Thursday, June 12, 2025
HomeStudiBiaya - Manfaat Implementasi Kebijkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk Sektor...

Biaya – Manfaat Implementasi Kebijkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk Sektor Industri

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebagai salah satu instrumen untuk mendukung peningkatan daya saing industri nasional. Kebijakan ini diarahkan kepada tujuh sektor industri, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Ketentuan mengenai harga gas bumi diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 juncto Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020, yang menetapkan batas maksimal harga gas bumi sebesar US$ 6 per MMBTU di plant gate pengguna akhir. Pada tahun 2025, kebijakan ini kemudian diperbarui melalui Kepmen ESDM No. 76.K/MG.01/MEM.M/2025, yang menetapkan rentang harga baru sebesar US$ 6,5–7 per MMBTU untuk pengguna tertentu di sektor industri.

Data Kementerian ESDM (2025) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan HGBT menunjukkan hasil yang positif bagi sektor industri. Selama periode 2020–2023, kebijakan ini telah memberikan manfaat ekonomi secara agregat sebesar Rp247,26 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari peningkatan ekspor senilai Rp127,84 triliun serta kenaikan penerimaan pajak sebesar Rp23,30 triliun. Selain itu, kebijakan HGBT turut mendorong investasi baru di sektor industri, dengan nilai mencapai Rp91,17 triliun. Kebijakan ini juga berkontribusi terhadap penghematan anggaran negara, khususnya melalui penurunan subsidi pupuk yang mencapai Rp4,94 triliun.

Sejalan dengan catatan pemerintah, studi ReforMiner Institute (2025) juga mencatat bahwa selama tahun 2020 hingga 2024, subsektor industri penerima HGBT umumnya mengalami pertumbuhan positif. Secara rata – rata, industri barang galian bukan logam, termasuk di dalamnya industri keramik dan kaca tumbuh 2,13% per tahun; industri batubara dan pengilangan migas, termasuk di dalamnya industri petrokimia tumbuh 1,96% per tahun; industri logam dasar termasuk di dalamnya industri baja tumbuh 1,87% per tahun, serta karet dan plastik tumbuh 1,84% per tahun. Sementara industri kimia, farmasi, dan obat tradisional, termasuk di dalamnya industri pupuk dan oleochemical, menunjukkan pertumbuhan sebesar -0,88% per tahun.

Meskipun berdampak positif bagi sektor industri, implementasi kebijakan HGBT tercatat juga menimbulkan sejumlah konsekuensi baik dalam aspek fiskal, moneter dan bagi pelaku usaha di dalam rantai bisnis gas bumi. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2025), selama periode 2020 hingga Oktober 2024, total potensi penerimaan negara yang hilang akibat penerapan kebijakan ini diperkirakan mencapai Rp 81,50 triliun. Secara tahunan, nilai potensi penerimaan negara yang hilang akibat kebijakan HGBT juga menunjukkan tren yang cenderung meningkat dari Rp6,43 triliun (2020) menjadi Rp 17,07 triliun (2021), Rp25,48 triliun (2022), Rp18,08 triliun (2023) dan Rp14,86 triliun (hingga Oktober 2024). Secara akumulatif, selama periode 2020 hingga 2023 persentase penerimaan negara yang berkurang akibat kebijakan HGBT adalah 48,10% dari total potensi penerimaan negara dari sektor gas bumi.

Implementasi kebijakan HGBT juga menimbulkan sejumlah tantangan, khususnya bagi keberlanjutan industri di sektor hulu dan midstream gas akibat adanya ketidaksesuaian struktur harga di dalam rantai distribusi. Mengacu pada data SKK Migas (2020), harga keekonomian gas hulu, terutama di wilayah barat Indonesia, telah berada di atas US$ 6 per MMBTU. Sementara, berdasarkan laporan PGN (2024), rata – rata harga jual gas yang disalurkan melalui pipa adalah sebesar US$ 7,78 per MMBTU.

Berdasarkan sejumlah studi, ditemukan bahwa daya saing sektor industri Indonesia pada dasarnya justru lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor lain di luar harga gas. Harga gas pada dasarnya hanya salah satu komponen untuk menurunkan biaya input produksi atau yang umumnya disebut sebagai cost competitiveness. Dalam hal ini cost competitiveness hanya salah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi daya saing.

Lebih lanjut, publikasi Prasetyawati (2022) dan Setiawan (2019) menyebutkan bahwa perlambatan pertumbuhan sektor industri dalam beberapa tahun terakhir disebabkan antara lain oleh permasalahan bahan baku yang masih didominasi impor, infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya tenaga ahli terampil, regulasi ketenagakerjaan, tekanan produk impor, dan permasalahan biaya produksi di mana harga gas menjadi salah satu komponen di dalamnya.
Adapun data Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan bahwa porsi gas bumi di dalam struktur biaya input untuk produksi di sektor industri bervariasi. Untuk industri pupuk dan petrokimia, komponen biaya gas memiliki porsi hingga 70% dalam struktur biaya produksinya. Untuk industri lainnya, komponen gas hanya berkontribusi 3% hingga 26% dari struktur biaya produksi di industri tersebut.

Mencermati data, informasi, dan fakta yang ada, studi lanjutan mengenai opsi kebijakan yang lebih proporsional perlu menjadi perhatian bersama bagi seluruh pemangku kepentingan. Intervensi secara proporsional dari pemerintah menjadi instrumen kebijakan lanjutan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengatasi potensi terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh kebijakan harga yang didasarkan pada prinsip usaha yang wajar. Bentuk intervensi secara proporsional yang dapat dilakukan diantaranya melalui pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas; dan/atau pemberian jaminan fiskal kepada badan usaha yang mendapat penugasan di dalam melakukan kegiatan jual-beli gas bumi. Dengan mekanisme subsidi langsung, tujuan untuk mencapai daya saing industri nasional tetap dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif yang timbul, baik di sisi penerimaan negara maupun di sisi kondusifitas iklim usaha di sektor hulu dan midstream gas nasional.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments