Monday, November 25, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2018BUMN dan ketahanan energi nasional

BUMN dan ketahanan energi nasional

Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Kontan; Selasa, 14 Agustus 2018 / 14:46 WIB

Sejauh ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berada di barisan terdepan dalam upaya mewujudkan ketahanan energi nasional. Upaya memperluas akses masyarakat terhadap energi listrik dilaksanakan oleh PLN. Sedangkan Pertamina mengemban tugas menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi, termasuk elpiji, di seluruh Indonesia dengan satu harga.

Berdasarkan regulasi yang menjadi dasar pembentukannya, sejak awal salah satu tugas Pertamina adalah menciptakan ketahanan nasional, khususnya ketahanan energi. Tugas itu tercantum dalam ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pasal 5 UU tersebut menetapkan tujuan perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan negara dan menciptakan ketahanan nasional.

Dalam perkembangannya, BUMN Migas tersebut tidak hanya menjalankan fungsi sebagai korporasi, tetapi melaksanakan tugas yang lebih luas, sebagai agen pembangunan. Sebagian besar infrastruktur dasar strategis nasional, baik yang terkait dengan sektor energi maupun tidak, tercatat dibangun dari hasil pengusahaan migas, utamanya oleh Pertamina.

Pada periode awal pelaksanaan pembangunan, kontribusi sektor minyak dan gas terhadap penerimaan APBN dan ekspor Indonesia sangat signifikan. Pada Pelita III, penerimaan dari sektor migas tercatat sekitar 62,88% dari total penerimaan negara dan hibah. Sementara, nilai ekspor migas pada periode yang sama sekitar 82% dari total ekspor Indonesia.

Kontribusi sektor migas khususnya minyak terhadap penerimaan APBN yang sangat signifikan pada periode awal pelaksanaan pembangunan disebabkan neraca minyak Indonesia saat itu dalam kondisi yang surplus. Berdasarkan data, selama Pelita III, rata-rata produksi minyak Indonesia sekitar 1,5 juta barel per hari. Sedangkan, konsumsi minyak Indonesia rata-rata sekitar 400.000 barel per hari.

Berdasarkan kondisi neraca minyak itu, terdapat kelebihan produksi minyak sekitar 1,1 juta barel per hari atau 401 juta barel per tahun yang saat itu dapat diekspor Indonesia. Hasil ekspor minyak tersebut sebagian digunakan untuk membangun infrastruktur dasar seperti sekolah, rumah sakit, jalan raya, pembangkit listrik, bandara, dan saluran irigasi. Kehadiran industri strategis seperti industri baja, industri pupuk dan petrokimia, industri semen, dan industri pesawat terbang juga tidak dapat dilepaskan dari peran sektor minyak dan gas.

Harmonisasi peran

Data yang ada menunjukkan kondisi neraca migas Indonesia saat ini jauh berbeda dengan kondisi pada periode awal pelaksanaan pembangunan. Jika pada saat itu Indonesia memiliki kelebihan produksi rata-rata sekitar 1,1 juta barel per hari (bph) yang dapat diekspor, kini Indonesia harus impor minyak mentah sekitar 1,1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Pada tahun 2017, realisasi produksi minyak Indonesia dilaporkan sekitar 800.000 bph. Sementara, pada saat yang sama konsumsi minyak Indonesia dilaporkan telah mencapai 1,65 juta bph. Produksi minyak sebesar 800.000 bph itupun tidak seluruhnya menjadi bagian pemerintah. Sebagian produksi merupakan hak pihak lain untuk pengembalian biaya operasi produksi (cost recovery) dan bagi hasil. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor sekitar 1,1 juta bph untuk memenuhi defisit kebutuhan minyak lokal.

Meskipun kondisi sektor migas telah banyak berubah, peran Pertamina sebagai agen pembangunan relatif masih lebih tinggi dibandingkan peran perusahaan yang harus mengejar profit dan ekspansi agar bisa tumbuh lebih cepat. Kendati berdasarkan UU Nomor 22/2001, Pertamina tidak lagi diberikan keistimewaan di sektor hulu, namun di sektor hilir Pertamina masih tetap harus menjalankan penugasan. Seperti menjaga stok BBM nasional, kebijakan BBM satu harga, pelaksana PSO, dan penugasan lain.

Tidak ada yang salah dengan peran tersebut dalam konteks menciptakan keadilan sosial, ketahanan energi dan membuka akses energi di seluruh Indonesia. Namun perlu harmonisasi dan reaktualisasi secara berkelanjutan antara peran penugasan dan peningkatan kinerja Pertamina.

Dalam tingkatan tertentu, sejumlah penugasan tersebut menuntut manajemen puncak Pertamina harus bekerja secara lebih inovatif dan efisien.

Sebagai gambaran, dengan konsumsi BBM Indonesia yang saat ini sekitar 80 juta kilo liter per tahun dan dengan asumsi biaya pengadaan BBM sebesar Rp 8.000 per liter, Pertamina memerlukan dana sekitar Rp 40 triliun. Itu merupakan nilai uang yang diperlukan untuk sekedar menjaga stok BBM selama 23 hari yang ditugaskan pemerintah.

Jika ditambahkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk menutup selisih harga solar dan premium yang juga tidak disesuaikan, biaya yang harus ditanggung Pertamina atas sejumlah penugasan tersebut semakin besar lagi.

Untunglah, pemerintah secara cepat tanggap memberikan solusi seperti menambah subsidi solar dari Rp 500 menjadi Rp 2.000 per liter, menyerahkan pengelolaan Blok Rokan, Riau mulai 2021, yang selama ini dikelola Chevron Pacific Indonesia. Sebelumnya, pemerintah memberikan konsesi Blok Mahakam, Kaltim. Bahkan Pemerintah total telah menyerahkan 12 blok terminasi ke Pertamina.

Mencermati kondisi neraca energi (khususnya minyak) di dalam negeri tersebut, pemerintah perlu merevitalisasi kebijakan menempatkan BUMN sebagai agen pembangunan. Sebagai badan usaha, Pertamina memerlukan ruang yang cukup untuk dapat berkembang dengan baik tanpa mengabaikan peran agen pembangunan tersebut.

Pada kondisi struktur ekonomi Indonesia yang semakin padat energi seperti saat ini, dalam jangka menengah panjang akan jauh lebih bijak jika BUMN ditempatkan sebagai lumbung dan penyedia energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tentu saja, melihat kondisi sosial-ekonomi dan geografis Indonesia saat ini, peran yang dimainkan Pertamina dalam menyediakan BBM satu harga tetaplah penting.

Artinya, jika revitalisasi kebijakan di bidang migas yang ada saat ini tidak dilakukan, biaya yang kemungkinan harus dibayar RI di masa mendatang akan semakin besar. Pada satu sisi, laju perkembangan bisnis Pertamina menjadi kurang cepat.

Sementara di sisi yang lain, konsumsi migas domestik yang terus meningkat akan mendorong kebutuhan impor semakin besar. Dampaknya, peningkatan impor migas minimal akan berdampak negatif terhadap stabilitas nilai tukur rupiah dan akan menurunkan daya saing produksi barang dan jasa Indonesia.

Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi secara aktual dan terus menerus antara peran Pertamina sebagai agen pembangunan dan misi Pertamina menuju perusahaan global. Pemerintah dan stakeholders lainnya tentu sangat memahami kondisi tersebut. Selamat berjuang Pertamina!.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments