Wednesday, June 11, 2025
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2025Catatan Aspek Implementasi dari RUPTL 2025-2034

Catatan Aspek Implementasi dari RUPTL 2025-2034

Katadata.co.id; 10 Juni 2025

Penulis Opini:
PRI AGUNG RAKHMANTO
Founder & Advisor ReforMiner Institute
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti

Pemerintah baru saja menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) periode 2025-2034 pada akhir Mei lalu. RUPTL ini untuk mengakomodasi target pemerintahan Prabowo Subianto, khususnya pencapaian Net Zero Emissions (NZE), pertumbuhan ekonomi, dan swasembada energi.

Secara garis besar, RUPTL 2025 – 2034 menggunakan asumsi-skenario pertumbuhan ekonomi yang masih sama dengan RUPTL sebelumnya (2021-2030) yaitu sebesar 5,2% per tahun. Target pertumbuhan ekonomi di dalam RUPTL tersebut lebih rendah jika dibandingkan target pertumbuhan ekonomi yang terdapat dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025 – 2060, yaitu 8% untuk periode 2025 – 2029, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata realisasi pertumbuhan ekonomi nasional selama 2020 – 2024 yang tercatat sebesar 5,03%. Penjualan tenaga listrik nasional diproyeksikan tumbuh rata-rata sekitar 5,2% per tahun sepanjang periode 2025–2034.

Volume penjualan diperkirakan meningkat dari 323.044 GWh pada 2025 menjadi 510.575 GWh pada 2034. Sektor industri dan rumah tangga diperkirakan menjadi penyumbang utama peningkatan penjualan listrik nasional selama periode 2025–2034. Dalam kurun waktu tersebut, penjualan listrik ke sektor industri diproyeksikan akan meningkat sebesar 83.278 GWh, sementara sektor rumah tangga diproyeksi meningkat sebesar 56.043 GWh. Jika digabungkan, kedua sektor ini berkontribusi sekitar 74,3% terhadap total kenaikan penjualan listrik nasional dalam 10 tahun ke depan sebesar yang diproyeksikan mencapai 187.531 GWh.

Dalam RUPTL 2025–2034 terdapat dua skenario pengembangan kapasitas pembangkit listrik, yaitu skenario Renewable Energy (RE) Base dan skenario ARED (Accelerated Renewable Energy Development) dan memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit untuk 10 tahun ke depan antara 52,8 GW hingga 69,5 GW. Proyeksi pada skenario RE Base lebih didasarkan pada aspek kelayakan penyelesaian proyek (workability), dengan pendekatan yang secara relatif lebih realistis tanpa secara eksplisit mengejar target penurunan emisi atau peningkatan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) tertentu. Sementara pendekatan dalam skenario ARED mengedepankan upaya percepatan transisi energi bersih dengan menargetkan penurunan emisi dan peningkatan porsi EBT secara lebih progresif.

Berdasarkan jenis pembangkitnya, penambahan kapasitas dalam skenario ARED akan difokuskan pada pengembangan PLTS, PLTA/PLTM, dan PLTB dengan kapasitas masing-masing sebesar 17,1 GW, 11,7 GW, dan 7,2 GW dan diikuti oleh PLTP sebesar 5,2 GW. Selain itu, dalam skenario ARED juga mulai mengintegrasikan PLTN dengan kapasitas 0,5 GW sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi jangka panjang. Skenario RE Base menunjukkan kecenderungan yang lebih konservatif, dengan penambahan kapasitas yang masih didominasi oleh PLTA/PLTM (11,9 GW) dan PLTS (7,1 GW) dan tidak menargetkan penggunaan PLTN. Porsi pembangkit berbasis energi fosil juga lebih besar dalam skenario RE Base (35,4%), dibandingkan skenario ARED (24%). Secara keseluruhan, dalam kedua skenario tersebut, porsi EBT dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan nasional tercatat tetap dominan yaitu sebesar 51,9% (27,37 GW) pada skenario RE Base dan 61,3% (42,56 GW) pada skenario ARED.

Dari garis besar dan subtansi pokok RUPTL 2025 – 2034 tersebut, beberapa catatan, khususnya terkait aspek implementasinya, adalah sebagai berikut: Pertama, dalam hal asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam perencanaan RUPTL 2025 – 2034, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik, pada dasarnya sudah relatif lebih doable, dalam pengertian sudah lebih menggunakan asumsi yang lebih moderat – lebih mengakomodir realitas – dibandingkan asumsi pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana yang mengemuka saat ini ataupun yang digunakan di dalam RUKN.

