Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, Rabu 08 Januari 2014
JAKARTA, KOMPAS, Ada celah hukum yang memungkinkan implementasi kebijakan hilirisasi mineral bermasalah. Kelemahan itu adalah soal difinisi pengolahan dan pemurnian.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi dan Pertambangan Pri agung Rakhmanto di Jakarta, Selasa (7/1), menyatakan, ada dua hal utama yang bisa menyebabkan implementasi kebijakan hilirisasi mineral bermasalah (minerba), bahkan gagal diimplementasikan sesuai jadwal 12 Januari 2014. Salah satunya celah hukum dari sisi regulasi.
Menurut Pri Agung, Meski Undang-Undang UU (minerba) telah mewajibkan pemegang izin usaha pertambang produksi dan kontrak karya melaksanakan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri, UU tersebut sangat lemah dalam mendefinisikan apa yang dimaksud pengolahan dan pemurnian. Dalam UU itu, pengolahan dan pemurnian didefisinikan sebagai kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan batubara serta memanfatkan dan memperoleh mineral ikutan.
Dalam definisi itu kegiatan pengolahan dan pemurnian bijih menjadi konsentrat dapat diintrepretasikan sudah termasuk kedalam kegiatan pengolahan dan pemurnian. Konsekuensi dari penafsiran itu adalah, pemegang KK yang sudah lama produksi ataupun pemegang IUP dan IUPK yang selama ini menjual hasil tambang dalam bentuk kontrat dapat mengklaim telah melakukan pengolahan dan pemurnian sesuai UU sehingga tetap bisa mengekspor konsentrat yang dihasilkan.
Definisi tentang pengolahan dan pemurnian yang masih sangat umum ini adalah titik paling lemah dari UU Minerba dalam kebijakan dengan kebijakan hilirisasi minerba, kata dia menegaskan. Peraturan pemerintah turunan dari UU Minerba yang diterbitkan 2010, seluruhnya tidak ada satu pun yang menjabarkan secara lebih jelas tentang definisi kegiatan pengolahan dan pemurnian itu.
Dengan baru mengeluarkan aturan pelaksanaan yang lebih jelas pada 2012, hal ini dapat di pandang tidak memberi waktu cukup bagi para perusahaan tambang untuk melaksanakan pengolahan dan pemurnian yang dapat menghasilakan komoditas dengan batas kadar minimum yang ditentukan. Hal ini dapat dipandang , pemerintah tidak siap untuk segera mengimplementasikan kebijakan hilirisasi minerba, karena aturan pelaksanaan yang jadi pegangan pelaku usaha tambang untuk melakukan itu terlambat diterbitkan.
Sementara itu pelaku usaha pertambangan meminta agar pemerintah memberikan perlakuan khusus bagi pengusaha yang telah berkomitmen membangun pabrik pengolahaan sehingga tetap mengekspor mineral mentah sampai tiga tahun mendatang. Mereka juga minta pemerintah merevisi batasan minimum kadar pengolahan dan pemurnian mineral.
Menurut anggota tim hilirisasi Kadin, Natsir Mansyur, sejauh ini pemerintah bersama dengan kalangan pelaku usaha secara maraton membahas insentif mengenai kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral mentah. Namun, pemerintah dan pelaku usaha belum menemukan titik temu pemberlakuan hilirisasi pertambangan untuk beberapa mineral, yakni nikel dan bauksit.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014 sesuai amanat UU No 4 Tahun 2009. Untuk mempermudah ekspor mineral olahan, pemerintah akan menerbitkan aturan pelaksanaan mengenai peningkatan niali tambah. Menurut rencana, di aturan itu, pemerintah akan merevisi kadar minimum pengolahan dan pemurnian mineral.
Natsir menyatakan, pihaknya berharap dalam revisi aturan pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral itu, pemerintah memberikan perlakuan khusus yakni member izin ekspor bijih mineral bagi pengusaha pertambangan yang serius membangun pengolahan mineral.