Katadata.co,id; 28 Desember 2020
Oleh: Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute)
Upaya pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sedang memperoleh momentum. Presiden Cina Xi Jinping menargetkan emisi karbon untuk negara mereka menjadi nol pada 2060 mendatang. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Joe Biden akan kembali bergabung pada Paris Agreement. Sementara Tesla sebagai salah satu korporasi yang menggunakan energi bersih dikabarkan akan menjadi bagian dari S&P 500 Indeks dengan salah satu kapitalisasi terbesar.
Batu bara sebagai salah satu energi fosil yang dinilai paling kotor, umumnya akan menjadi yang pertama ditinggalkan ketika pengembangan dan pemanfaatan EBT memperoleh momentum. Upaya untuk meninggalkan batu bara sebagai sumber energi tampak tidak hanya berasal dari para penggiat sektor energi. Bahkan The Economist untuk publikasi awal Desember 2020 secara khusus memilih tema Making Coal History.
Produksi Listrik Tanpa Batubara
Indonesia perlu serius mencermati dan mengantisipasi tren global yang akan meninggalkan batu bara sebagai sumber energi. Selain harus siap kehilangan salah satu sumber devisa utama, Indonesia juga mesti siap dengan biaya penyediaan dan pengadaan listrik yang berpotensi lebih mahal. Termasuk dalam hal ini perlu serius dan siap di dalam memitigasi dampak ikutannya.
Publikasi Statistik PLN 2019 melaporkan produksi listrik Indonesia pada 2019 sebesar 270.975 GWh. Dari jumlah tersebut, 174.493 GWh atau 64,39 % di antaranya diproduksi dari batu bara. Rata-rata biaya pembangkitan listrik pada tahun lalu dilaporkan Rp 2.999,73 per kWh. Berdasarkan jenis pembangkitnya, biaya pembangkitan terdistribusi PLTA Rp 559,71 per kWh, PLTU Rp 653,12, PLTD 3.308,26, PLTG 2.570,03, PLTP 1.191,25, PLTGU Rp 1.357,75, dan PLTS Rp 11.317,73.
Berdasarkan data dan informasi yang ada tersebut, simulasi ReforMiner Institute menemukan bahwa biaya pembangkitan listrik di Indonesia hampir dapat dipastikan akan meningkat ketika tidak lagi menggunakan batu bara (ceteris paribus). Satu-satunya peluang untuk menjaga agar biaya pembangkitan listrik tidak meningkat adalah dengan mengganti penggunaan batu bara dengan PLTA yang notabene juga akan sulit untuk dilakukan.
Simulasi ReforMiner Institute menemukan, jika seluruh batu bara dalam pembangkitan listrik digantikan gas, rata-rata biaya pembangkitan listrik akan meningkat menjadi sekitar Rp 4.234 per kWh atau meningkat 41,15 %. Jika penggunaannya digantikan dengan pemanfaatan panas bumi, rata-rata biaya pembangkitan listrik akan meningkat menjadi Rp 3.346 per kWh atau bertambah 11,55 %. Sedangkan jika pemakaian batu bara digantikan PLTS, rata-rata biaya pembangkitan listrik akan meningkat menjadi Rp 9.867 per kWh atau membengkak 228,94 %.
Bagi perekonomian Indonesia, dampak dari meningkatnya biaya pembangkitan listrik tersebut tidak sederhana mengingat saat ini sekitar 70 % PDB Indonesia dikontribusikan oleh sektor ekonomi yang padat listrik. Sebagai contoh industri pengolahan, perdagangan, informasi dan komunikasi, keuangan dan asuransi, dan sektor jasa-jasa. Berdasarkan kondisi tersebut, meningkatnya biaya pembangkitan listrik akan meningkatkan biaya produksi dari sektor-sektor ekonomi yang memberikan kontribusi sekitar 70 % dalam pembentukan PDB Indonesia.
Potensi meningkatnya biaya produksi sektor-sektor ekonomi akibat biaya pembangkitan listrik tersebut tentu tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang meningkatkan daya saing industri nasional. Sebagaimana telah diketahui, melalui Perpres No.40/2016 pemerintah berupaya meningkatkan daya saing industri nasional melalui penurunan harga gas untuk sektor industri yang sampai saat ini tampak masih terus diupayakan.
Tidak hanya biaya listrik yang meningkat, risiko lain yang penting diantisipasi pengambil kebijakan yakni nilai tambah ekonomi. Keterkaitan antar-sektor, baik forward linkage maupun backward linkage, dari sektor batu bara dengan sektor-sektor ekonomi yang lain juga berpotensi hilang.
Beberapa hal yang sebelumnya tercipta dari keterkaitan ekonomi sektor batu bara yang berpotensi hilang dalam pembangkitan listrik di antaranya yaitu penyerapan tenaga kerja, penerimaan pajak dan PNBP, dan pertumbuhan ekonomi baik untuk daerah penghasil maupun pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam beberapa kondisi, aspek lingkungan dan ekonomi relatif tidak sejalan dan sulit untuk dicapai secara bersamaan. Seringkali pengambil kebijakan dihadapkan pada kondisi yang harus memilih satu di antara keduanya.
Meskipun tidak menjadi formulasi yang baku, tampak terdapat formula bahwa jika pengambil kebijakan mengedepankan aspek lingkungan maka secara tidak langsung akan mengorbankan aspek lingkungan dan sebaliknya. Sebagai contoh, untuk memenuhi baku mutu emisi pembangkitan yang ditetapkan Peraturan Menteri LKH No P.15/2019 saja akan menambah Biaya Pokok Produksi (BPP) PLTU eksisting sekitar Rp 105 per kWh atau setara dengan tambahan beban subsidi listrik sekitar Rp 12 triliun per tahun.
Berdasarkan kondisi tersebut, pengurangan dan/atau penghilangan batu bara dalam kegiatan pembangkitan listrik di Indonesia berpotensi memberikan biaya dan manfaat. Pada satu sisi, kebijakan tersebut bermanfaat pada kualitas lingkungan hidup yang lebih baik. Di sisi lain, ada potensi peningkatan biaya pembangkitan listrik yang akan ditransmisikan pada biaya produksi dari sebagian besar sektor-sektor ekonomi di Indonesia. Dampak selanjutnya, daya beli masyarakat berpotensi berkurang akibat meningkatnya harga barang dan jasa secara simultan.
Mencermati kondisi tersebut, saya menilai mengikuti tren global yang mengarah pada pemanfaatan EBT dalam beberapa waktu terakhir adalah positif. Akan tetapi yang lebih penting dan substansial dari semua itu adalah kesiapan semua, terutama pengambil kebijakan, dalam mengantisipasi risiko dari perubahan tren global tersebut.
Dalam konteks rencana pengurangan dan/atau penghilangan batu bara dalam pembangkitan listrik, yang lebih penting apakah Indonesia sudah siap termasuk dalam upaya memitigasi dan meminimalkan risikonya. Kita semua telah sama-sama tahu bahwa biaya penyediaan listrik dari EBT lebih mahal dari listrik yang diproduksikan dengan batu bara. Pilihan yang tersedia yakni menyerahkan pada mekanisme bisnis dan membiarkan konsumen membayar harga listrik lebih mahal. Atau, menerbitkan kebijakan yang dapat mendorong harga listrik EBT lebih kompetitif agar konsumen tetap dapat memperoleh tenaga listrik dengan harga yang terjangkau. Semua pilihan tentu akan berpulang pada pengambil kebijakan, sementara masyarakat sebagai konsumen relatif tidak memiliki pilihan.