Namun, jika dibandingkan dengan realisasi, baik pertumbuhan ekonomi maupun penjualan listrik rata-rata dalam 5-10 tahun terakhir, asumsi yang digunakan masih terbilang (cukup) optimistis. Selama periode 2015 – 2024, secara kumulatif, penjualan listrik nasional tercatat meningkat sebesar 105.530 GWh dengan rata – rata pertumbuhan sekitar 4,56% per tahun.

Kedua, dalam keterkaitan dengan arah dan pencapaian target NZE-transisi energi, di dalam skenario yang ada, baik RE base maupun ARED, keduanya dapat dikatakan sama-sama tetap menunjukkan keberpihakan dan komitmen terhadap agenda transisi energi, dengan pengembangan EBT sebagai elemen utama di dalam tambahan penyediaan listrik; yaitu sebesar 51,9% (27,37 GW) pada skenario RE Base dan 61,3% (42,56 GW) pada skenario ARED.

Ketiga, dalam kaitan dengan ketahanan energi dalam pengertian keamanan-kehandalan pasokan, RUPTL 2025 – 2029 tercatat juga cukup realistis. Kedua skenario dalam RUPTL tersebut masih menunjukkan peningkatan kapasitas pembangkit berbasis energi fosil, termasuk pembangunan PLTU yang tetap dilanjutkan sesuai perencanaan proyek, baik yang sudah on-going maupun committed.

Hal ini tentu tidak terlepas dari kondisi riil kelistrikan nasional saat ini dimana selama periode 2020–2024 peran energi fosil, khususnya batubara masih penting. Dalam empat tahun terakhir, porsi batubara dalam bauran energi primer pembangkit tercatat meningkat dari 66,30% pada 2020, menjadi 67,66% pada 2023, dan menjadi 67,09% pada 2024. Porsi gas alam tercatat juga masih penting, yaitu di kisaran 15,96% – 17,15% pada periode 2020 – 2024. Sementara itu, pada periode yang sama, porsi EBT berfuktuasi-cenderung menurun di kisaran 13,30% – 12,15%. Pada tahun 2020 porsi EBT mencapai 13,22%, turun menjadi 12,88% di 2021, kembali mencapai 13,30% pada 2022, dan turun menjadi 12,21% dan 12,15% pada 2023 dan 2024.

Keempat, berkaitan dengan progres implementasi atas target EBT yang sebelumnya ada, yaitu pada RUPTL 2021 – 2030; hingga April 2025, dari total rencana penambahan kapasitas sebesar 20,9 GW, baru 1,6 GW (sekitar 8%) yang telah mencapai tahap Commercial Operation Date (COD). Sebagian besar proyek masih berada pada tahap pengadaan (8,5 GW) dan pendanaan (4,7 GW). Angka ini menggambarkan bahwa capaian dan implementasi RUPTL di dalam hal yang berkaitan dengan target bauran EBT pembangkit bukanlah hal yang sederhana. Dari perspektif teori ekonomi, secara struktural, sektor kelistrikan nasional adalah regulated single-buyer market. Single-buyer market sendiri saja – tanpa regulated -, dalam hal kelayakan keekonomian proyek sudah akan menempatkan listrik yang bersumber dari EBT sebagai bukan pilihan, karena tersedia pilihan lain – listrik berbasis fosil – yang lebih murah.

Ditambah dengan regulated, dimana pada sisi harga akhir (tarif listrik) diatur dan dibatasi pada tingkat tertentu untuk menjaga daya beli masyarakat, perekonomian, dan kemampuan fiskal (subsidi) pemerintah, kondisi ini makin menempatkan listrik EBT bukan sebagai pilihan, kecuali ada penugasan khusus dan intervensi dukungan fiskal secara langsung dari pemerintah. Target-proyeksi pembangkit listrik EBT, Biaya Pokok Pengadaan (BPP)-tarif – subsidi listrik, dan pendanaan adalah aspek-aspek penting yang secara keseluruhan berkaitan dan akan menentukan capaian atas proyeksi-skenario penyediaan listrik yang ada.

Pembahasan dan solusi komprehensif-konkret tentang aspek ini sayangnya seringkali tidak muncul secara eksplisit di dalam RUPTL yang kita miliki. Sehingga, kemudian kita memiliki RUPTL, yang dari sisi manajemen sederhana mungkin dapat dikatakan terlalu “dinamis”, untuk dapat disebut sebagai sebuah perencanaan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments