Merdeka.com; 4 Maret 2022
Merdeka.com - Dalam sistem ekonomi terbuka, geopolitik menjadi faktor penting yang mempengaruhi kondisi makro ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Kondisi atau kejadian yang dialami oleh suatu negara akan mempengaruhi negara yang lainnya melalui transmisi kegiatan ekspor dan impor.
Karena itu risiko ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina yang sedang terjadi saat ini tidak hanya akan dihadapi oleh kedua negara tersebut, namun juga oleh hampir semua negara di dunia. Besaran risiko diantaranya akan ditentukan oleh seberapa besar hubungan dagang masing-masing negara terhadap kedua negara yang sedang berperang.
Sampai saat ini, pergerakan harga minyak tercatat memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap isu geopolitik. Hal itu karena peran minyak yang sampai dengan saat ini masih menjadi sumber energi utama bagi hampir semua negara di dunia.
Permasalahan geopolitik dalam bentuk ketegangan di suatu wilayah apalagi sampai memicu terjadinya perang, secara langsung akan meningkatnya harga minyak di pasar internasional. Dalam tingkatan tertentu, perang akan mengganggu kegiatan produksi dan jalur distribusi minyak. Perang juga akan memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya kebutuhan minyak secara langsung untuk aktivitas tersebut yang mana akan mendorong harga minyak pada level yang lebih tinggi.
Dampak terhadap tekanan harga yang lebih tidak terduga adalah jika teori ekspektasi rasional terjadi dalam kasus perang Rusia-Ukraina. Teori tersebut menjelaskan jika para pelaku ekonomi atau seluruh masyarakat mengetahui dampak yang akan timbul dari suatu kebijakan atau peristiwa yang sedang terjadi, mereka akan memberikan respon masif yang dapat tidak terkendali.
Jika perang tersebut berlangsung lebih lama, salah satu ekspektasi rasional yang kemungkinan sudah dalam pemahaman masyarakat dunia adalah bahwa volume produksi minyak akan berkurang dan pasokan di pasar akan terkendala. Jika kekhawatiran terus meningkat, respon yang dapat terjadi adalah masing-masing negara akan berusaha mengamankan pasokan minyak untuk kebutuhan mereka selama periode tertentu.
Dalam konteks pasar minyak, perang Rusia-Ukraina hampir dapat dipastikan akan mengganggu pasokan minyak di pasar internasional. Selain OPEC, Rusia tercatat sebagai salah satu produsen dan eksportir utama minyak dunia. Rata-rata produksi minyak Rusia selama lima tahun terakhir sekitar 11,32 juta barel per hari. Dari jumlah produksi tersebut, sekitar 3,29 juta barel per hari (29 %) untuk konsumsi domestik. Sementara sekitar 8,02 juta barel per hari (71 %) untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Berdasarkan data, distribusi ekspor minyak Rusia adalah untuk Eropa 53,15 %, China 32 %, CIS 5,69 %, Jepang 2 %, Amerika Serikat 1,42 %, India 1 %, Singapura 0,5 %, dan Asia Pasifik lain 4,62 %. Rusia juga tercatat memiliki peran penting terhadap pasar gas khususnya untuk wilayah Eropa. Selama lima tahun terakhir rata-rata produksi gas pipa Rusia sekitar 62,08 BCF per hari. Dari volume produksi tersebut sekitar 18,30 BCF per hari (30,4 %) untuk memenuhi kebutuhan negara yang lain di Kawasan Eropa.
Dampak bagi Indonesia
Perang Rusia-Ukraina yang mendorong harga minyak pada level yang lebih tinggi berpotensi memberikan dampak secara langsung terhadap Indonesia. Berkaitan dengan status Indonesia telah menjadi net importir minyak dan masih menerapkan kebijakan subsidi untuk minyak dan gas, tren kenaikan harga minyak akan memberikan dampak secara langsung terhadap kondisi fiskal dan moneter Indonesia.
Pada saat tulisan ini dibuat, harga minyak terpantau telah mencapai kisaran 118 USD per barel. Sementara, asumsi harga minyak atau ICP dalam APBN 2022 ditetapkan sebesar 65 USD per barel. Dari aspek fiskal, perbedaan yang signifikan antara asumsi ICP dan realisasi harga minyak tersebut akan memberikan dampak secara langsung terhadap meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi BBM dan LPG jika pemerintah menghendaki daya beli masyarakat tetap terjaga.
Sementara dari aspek moneter, peningkatan harga minyak dan gas akan memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan devisa impor migas yang semakin besar. Saat ini, sekitar 60 % kebutuhan minyak dan produk BBM Indonesia dipenuhi dari impor. Sementara, sekitar 75 % kebutuhan LPG dalam negeri juga harus dipenuhi dari impor.
Tekanan pada aspek moneter akibat peningkatan harga minyak kemungkinan tidak akan sederhana jika mencermati kondisi struktur ekonomi Indonesia saat ini. Berdasarkan neraca input-output, ketergantungan Indonesia terhadap komponen impor untuk proses produksi barang dan jasa cukup besar. Karena itu, peningkatan kebutuhan devisa impor migas yang berkorelasi dengan pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi menurunkan daya saing industri Indonesia.
Berdasarkan kondisi dan perkembangan yang ada, tidak mudah bagi semua pihak termasuk Indonesia untuk dapat memitigasi dan memberikan respon kebijakan yang tepat untuk meminimalisir dampak dari peningkatan harga minyak akibat perang Rusia-Ukraina. Apalagi jika perang tersebut telah pada level memberikan dampak secara langsung terhadap berkurangnya atau bahkan tidak tersedianya pasokan minyak di pasar global.
Untuk kebijakan harga BBM dalam negeri misalnya, formulasi kebijakan yang tersedia akan semakin terbatas. Pada saat harga minyak sedang rendah, dalam tingkatan tertentu pemerintah dapat memberlakukan kebijakan BBM khusus penugasan, BBM satu harga, dan BBM subsidi. Akan tetapi, pada kondisi harga minyak yang tinggi pemerintah relatif tidak memiliki fleksibilitas untuk dapat menerapkan kebijakan tersebut. Pilihan kebijakan tersebut tetap dapat dijalankan tetapi memiliki konsekuensi terhadap aspek fiskal dan/atau keuangan badan usaha penerima penugasan yang umumnya adalah BUMN.
Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pemerintah perlu berdiri di tengah untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya. Pemerintah perlu melindungi kepentingan semua pihak. Pada level harga minyak yang telah mencapai 118 USD per barel, tidak relevan lagi jika harga BBM di dalam negeri menggunakan acuan ICP APBN 2022 yang ditetapkan sebesar 65 USD per barel. Apalagi jika mengingat sekitar 60 % kebutuhan minyak dan BBM Indonesia telah dipenuhi dari impor. Sementara, untuk kepentingan menjaga daya beli dan keseimbangan kondisi makro ekonomi pemerintah juga tidak dapat melepaskan kebijakan harga BBM negeri untuk mengacu pada harga pasar.
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti