CNBCIndonesia; 30 April 2024
Penulis: Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute & Dosen Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Konflik Iran-Israel meningkatkan ketidakpastian pada kondisi pasar minyak global. Hal itu karena eskalasi konflik berpotensi dapat melibatkan negara-negara produsen utama minyak dunia seperti Rusia dan Amerika Serikat yang dapat memengaruhi kondisi keseimbangan supply-demand pasar minyak global.
Selama periode konflik, harga minyak dunia tercatat bergerak dengan rentang fluktuasi yang cukup tinggi. Harga minyak jenis BRENT dilaporkan meningkat signifikan dari US$ 84,52 per barel (15 Maret 2024) menjadi US$ 92,01 per barel (12 April 2024).
Sejumlah lembaga internasional salah satunya US Energy Information Administration (EIA) memproyeksikan harga minyak berpotensi terus meningkat sampai dengan akhir tahun 2024. Pada skenario moderat harga minyak pada semester kedua 2024 diproyeksikan akan berada pada level US$ 90 per barel.
Harga Minyak, APBN dan Kebijakan Harga Energi Domestik
Karena telah menjadi net importir, posisi Indonesia dalam pasar minyak global adalah sebagai price taker atau tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi harga. Kondisi neraca minyak Indonesia juga telah memposisikan bahwa setiap kenaikan harga minyak dunia akan lebih banyak memberikan tambahan beban dibandingkan windfall yang dapat diterima oleh APBN.
Berdasarkan simulasi pemerintah untuk postur APBN 2024, diketahui bahwa setiap kenaikan harga minyak atau ICP sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 6,5 triliun. Defisit tersebut salah satunya disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM.
Pada APBN 2024, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) ditetapkan sebesar US$ 82 per barel. Dengan asumsi ICP tersebut subsidi dan kompensasi energi untuk tahun anggaran 2024 ditetapkan sekitar Rp 329,9 triliun atau meningkat dari realisasi tahun anggaran 2023 yang dilaporkan sebesar Rp 269,6 triliun.
Peningkatan anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun 2024 di antaranya karena meningkatnya volume subsidi minyak solar sekitar 11% dari tahun sebelumnya; subsidi listrik meningkat sekitar 9,1% dan alokasi kompensasi BBM untuk setiap liternya juga tercatat meningkat sekitar 9,02%.
Simulasi pemerintah menunjukkan bahwa jika ICP mencapai US$ 100 per barel, kebutuhan untuk anggaran subsidi dan kompensasi BBM berpotensi meningkat dari Rp 160,91 triliun menjadi Rp 249,86 triliun. Kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM akan meningkat menjadi sekitar Rp 287,24 triliun jika ICP mencapai US$ 110 per barel.
Selain berpengaruh terhadap kebutuhan anggaran untuk subsidi dan kompensasi BBM, peningkatan ICP menjadi US$ 100 per barel juga disebut akan meningkatkan kebutuhan alokasi anggaran subsidi LPG sebesar 27,6% yaitu dari Rp 83,27 triliun menjadi Rp 106,28 triliun. Kebutuhan anggaran subsidi LPG diproyeksikan akan meningkat menjadi Rp 166,97 jika ICP mencapai level US$ 110 per barel.
Dengan demikian, jika ICP meningkat menjadi US$ 100 per barel maka total kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM dan subsidi LPG adalah sekitar Rp 356,14 triliun. Total kebutuhan anggaran akan meningkat menjadi sekitar Rp 454,21 triliun jika harga ICP meningkat hingga menjadi US$ 110 per barel.
Simulasi pemerintah terkait harga minyak tersebut pada dasarnya bukan hal baru, pada tahun anggaran 2022, ketika harga minyak meningkat pemerintah juga tercatat meningkatkan anggaran subsidi dan kompensasi energi.
Pada saat itu, ketika harga minyak dunia berada pada kisaran US$ 90 per barel yang telah melampaui asumsi ICP pada APBN 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel, pemerintah meningkatkan alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 551,2 triliun.
Pilihan Kebijakan
Berdasarkan asumsi makro-energi pada APBN 2024, terdapat indikasi bahwa jika segala sesuatunya berjalan normal pada dasarnya pemerintah tampak berupaya untuk tidak melakukan penyesuaian harga energi di tahun anggaran 2024. Hal tersebut tercermin dari volume solar subsidi yang ditingkatkan, penambahan alokasi untuk anggaran subsidi listrik, dan meningkatnya alokasi anggaran kompensasi BBM untuk setiap liternya.
Dari perspektif makro ekonomi dan kepentingan stabilitas sosial-politik, pilihan kebijakan yang dituangkan pada APBN 2024 pada dasarnya cukup logis dan berdasar. Dari aspek makro ekonomi, harga energi yang terjangkau daya beli memiliki peran penting dalam mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal itu karena sebagian besar atau sekitar 55 % produk domestik bruto (PDB) Indonesia dikontribusikan dari aktivitas konsumsi rumah tangga. Sementara harga energi masih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia.
Dari perspektif stabilitas sosial-politik, pilihan untuk tidak menaikkan harga energi juga dapat dipahami mengingat tahun anggaran 2024 merupakan tahun transisi pemerintahan. Pada periode transisi, stabilitas dalam banyak hal termasuk stabilitas dalam harga energi pada dasarnya memang diperlukan. Hal itu juga mengingat bahwa tidak jarang kebijakan penyesuaian harga energi yang dilakukan seringkali memperoleh respons negatif dari masyarakat.
Berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut, pilihan kebijakan untuk tidak menyesuaikan (menaikkan) harga energi dapat dipahami. Akan tetapi, mengingat Indonesia telah menjadi net importir minyak, pilihan kebijakan tersebut memerlukan biaya yang cukup besar.
Untuk aspek fiskal atau pengeluaran APBN saja misalnya, jika harga minyak mencapai US$ 110 per barel, pilihan kebijakan untuk tidak menyesuaikan harga BBM dan LPG memerlukan dukungan alokasi anggaran sekitar Rp 454,21 triliun. Padahal kebutuhan daya dukung anggaran tersebut belum termasuk alokasi anggaran untuk subsidi dan kompensasi untuk tenaga listrik.
Kebijakan mempertahankan harga energi tidak hanya memberikan dampak terhadap APBN, tetapi juga keuangan BUMN pelaksana kebijakan seperti Pertamina dan PLN. Untuk Pertamina misalnya, sejauh ini peningkatan harga minyak tercatat mendorong rasio laba bersih terhadap pendapatan usaha perusahaan cenderung menurun. Kondisi tersebut karena struktur pendapatan Pertamina sangat dipengaruhi oleh konsistensi kebijakan niaga BBM yang ditetapkan pemerintah.
Selama 10 tahun terakhir sekitar 80% pendapatan Pertamina dikontribusikan dari penjualan dalam negeri. Sementara, sekitar 91% penjualan dalam negeri merupakan aktivitas yang terkait dengan kegiatan hilir yang terdistribusi atas 80 % dari penjualan BBM dan 11 % dari penjualan LPG, Petrokimia, Pelumas, dan produk lainnya. Struktur pendapatan tersebut menjawab mengapa keuangan Pertamina cukup sensitif terhadap pergerakan harga minyak.
Dari sisi penerimaan negara, kebijakan pemerintah untuk menjaga harga energi domestik juga memberikan konsekuensi terhadap potensi kehilangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar.
Simulasi pemerintah menunjukkan bahwa setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel di dalam APBN 2024, akan meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 1,8 triliun. Akan tetapi, jika pemerintah mempertahankan harga energi seperti contoh penerapan kebijakan HGBT, akan berpengaruh terhadap hilangnya potensi penerimaan PNBP tersebut.
Sebagai gambaran, jika merujuk data SKK Migas, selama periode 2021-2023, potensi nilai pendapatan negara yang hilang di sektor hulu migas dari pelaksanaan program HGBT disampaikan mencapai sekitar Rp 45,06 triliun atau rata-rata sekitar Rp 15,2 triliun per tahun.
Jika mengacu pada perhitungan sensitivitas harga minyak terhadap penerimaan negara tersebut, potensi kehilangan pendapatan negara dari penerapan kebijakan HGBT pada tahun anggaran 2024 dapat lebih besar lagi mengingat harga minyak yang terus meningkat.
Mencermati permasalahan dan perkembangan yang ada tersebut, mendistribusikan atau berbagi beban dapat menjadi pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan. Risiko dari kenaikan harga minyak dunia sebagian perlu ditanggung oleh APBN, sebagian dibebankan kepada konsumen, dan sebagian dibebankan kepada BUMN pelaksana dengan tetap memperhatikan prinsip kegiatan usaha sebagaimana mestinya.
Kondisi yang sedang dihadapi memang tidak mudah, akan tetapi jika telah mempertimbangkan banyak aspek, kebijakan yang diberlakukan berpotensi memberikan manfaat yang lebih besar.