www.bisnis.com; Senin, 29 Juli 2019 Â |Â 10:28 WIB
Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Aceh (BPMA) tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait pengembangan industri migas di Provinsi Aceh.
Bisnis.com, JAKARTA—Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Aceh (BPMA) tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait pengembangan industri migas di Provinsi Aceh.
Hal ini terkait dengan usulan BPMA dan Pemda Aceh yang memilih tetap menggunakan skema penggantian biaya operasi daripada skema bagi hasil kotor dalam perpanjangan pengelolaan Blok North Sumatera B (NSB) yang dikelola Pertamina Hulu Energi (PHE).
Staf Pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan prosedur kontrak migas di Aceh sebaiknya dikembalikan pada aturan main yang berlaku. Menurutnya, jika kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) berkontrak dengan BPMA, maka sebaiknya pemerintah pusat mendukung.
“Lalu bagaimana hubungan BPMA dengan pemerintah pusat, apakah harus mengikuti pusat atau punya otoritas khusus? Tapi ini kan pemerintah dengan pemerintah, nanti yang merasakan investasi juga pemerintah Aceh juga, kalau nyaman dengan cost recovery ya pemerintah pusat harus memahami itu,†katanya, saat dihubungi Bisnis, Minggu (28/7/2019).
Hanya saja, dengan adanya kampanye penggunaan skema gross split, Pri Agung menyarankan pemerintah pusat juga turun ke Aceh untuk mengomunikasikannya.
Terpisah, Deputi Operasi dan Perencanaan BPMA Teuku Muhammad Faisal mengatakan skema cost recovery bukan hanya diharapkan Pemprov Aceh, tapi juga oleh PHE selaku kontraktor blok tersebut.
“Pemerintah Aceh maunya tetep cost recovery. Kenapa? Karena itulah yang ideal menurut mereka. Bukan kami, BPMA cuma menggali informasi dan hanya memfasilitasi. Pertamina sendiri agaknya lebih suka dengan gaya cost recovery,†tuturnya.
Menurutnya, Pemerintah Aceh menganggap cost recovery lebih menguntungkan bagi masyarakat, sementara gross split dianggap kurang, terutama terkait kontrol pemerintah daerah terhadap pengelolaan blok migas.
Sejauh ini, PHE NSB telah diperpanjang sementara selama dua kali 6 bulan hingga September mendatang. Terkait proposal perpanjangan pengelolaan Blok NSB, Faisal mengatakan pihaknya tinggal menunggu persetujuan Menteri ESDM terkait perpanjangan kontrak pengelolaan 20 tahun mendatang.
Adapun, hasil produksi migas dari Blok NSB ditambah dengan Blok NSO (North Sumatera Offshore) berkisar 100 mmscfd, yang sebagian digunakan untuk pemakaian operasional. Sementara itu, sisa produksi yang dihasilkan langsung disalurkan ke Pupuk Iskandar Muda.
PHE mengelola Blok NSB sejak Oktober 2015 setelah mengakuisisi hak kelola perusahaan asal Amerika Serikat ExxonMobil. Blok NSB mulai berproduksi tahun 1977 dengan puncak produksi mencapai sekitar 3.400 juta mmscfd.