Detik finance, 9 November 2010
Jakarta – Badan Pengawas Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) sebaiknya diubah bentuknya menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan menjadi sebuah BUMN, BP Migas akan khusus menangani kontrak-kontrak perusahaan migas sehingga tidak ditangani oleh Pertamina saja. Demikian hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics Pri Agung Rakhmanto dalam seminar di Hotel Nikko, Jalan M Thamrin, Jakarta, Selasa (9/11/2010).
“Posisi BP Migas sebagai BUMN baru ini sejajar dengan Pertamina dan keduanya berada di bawah Kementerian ESDM (Energi, Sumber Daya, dan Mineral),” katanya.
Hal ini terkait dengan urgensi revisi UU Migas 22/2001 dari sisi tata kelembagaan di sektor hulu. Menurutnya, UU tersebut memiliki kelemahan dalam aspek penguasaan wilayah migas oleh negara, sehingga melemahkan salah satu aspek terpenting dalam ketahanan energi nasional. Ia mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi 21-12-2004 yang mengharuskan revisi terhadap Pasal 12 ayat 3 yang berbunyi, Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
“Frase ‘diberi wewenang’ dipandang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33,” katanya.
Dengan demikian, selama UU migas itu tidak direvisi maka tidak ada jaminan bahwa negara atau dalam hal ini perusahaan migas negara (Pertamina) akan menguasai dan mengelola wilayah migas di tanah airnya sendiri.
Selain itu, revisi UU migas itu juga bisa melemahkan iklim investasi, khususnya untuk investasi eksplorasi, sehingga membahayakan kelangsungan sektor hulu migas nasional ke depan. Hal ini disebabkan karena di dalam pengusahaan sektor hulu migas, sebagian kuasa usaha hulu migas diserahkan bukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi kepada Badan Hukum Milik Negara, yaitu BP Migas.
“Pasal 12 ayat 3 dengan frase ‘diberi wewenang’ itu sesungguhnya tidak akan ada jika kuasa usaha hulu migas diberikan kepada BUMN,” imbuhnya. Atas dasar inilah, ia mengusulkan BP Migas bisa berubah bentuk menjadi sebuah perusahaan pelat merah. Jika hal itu sudah terjadi, Pertamina dalam hal ini tidak lagi berkontrak dengan BP Migas. Pertamina akan mendapatkan kewenangan pengelolaan dan pengusahaan wilayah migas tertentu yang diterapkan Kementerian ESDM.
BUMN baru yang khusus menangani kontrak-kontrak pengusahaan migas ini dijalankan atas dasar prinsip korporasi sehingga bisa melakukan aktifitas dalam bentuk penyertaan modal terhadap wilayah-wilayah kerja yang dinilai menguntungkan bagi negara. “Kementerian ESDM, dalam hal ini Ditjen Migas, menjadi penentu wilayah mana yang akan diserahkan pengelolaannya kepada Pertamina atau BUMN baru ini,” ujarnya.
Alternatif lainnya, menurut Pri Agung, pemerintah bisa menempatkan BP Migas menjadi salah satu unit atau direktorat usaha di bawah Pertamina, khusus untuk menangani pengusahaan kontrak-kontrak migas seperti di negara lain.