hubungan antara pendapatan per kapita dengan kerusakan lingkungan suatu negara akan berbanding terbalik atau memiliki slope negatif. Peningkatan pendapatan per kapita akan disertai dengan penurunan tingkat kerusakan lingkungan. Menurut Kuznets kondisi tersebut akan terjadi pada negara-negara dengan struktur ekonomi yang telah memasuki fase post-industrial seperti sejumlah negara di Kawasan Eropa dan Amerika.

Secara sederhana Kuznets menyimpulkan bahwa suatu negara akan mulai memikirkan kualitas lingkungan termasuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan ketika masyarakat dari negara yang bersangkutan telah berada pada level yang sejahtera. Analogi lainnya, dari teori Kuznets tersebut adalah pada umumnya masyarakat kelas menengah dan atas yang memiliki pendapatan lebih tinggi akan lebih memikirkan kualitas kesehatannya jika dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah yang masih harus memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kondisi yang terjadi pada pengembangan panas bumi di Filipina dapat dikatakan keluar dari konsep dan teori Kuznets tersebut. Meskipun memiliki tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah, pengembangan panas bumi di Filipina telah melampaui capaian dari Indonesia dan Amerika Serikat.

Pada 2023, pendapatan per kapita Filipina dilaporkan sekitar 3.900 USD. Sementara, pendapatan per kapita Indonesia dan Amerika Serikat pada periode yang sama masing-masing dilaporkan sekitar 4.920 USD dan 83.000 USD. Meskipun dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah, kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina pada 2023 dilaporkan telah mencapai 48,03 % dari potensi panas bumi yang mereka miliki. Sementara kapasitas terpasang listrik panas bumi Indonesia dan Amerika Serikat pada periode yang sama masing-masing baru sekitar 10,09 % dan 12,99 % dari total potensi yang dimiliki.

Pengembangan panas bumi Filipina yang cukup progresif, tidak terlepas dari peran dan keseriusan pemerintah negara tersebut dalam mengembangkan EBET di negara mereka. Kondisi Filipina pada dasarnya berbeda dengan sejumlah negara lainnya yang telah tercatat berhasil mengembangkan industri panas bumi seperti Iceland, New Zealand, dan Kenya. Pada tahun 2023, porsi kapasitas pembangkit listrik berbasis EBET di Iceland, New Zealand, dan Kenya dilaporkan telah mencapai 95,80 %, 90 %, dan 80 % dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik pada masing-masing negara.

Sejauh ini kondisi pasokan listrik Filipina justru relatif sama dengan Indonesia yaitu sebagian besar produksi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis fosil. Pada 2023, sekitar 74 % dari total kapasitas terpasang listrik Filipina merupakan pembangkit listrik berbasis fosil. Kondisi tersebut relatif sama dengan Indonesia, pada periode yang sama porsi kapasitas listrik berbasis fosil mencapai 85 % dari total kapasitas terpasang listrik nasional.

Bentuk kebijakan yang dilakukan Filipina dalam mengembangkan industri panas bumi mereka diantaranya melalui: (1) pengurangan porsi bagian pemerintah dari pendapatan kegiatan usaha panas bumi; (2) memberikan insentif fiskal melalui pengurangan pajak dan tax holiday, accelerated depreciation, dan bebas bea impor; (3) menerapkan kebijakan net operating loss-carry over pada industri panas bumi; (4) menerapkan kebijakan percepatan depresiasi dan penghapusan pajak pertambahan nilai untuk penjualan dan pembelian listrik panas bumi; (5) memberikan subsidi untuk pengembangan R&D industri panas bumi; (6) mempermudah ketersediaan data untuk pengembang panas bumi swasta; (7) melakukan inventarisasi dan identifikasi wilayah potensial untuk eksplorasi panas bumi; dan (8) perusahaan transmisi listrik nasional (TRANSCO) memberikan koneksi dan distribusi penuh terhadap proses jual-beli listrik panas bumi.

Belajar dari pengembangan panas bumi di Filipina, kunci kesuksesan dalam pengembangan dan pengusahaan EBET khususnya panas bumi adalah komitmen dari para stakeholder pengambil kebijakan. Filipina memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa: (1) pendapatan per kapita mereka jauh dibawah Indonesia; (2) kondisi fiskal atau APBN mereka tidak lebih baik dari Indonesia; (3) harga listrik panas bumi lebih mahal dari BPP listrik nasional mereka; dan (4) kondisi bauran energi primer pembangkit listrik mereka mirip dengan Indonesia, akan tetapi dengan komitmen yang kuat mereka dapat mengembangkan industri panas bumi mereka dengan lebih progresif.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments